Ngapain Belajar Ilmu Geografi, kan Udah Ada Google Maps Itu Anggapan Keliru

Ngapain Belajar Ilmu Geografi, kan Udah Ada Google Maps Itu Anggapan Keliru Terminal mojok

Tempo hari saya sedang menggulir lini masa Twitter dan menemukan satu pernyataan yang menarik dari warganet yang budiman dan tacipaparerahedibesu. Kata terakhir itu kalau Anda nggak tahu bisa dikutuk sama Lord Baden-Powell dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Bapak Pramuka, lho. Heuheuheu~

Balik lagi ke Twitter, komentar si oknum kurang lebih gini, “Ngapain sih repot-repot belajar ilmu geografi, kan tinggal buka Google Maps. Beres!” Dan komentarnya tersebut lumayan mendapat banyak perhatian dalam bentuk reply, retweet, dan likedari warganet lainnya karena di-retweet oleh akun base-nya Yujiem.

Komentar warganet memang kadang suka bikin gemes, membuat diri saya ingin mencolek pipinya pakai ekskavator alias bego/beko kalau kata orang Jawa. Sebagai seorang guru Geografi di Kampus Biru, menurut saya pernyataan yang disampaikan warganet tersebut tentu saja kurang tepat dan menyesatkan. Satu level lah sesatnya sama info kalau nama “Sleman” berasal dari nama Nabi Sulaiman, atau kabar bahwa Hitler mati dan dikubur di Indonesia.

Oknum warganet memang nggak bisa disalahkan sepenuhnya atas komentarnya tersebut. Mungkin saja selama masa hidupnya, blio hanya punya sedikit memori tentang ilmu geografi di bangku sekolah. Bagaimana blio harus menghafal Ibu kota suatu negara, atau menggambar bendera negara tertentu, maupun memahami semua info yang ada di buku Atlas Lengkap Indonesia dan Dunia: Edisi Terbaru dan Terlengkap. Untuk SD, SMP, dan SMA.

Hipotesis lainnya adalah bisa jadi yang bersangkutan adalah anak IPA, sehingga nggak belajar ilmu geografi secara kaffah saat SMA. Tahunya ya bahwa geografi itu cuma urusan peta, penunjuk jalan, nggak lebih. Jadi, biasanya kalau ada teman yang suka nyasar atau nggak tahu jalan pasti digodainnya, “Nilai Geografimu berapa e?”

Jadi, sebenarnya geografi itu belajar apa sih, Kisanak?

Geografi itu gampangnya ya ilmu yang mempelajari semua fenomena dan kejadian yang terjadi di bumi, baik di atas maupun bawah permukaan laut. Meskipun ada juga yang sampai mempelajari fenomena di planet lain. Ya mirip-mirip seperti The Legend of Aang lah. Dalam ilmu geografi, kita mempelajari 4 elemen: api, air, udara, dan tanah. Bedanya kalau Aang punya gelar Avatar, kalau yang belajar geografi gelarnya itu S.Si., singkatan dari Sithik Sithik Iso, bisa lah sedikit-sedikit.

Memang perlu diakui bahwa saat ini masih ada gap kurikulum geografi antara pendidikan dasar dan menengah versus kurikulum di pendidikan tinggi. Pertama, mata pelajaran geografi di pendidikan dasar dan menengah belum menjadi mata pelajaran wajib. Kedua, tidak semua siswa punya kesempatan belajar geografi di SMA. Hanya kelas IPS saja yang punya privilese untuk belajar lebih dalam. Ketiga, ada perbedaan kurikulum yang diajarkan di SMA dan Universitas.

Padahal, jika kita berkaca pada beberapa negara maju, mata pelajaran geografi adalah salah satu mata pelajaran wajib di pendidikan dasar dan menengah sebagai salah satu dasar wawasan negara tersebut. Saya jadi ingat bagaimana kawan-kawan saya di Prancis punya pengetahuan yang mendalam terkait karakteristik wilayah mereka, apa saja potensinya, maupun risiko bencananya. Di Prancis, karier dosen geografi di Universitas juga digodok dalam kawah candradimuka melalui ngajar geografi di SD, SMP, dan SMA.

Lalu, manfaatnya belajar Geografi secara kaffah itu sebenarnya apa?

Sekarang mari kita ambil contoh kasus di Indonesia dan salah satu aspek yang dipelajari dalam ilmu geografi, yaitu kebencanaan. Indonesia ini kalau dilihat dari aspek kebencanaan itu ibaratnya seperti toko serba ada (toserba) bencana, lho. Mau bencana A sampai Z ada semua. Gunung meletus, banjir, gelombang pasang, tsunami, gempa, kebakaran, dan masih banyak bencana lainnya. Wes lengkap banget to?

Beda banget sama Prancis misalnya, bencananya lho cuma banjir, cuaca ekstrem, sama longsoran salju. Sudah. Apa serunya coba? Hidup jadi datar-datar saja gitu, lho. Maka dari itu, teman-teman saya justru banyak yang malah datang ke Indonesia untuk meneliti bencana, baik dari aspek fisik maupun sosial.

Nah, pengetahuan tentang kebencanaan jika dipelajari sejak pendidikan dasar, tentu saja merupakan salah satu upaya dalam meminimalisir korban jiwa ketika terjadi bencana. Bayangkan, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa ada setidaknya 1.999 kejadian bencana di tahun 2018. Kebayang kan gimana pusingnya Kepala BNPB yang juga salah satu alumnus Geografi, almarhum Pak Sutopo?

Pengetahuan tentang kebencanaan juga dapat membuat masyarakat nggak mudah percaya sama ramalan-ramalan dari paranormal yang masih sering dikasih panggung di layar kaca itu. Ibaratnya kalau di Indonesia, anak kecil juga bisa bilang bahwa tahun 2021 akan ada gempa, gunung meletus, dan tsunami. Lha, tiap hari itu mesti ada gempa je. Silakan cek update Gempa Terkini di situsnya BMKG kalau nggak percaya. Kita juga punya sekitar 130 gunung api aktif yang siap meletus kapan saja. Googling saja Magma Indonesia. Hadeeeh…

Apabila pengetahuan kebencanaan sudah diajarkan dari pendidikan dasar, tentu info-info hoaks yang beredar di grup WA itu juga nggak bakalan laku lagi. Berbekal pengetahuan tersebut, semua orang jadinya sudah tahu kalau kejadian gempa, erupsi gunung api, dan tsunami itu sampai sekarang belum bisa diprediksi kapan waktunya dan di mana lokasinya secara pasti.

Nggak ada lagi tuh ceritanya masyarakat panik gara-gara termakan broadcast nggak jelas yang beredar di grup WA seperti: “Info valid dari BMKG, nanti malam pukul 19.01 akan ada gempa 7.0 S.R. disusul tsunami. Segera mengungsi”. Dan yang lebih ekstrem, sudah nggak ada lagi tuh berita peneliti dan akademisi dipanggil pihak kepolisian karena dianggap meresahkan masyarakat seperti yang menimpa Pak Widjo Kongko dari BPPT tahun 2018 yang lalu. Hadeeeh…

Jadi gimana, sudah merasa cukup hanya dengan Google Maps?

BACA JUGA Sulit Romantis dengan Pacar yang Nggak Bisa Baca Google Maps dan tulisan Bachtiar Mutaqin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version