Nestapa Warga Pulau Obi, Korban Ambisi Jokowi

Nestapa Warga Pulau Obi, Korban Ambisi Jokowi

Nestapa Warga Pulau Obi, Korban Ambisi Jokowi (Pixabay.com)

Penderitaan warga Pulau Obi adalah contoh sahih bahwa nikel, yang jadi andalan Jokowi, hanya bisa dinikmati oleh segelintir elit saja

Nikel adalah komoditas penting yang selalu ditawarkan oleh Presiden Jokowi kepada investor di luar negeri. Utamanya kepada perusahaan yang fokus memproduksi mobil dan motor listrik. Seperti yang kita tahu, nikel adalah bahan baku baterai kendaraan listrik yang diklaim ramah lingkungan.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia. Sulteng, Sultra dan Malut adalah daerah penghasil nikel tertinggi. Jadi, jangan heran kalau opung Luhut yang super sibuk itu, sering wira-wiri ke provinsi tersebut untuk meresmikan beberapa smelter hasil kerjasama Indonesia dan perusahaan Cina.

Di era Jokowi, negara juga berusaha keras mengajak warganya untuk berpindah dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik, pemerintah bahkan berencana memberikan subsidi kepada warganya yang mau membeli motor listrik. Imbauan tersebut terlihat baik dan mulia.

Kendaraan listrik memang ramah lingkungan, tidak berisik, dan irit.  Namun, dengan catatan, sumber listriknya tidak lagi tergantung pada batu bara dan tambang nikelnya dilakukan dengan humanis. Masalahnya, apakah pemerintah mampu membangun pabrik nikel yang ramah lingkungan? Apakah negara menjamin jika pertambangan nikel tidak akan mengorbankan rakyat jelata demi cuan besar yang hanya dinikmati segelintir penguasa?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita berkunjung ke Pulau Obi di Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, yang menjadi salah satu tempat berdirinya pabrik nikel atau area tambang nikel milik Harita Group yang sudah mulai beroperasi sejak tahun 2007.

Memori di Pulau Obi

Lebih dari tiga belas tahun lalu—ketika masih menjadi mahasiswa— saya pernah ke Pulau Obi. Sependek ingatan saya, waktu itu belum ramai tambang nikel, mungkin saja sudah ada tapi masih tahap awal pembangunan dan belum masif seperti sekarang.

Dulu, mencari sinyal di Obi ibarat mencari keadilan, susah sekali. Selain sinyal, listrik juga tak kalah suramnya. Warga masih banyak yang bergantung pada genset. Meskipun dulu infrastrukturnya terbatas, tapi Obi adalah pulau yang indah.

Mata pencarian warga Obi waktu itu masih berbasis pada alam yaitu berkebun, bertani dan nelayan. Saya bisa melihat nelayan pergi melaut dengan kapal seadanya, tapi hasil tangkapan ikannya cukup untuk menghidupi anak istri di rumah.

Saat sore hari, saya melihat anak kecil bermain di pantai, berpapasan dengan bapak-bapak yang pulang dari kebun dan sering melihat para mama berjibaku dengan pala. Mereka semua masih bisa memenuhi kebutuhan makan dari hasil kebun sendiri. Meskipun terlihat tradisional, tapi suasananya menentramkan dan bersahaja.

Namun, ketika beberapa waktu lalu saya kembali datang ke Pulau Obi, saya mendapati kenyataan yang sangat menyesakkan dada. Memang sih, saya sudah bisa mendapatkan sinyal seluler dengan lebih lancar. Tapi, di beberapa lokasi —terutama yang dekat dengan tambang nikel seperti di Desa Kawasi, kondisi lingkungannya memburuk dan jauh berbeda dengan yang pernah saya lihat dahulu.

Obi yang berubah ngeri

Air di Kawasi berwarna coklat seperti tercampur dengan besi berkarat. Kata penduduk setempat, kondisi tersebut akan lebih mengerikan ketika musim hujan datang. Sepanjang bibir pantai, warna lautnya berubah menjadi coklat kemerahan, benar-benar keruh. Padahal sebelum tambang datang, air laut di sini bisa kita gunakan untuk ngaca saking jernihnya.

