Suatu ketika, saya pernah menangani sebuah perusahaan yang bergerak di bidang property dan real estate, sang pemilik mengeluhkan kepada saya bahwa target penjualannya merosot gara – gara fintech (financial technology). Calon konsumen yang ingin mengambil kredit di developernya, akhirnya banyak tidak di-acc oleh bank karena BI Checking bobrok alias tidak bagus. Apa nih hubungannya?
Pernah dengar yang namanya BI Checking? Dari definisi yang saya kutip dari Idx Channel, BI Checking adalah pencatatan informasi dalam Sistem Informasi Debitur (SID), yang berisikan riwayat kelancaran atau non performing credit payment debitur. Istilah gampangnya apabila debitur (si pengutang) memiliki pinjaman kepada perbankan atau fintech, atau lembaga keuangan lainnya yang sistem kerjanya diawasi oleh OJK, semua aktivitas angsuran akan tercatat oleh BI (Bank Indonesia) selaku Bank Sentral yang memiliki tugas untuk mengawasi kegiatan moneter di negara ini. Bagi yang rajin dan selalu ontime bersyukurlah, track record Anda dinilai summa cum laude oleh Bank. Tapi, yang bayar tagihannya suka lewat atau bahkan sampai nggak kuat ngangsur, nah ini yang akan saya bahas.
Saat ini, kemampuan membeli masyarakat tidak didasari dari berapa penghasilan yang diperolehnya, namun seberapa canggih dia punya teknologi dan pandai memanfaatkannya. Contoh sebut saja saat ini fintech yang banyak bertebaran di Indonesia, dan saya rasa tidak perlu jugalah menyebut merek, cari saja di Google sudah banyak kok. Seperti yang kita tahu, sistem kerja fintech itu membantu konsumen atau kliennya untuk mendapatkan pinjaman online secara mudah dengan iming-iming bunga yang bersahabat. Syaratnya pun cukup mudah, Anda hanya diminta untuk data lengkap serta foto selfie dengan KTP. Begitu pula dengan form pengisian penghasilan, yang saya pikir orang dengan bisa bebas mengisinya, karena di form tersebut tidak ada juga bukti yang harus melampirkan slip gaji.
Begitu form disetujui, voila, klien mendapatkan approval untuk limit kredit. Mula-mula 10 juta, bila pembayaran angsuran bagus, akan dinaikkan secara bertahap. Masalahnya adalah, para konsumen tersebut tidak memikirkan prinsip kehati-hatian. Hanya didasari hawa nafsu ingin membeli barang ini barang itu. Prinsip “asal kebeli dulu, bayarnya nanti aja gampang”, jadi bumerang tersendiri bagi mereka. Oke, mereka bisa beli barang yang mereka mau, setelah itu ada konsekuensi yang harus mereka terima, apa itu? Pembayaran angsuran.
Melihat kemudahan fintech untuk menawarkan pinjaman, banyak konsumen terkecoh akan hal ini. Padahal menurut saya yang paling prinsipil adalah kemampuan mereka untuk mengangsur dan mengembalikan pinjaman berdasarkan bunga yang telah disepakati di awal. Saya rasa mereka tidak ngeh juga ada bunga pinjaman yang harus dibayar. Itulah permasalahannya saat ini, dan kejadian ini juga telah memakan banyak korban. Tak sedikit bertebaran berita tentang nasabah pinjol yang harus menanggung bunga tak masuk akal. Awal pinjam lima juta, telat membayar beberapa waktu, bunga yang harus dibayar mencapai 20 kali lipat. Bayangkan, 20 kali lipat!
Pentingkan prinsip kehati-hatian
Saya sudah banyak menangani klien yang punya track record jelek dalam kemampuan mengangsur pinjaman. Saran saya bagi teman-teman yang akan menggunakan jasa fintech untuk belanja. Pertimbangkan betul-betul prinsip kehati-hatian yang telah saya jelaskan di paragraf sebelumnya. Jangan mementingkan hawa nafsu “asal kebeli dulu”. Caranya adalah pilihlah fintech yang punya track record baik, dengan cara pastikan perusahaan fintech tersebut diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Teman-teman bisa juga tracking di sosial medianya atau menghubungi call center yang fungsinya untuk memastikan apakah fintech tersebut kredibel atau tidak.
