Film Dune, sejak awal kemunculannya sudah bikin huru-hara.
Film atau tontonan lainnya, memiliki berbagai pilihan kemasan dan format untuk ditawarkan pada penonton. Oleh karena itu, wajar apabila terbentuk selera penonton yang terbagi-bagi. Dalam film, selain memiliki pilihan genre yang berbeda, juga terdapat berbagai perbedaan kemasan.
Ada film yang diperuntukan penonton pecinta jedar-jeder berfokus pada aksi, ada film yang fokus dengan cerita dan jalinan narasi, ada pula film yang berfokus pada pencapaian artistik. Dan semua itu memiliki penikmatnya masing-masing, yang akhirnya membentuk segmentasi.
Film Dune akhir-akhir ini menjadi perbincangan menarik. Dune tampil seolah-olah menjadi film sci-fi dengan kemasan blockbuster mewah. Ini membuat para penonton yang hobi nonton ledak-ledakan dan aksi memukau melirikan matanya.
Namun, film Dune juga punya keinginan berupa pencapaian secara artistik dengan jalinan cerita yang penuh. Dua buah aspek yang tidak selalu bisa memuaskan segmentasi penonton tertentu.
Hasilnya, film Dune berhasil menimbulkan pergesekan antar penonton dengan referensi seleranya masing-masing itu. Dune berhasil banjir pujian, tapi ada juga penonton yang merespons secara negatif dengan berbagai ekspresi, mulai dari bilang bosan, ngantuk, bahkan yang sampai berani menilai jelek.
Beberapa waktu lalu, tulisan Mas Riyanto agak menarik perhatian saya. Tulisannya menjadi bukti adanya pergesekan penonton beda selera tersebut. Dia menulis bahwa Orang yang Ngantuk Pas Nonton Film Dune Pasti Kapasitas Otaknya Pas-pasan.
Sek, sek, sek. Ada satu hal yang mengganjal dari tulisan itu. Nggak boleh ta, kita ngerasa ngantuk ketika nonton film?
Ada berbagai faktor kenapa seseorang bisa tertidur saat nonton film. Bisa saja kondisi tubuh dan pikiran yang sedang tidak fit, sehingga tidak siap dengan pilihan film yang sudah terlanjur dipesan tiketnya. Atau, ya karena memang nggak suka aja, nggak cocok. Dan semua itu, tidak ada korelasinya dengan otak. Ngantuk nonton film itu reaksi yang manusiawi, tidak berkaitan dengan penilaian, dan tidak berhubungan dengan kapasitas otak. Lagian, film Dune memang se-membosankan itu, kok, buat saya.
Dune bagi saya memang sebuah film yang memiliki babak pertama yang cukup berat dilalui. Babak pertama film ini penuh dengan penyebutan istilah-istilah yang tidak familier, mulai dari nama tokoh yang belum tau wujudnya, nama tempat-tempatnya, nama jabatan, julukan, hingga memahami hubungan antar karakternya yang juga bejibun. Butuh waktu buat penonton untuk memahami konteks setiap dialog yang ada, untuk menyambungkan setiap titik misteri dan pemahaman semestanya.
Jadi, wajar saja sebenarnya kalau hal njelimet nan muter-muter ini bikin beberapa penonton merasa bosan. Lalu, kalau bosan, di bioskop ngapain? Ngantuk bisa jadi opsi baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Terus, emang kenapa kalau ngantuk? Emang nggak boleh nyerah nonton film, ya?
Lagian, tidak semua orang bisa mengagumi seperti apa yang Mas Riyanto kagumi. Apalah itu sinematografi ciamik dan musik menggelegar Hans Zimmer, kalau kehadiran cacing besar alaska yang ternyata bisa membuat penonton terhibur.
Maksudnya, ya terima aja kalau ada orang yang nggak suka film bertempo lambat dan penuh dialog terlepas dari cerita yang wah, makna yang dalam, isu yang bagus, atau sinematografi memukau. Emang nggak cocok aja, beda selera. Nggak perlu merasa membela film segitunya seolah-olah ada kewajiban menerangkan perihal selera terbaik dan terbenar. Nggak ada yang bisa maksain untuk suka.
Lagian, merasa ngantuk dan bosan menonton film adalah hal yang wajar dan manusiawi. Dan bagi saya, reaksi itu bebas nilai, tidak mengandung penilaian bagus atau jelek, dan tidak merepresentasikan kualitas filmnya. Orang boleh untuk merasa bosan dan ngantuk nonton film, tapi tetap merasa itu film yang bagus. Saya saja butuh berkali-kali nonton film-film Christopher Nolan atau Zack Snyder karena selalu ketiduran di tengah jalan atau kebosanan setengah mampus. Namun, saya tetap merasa filmnya bagus.
Kecuali, orang yang beda selera ini melanggar batasan dalam memberi penilaian sembarangan. Selera nggak membenarkan kita untuk mendiskreditkan sebuah film dengan penilaian secara dangkal cuma modal “filmnya jelek dan ngebosenin”. Kayak mau ngekritik, tapi nggak punya argumen atau kurangnya perbendaharaan kata. Apa bedanya dengan selebgram review makanan modal “rasanya kek mau meninggal”. Padahal bisa cukup bilang nggak suka atau nggak cocok, kan itu selera, dan nggak bisa digugat.
Duh, pengkelas-kelasan tontonan ini mulai nggak mashook, buat siapa pun, baik itu orang yang nggak tahan sama film lambat dan ngatain orang lain elitis, maupun sinefil pengagum Wong Kar Wai. Lagian, yang otaknya pas-pasan itu bukan cuma orang yang ngantuk nonton Dune, tapi juga mereka yang curigain film Nussa nggak-nggak hanya modal kostum.
Sumber Gambar: Akun Instagram DuneMovie