Nelayan yang dulunya bisa mendapatkan banyak ikan dalam sekali melaut, kini hanya mampu membawa beberapa kilo saja. Itupun mereka harus melaut sampai jauh dari bibir pantai. Sulton Ode, teman saya sekaligus warga asli pulau Obi yang aktif berorganisasi bersama nelayan di sana bercerita jika nelayan Obi terancam tidak bisa melaut karena airnya tercemar. Di sisi lain, mayoritas nelayan lokal juga masih mengandalkan alat dan kapal tradisional sehingga hasil tangkapan ikannya semakin tidak maksimal.

Ancaman kerusakan biota laut adalah satu masalah, ada masalah lain yang mengintai warga Obi yaitu penyakit ISPA dan diare akibat lingkungan yang kotor. Di Kawasi, kalian bisa bertemu dengan para balita yang kesusahan bernafas karena paru-parunya kemasukan debu atau partikel lain akibat lalu lalang buldoser tambang. Sialnya lagi, Kawasi belum memiliki rumah sakit, ada sih semacam pondok bersalin gitu, tapi tidak memiliki peralatan kedokteran yang lengkap dan tidak punya alat bantu pernafasan. Jadi, jika anak-anak terkena ISPA, mereka harus berobat ke Labuha di Pulau Bacan yang merupakan ibu kota kabupaten Halmahera Selatan.

Jangan dibayangkan jarak Kawasi ke Labuha sedekat Gunungkidul ke Jogja lho ya. Dari Pulau Obi ke Labuha membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam. Itupun jika ada jadwal kapal yang menuju pelabuhan Kupal di Labuha. Kalau nggak ada jadwal, kita harus menunggu keesokan harinya.

Bayangkan jika ada warga yang sakit parah di Kawasi, barangkali belum sampai rumah sakit sudah keburu mati. Sebenarnya di Kawasi ada klinik milik perusahaan tambang. Namun, menurut penuturan warga, klinik tersebut eksklusif. Warga yang berobat di sana nggak diprioritaskan bahkan cenderung disepelekan soalnya bukan pekerja tambang. Kejam betul, kan? Padahal, penyakit ISPA pada balita dan gatal-gatal yang diderita orang dewasa pasti ada hubungannya dengan polusi pertambangan.

Ini hanya sebagian kecil penderitaan yang dialami warga Obi. Masih banyak hal lain yang terjadi di sana, seperti tanah-tanah warga yang dibeli dengan harga murah dan penduduk desa yang tidak diutamakan dalam skema perekrutan karyawan perusahaan tambang.

Lantas, di mana keberadaan negara? Pemerintah kita ini maunya mengeruk SDA sebanyak-banyaknya, tapi nggak mau repot membuatkan fasilitas kesehatan, pendidikan dan rumah tinggal yang layak. Benar-benar mau enaknya sendiri, pukimac sekali.

Yaaa aslinya sih ada sekolah di Kawasi, tapi kondisinya berbeda dengan sekolahan anak-anak di Jawa. Ha wong penerangan sekolahnya saja masih mengandalkan genset desa, lho. Kadang juga listriknya suka padam sendiri. Ini logikanya kek mana sih? Ingin mobil listrik, tapi di tempat yang menjadi bahan baku mobil listrik malah susah listrik? Kocak betul negara.

Tambang nikel buat siapa?

Mungkin memang tambang nikel ini menguntungkan sekali bagi negara dan sedikit banyak menghasilkan cuan untuk sebagian orang Obi yang bekerja di pertambangan ataupun mereka yang punya modal untuk berwirausaha. Namun, negara juga tidak seharusnya menutup mata dengan kondisi lingkungan dan keadaan warganya yang setiap hari harus berhadapan dengan polusi udara dan susah mencari makan karena terbatasnya kemampuan.

Iya keterbatasan, bagi warga yang masih muda mungkin bisa melamar di pabrik nikel. Tapi, bagaimana dengan nasib nelayan yang usianya sudah menua dan tidak diterima di pabrik? Sementara jika melaut, ikannya sudah kabur karena airnya keruh. Orang-orang seperti ini harus ke mana? Harus mengadu kepada siapa? Ha wong setiap pemilu datang, para penguasanya hanya sibuk berebut kursi kekuasaan. 

Pada akhirnya, apakah mimpi mobil listrik Presiden Jokowi sebanding dengan penderitaan warga Obi? Apakah memang benar mobil listrik dan pabrik nikel dibangun demi lestarinya lingkungan dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jangan-jangan, semua yang indah-indah justru hanya dinikmati penguasa.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mobil Listrik Makin Nggak Menarik ketika Tarif Dasar Listrik Bakal Naik

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya
Exit mobile version