Jangan malas buka Google untuk mencari tahu review dari konsumen sebelumnya. Hal lainnya yang terlihat sepele tapi menurut saya akurat adalah cek dengan tenant mana dia bekerja sama. Biasanya kalau sudah bekerja sama dengan marketplace bereputasi besar sebut saja Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan yang lainnya, maka teman-teman bisa dijadikan pilihan untuk jasanya.
Tapi, lagi-lagi, pertimbangkan lagi untuk menghindari pinjol, meski punya track record yang bagus. BI checking yang sehat adalah hal yang patut untuk diperjuangkan.
Pastikan kuat mengangsur
Poin ini menjadi penting, karena rata-rata konsumen hanya memikirkan berapa limit yang dia terima, tapi tidak pernah mempertimbangkan berapa bunga yang harus dibayarkan plus dengan pokok pinjamannya. Jangan sampai, gaji bulanan yang seharusnya bisa bermanfaat untuk keperluan pokok lainnya, malah dialokasikan untuk membayar angsuran pinjol/fintech. Apalagi sampai telat membayar atau bahkan tidak kuat membayar. Bukan hanya Anda dikejar-kejar mata elang, nama baik anda akan tercoret sebagai debitur yang track record capability-nya (kemampuan untuk mengangsur) hancur lebur.
Plis jadilah smart people sebelum mengambil keputusan, jangan asal pijat pijit form tanpa mempelajari dulu bagaimana tata cara peminjaman dan bunga yang dibebankan kepada konsumen. Jangan cuma kebawa hawa nafsu, eman-eman gajimu slurr…
Pertimbangkan risikonya di masa depan
Seperti yang sudah saya singgung sedikit di paragraf awal, ada klien saya yang mencak-mencak gara-gara gagal jualan karena konsumennya remuk di BI Checking. Definisi di BI Checking tadi d iawal pun telah saya jelaskan, rata-rata konsumen klien saya itu, gagal membayar angsuran di fintech. Padahal angsurannya hanya kurang 100 ribu, 200 ribu, tapi namanya di bank tercoreng karena capability-nya remuk.
Ini yang perlu disadari, meminjam uang lewat fintech, berarti Anda sudah siap ambil risiko berutang. Berutang artinya ada harus taat atau patuh serta tunduk kepada aturan kreditur (si pemberi pinjaman). Berapa besaran bunga yang ditawarkan, kalau mampu silahkan ambil, kalau belum mampu jangan memaksakan.
Saat ini seluruh kinerja fintech termasuk konsumennya diawasi oleh OJK, artinya debitur yang track record-nya jelek untuk mengembalikan angsuran, tentu akan dilaporkan oleh fintech si kreditur kepada OJK, dan data tersebut pasti akan terintegrasi dengan sistem di BI. OJK mengawasi seluruh lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, maka hati-hatilah.
Nah setelah itu, bila ada debitur yang gagal mengangsur, BI akan mencatatnya sebagai nasabah atau debitur yang tidak kompeten. Artinya rapot konsumen akan dinilai merah oleh BI. Bagaimana kalau BI Checking kita jelek ? Mudah saja, tentu Bank akan menolak mentah-mentah angsuran atau pinjaman yang akan kita ajukan kepada mereka. Contoh saja, bila ada orang akan membeli rumah dengan cara kredit, tentu yang akan dicek lebih awal adalah BI Checking-nya dulu. Yang dicek bukan berapa penghasilan yang diterimanya, bukan berapa mobil yang dimilikinya, bukan berapa motor yang dimilikinya, yang penting adalah BI Checkingnya. Kalau jelek, jangan harap aplikasimu akan diterima oleh bank.
Maka, kalau kalian kepikiran mau ambil KPR di masa depan, pertimbangkan lagi saat mau utang ke pinjol. Telat berapa hari doang, ruginya bisa bertahun-tahun.
BACA JUGA Salah Kaprah Definisi Penghasilan dalam Perpajakan dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.