Seperti biasa, menjelang masuk bulan Ramadan, majelis-majelis taklim di Indonesia umumnya ditutup sementara atau tawaqufan dan akan dibuka kembali usai Ramadan. Begitu pula majelis taklim di masjid perumahan saya, akhir Sya’ban lalu sudah ditutup. Umumnya bertujuan agar pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan dapat fokus membaca dan mengkhatamkan Al Quran, dengan dibaca sendiri maupun dibaca sima’an atau tasmi’ dalam kelompok kecil, baik di rumah-rumah atau di masjid-masjid.
Namun, tidak demikian halnya di pesantren-pesantren. Biasanya pesantren membuka ngaji khusus kitab Salaf alias kitab kuning di bulan Ramadan. Ngaji pasaran namanya, istilah yang dipakai pesantren-pesantren di tanah air. Termasuk pesantren di mana guru agama saya mengajar di daerah Kedung Jiwa, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Nama pesantrennya Ma’had Al Arba’in Bojonggede di bawah asuhan Guru Hasbi, begitu belio disapa santri-santrinya.
Hampir setiap Ramadan belio membuka pengajian kitab kuning. Prinsipnya bagi kalangan pesantren, bulan Ramadan tak hanya mengaji Al Quran saja, tapi juga mengaji cabang-cabang ilmu agama Islam lainnya seperti fiqih, tasawuf tauhid, tafsir, hadits, nahwu shorof (gramatikal bahasa Arab), sampai dengan balaghah (sastra Arab).
Kitab kuning yang dibaca adalah susunan para Salafushshaleh seperti Imam Abdullah Al Haddad, Hujjatul Islam Imam Al Ghazali, Syaikh Abdul Qodir Al Jilani, Ibnu Athoillah As Sakandari, Jalaludin As Suyuti, Syaikh Nawawi Al-Bantani, hingga guru belio Mu’allim Syafi’i Hadzami. Nama kitabnya antara lain seperti Nishoih Diniyah, Ihya Ulumudin, Bidayatul Bidayah, Tafsir Al-Hikam, Tafsir Jalalain, Ushfuriyah, dan masih banyak lagi lainnya.
Ngaji pasaran sendiri kalau di Jawa Barat mengacu usungan atau keranda mayat yang selalu dibawa dalam waktu cepat sesuai kebutuhan. Kitab yang dibaca adalah kitab kuning dengan cara dibaca cepat hingga dapat khatam tak sampai akhir Ramadan. Boleh dibilang ngaji pasaran sudah berlangsung lama dan menjadi tahunan pesantren-pesantren di bulan Ramadan. Ada yang menyebut mulai abad 18, dll.
Tak hanya diikuti para santri yang tidak pulang ke rumah, ngaji pasaran juga dibuka dan dapat diikuti oleh masyarakat umum. Belio sendiri yang membaca dan memimpin jalannya pengajian, sedangkan pembacaan kitab kuning dilakukan oleh santri senior. Sedangkan, santri tetap dan santri kalong alias kita-kita yang mengaji insidentil dan tak menginap, serius mencatat, menyimak, dan menulis penjelasan-penjelasan belio di pinggir kitab atau di buku catatan sendiri.
Bagi saya dan beberapa teman lainnya, sebenarnya agak kesulitan mengikuti jalannya ngaji pasaran mengingat ilmu dasar gramatikal bahasa arab, yakni nahwu shorof kami sangat dangkal. Selain itu, rasa kantuk yang luar biasa menjadi faktor penyebab selanjutnya. Bagaimana tidak ngantuk, pengajian yang dilaksanakan guru saya ini dilaksanakan malam hari, dari jam 23.00 hingga jam 02.00 WIB. Kadang saking ngantuk beratnya, bangun-bangun sudah mau selesai, hehehe. Pernah pula, saat terlelap, pinggang saya ada yang nyolek. “Bang, halaman berapa?” tanyanya. “Auk, ach,” jawab saya masih gelagapan.
Sebenarnya tidak ada waktu khusus ngaji pasaran ini. Ada pesantren yang memulainya dari ashar hingga tengah malam. Setelah berbuka puasa dan shalat tarawih, dilanjutkan kembali setelahnya. Ada pula ba’da tarawih, ba’da subuh, ba’da dzuhur, atau jelang Maghrib (ngabuburit). Biasanya tak ada tanya jawab dalam ngaji pasaran, karena penjelasan sang Guru singkat, instan namun tetap padat. Tak heran, durasi pengkhataman kitab memang berlangsung instan tak sampai satu bulan, mirip pesantren kilat.
Ngaji pasaran sempat tak berjalan 2020 lalu di beberapa pesantren, karena pandemi Covid-19 yang mengharuskan tak boleh berkerumun alias berkumpul. Alhamdulilah tahun 2021 ini, paparan infeksi semakin melandai. Hingga guru saya memutuskan untuk membuka kembali ngaji pasaran. “Tunggu maklumat saya,” kata Guru Hasbi, sesaat setelah belio selesai salat Zuhur.
Saudara, meski majelis-majelis ilmu sudah ditutup sementara di bulan Ramadan ini, tapi tidak berarti kewajiban menuntut ilmu juga ditutup. Jangan karena ditutup, jadi malah membuat kita berhenti ngaji. Selain ngaji Quran, ngaji cabang ilmu lainnya juga kewajiban setiap muslim. Walau terkantuk-kantuk kala tengah malam, ngaji kitab kuning selama ngaji pasaran akan membuat saya rindu bulan Ramadan. Bagaimana dengan kalian? Apa yang kalian rindu di bulan Ramadan?
*Takjilan Terminal adalah segmen khusus yang mengulas serba-serbi Ramadan dan dibagikan dalam edisi khusus bulan Ramadan 2021.
BACA JUGA Jangan Beli Mobil kalau Belum Memiliki 4 Hal Ini dan tulisan Suzan Lesmana lainnya.