Jika Mbak Tiara Uci kemarin membagikan kesannya setelah mengunjungi Halmahera, Provinsi Maluku Utara, kali ini saya akan membagikan pengalaman saat saya tinggal dan menjadi guru di Pulau Luang. Punya pengalaman hidup selama setahun lamanya di sini membuat saya sadar, betapa beruntungnya saya lahir, tumbuh, dan hidup di Pulau Jawa.
Pulau Luang termasuk daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Pulau ini masuk dalam Kecamatan Mdona Hyera, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Saking kecilnya, pulau ini nggak bakal kelihatan di peta atau atlas, kecuali hanya sebagian kecil atlas yang bisa menggambarkannya.
Pulau Luang terdiri atas dua desa, yakni Desa Luang Timur dan Desa Luang Barat. Kedua desa itu dipisahkan oleh perbukitan. Kita perlu mendaki bukit dan menuruninya sekitar setengah jam untuk mencapai tujuan. Jangan kira di sini bisa naik motor ya, Gaes. Pasalnya, jalan menurun di sini penuh batu-batu licin yang bikin rawan terpeleset jika kita nggak hati-hati.
Ada alternatif lain jika nggak mau susah-susah berjalan kaki. Kita bisa menaiki perahu nelayan yang bermesin lalu memutar jalan melewati tepian pantai Pulau Luang. Waktu yang dibutuhkan nggak sampai sejam, kok. Pulau ini memang ukurannya amat kecil. Jika kita berjalan mengelilingi sisi pulau dengan asumsi semua jalan datar dan tanpa hambatan, nggak sampai dua belas jam sudah bisa kembali ke titik awal.
Daftar Isi
Susah mendapat air tawar di Pulau Luang
Salah satu berkah yang dimiliki Pulau Luang adalah memiliki laut dangkal yang cukup luas. Eits, jangan berkhayal kalau yang saya maksud dangkal itu sedangkal kolam renang buat anak, ya. Maksudnya dangkal di sini adalah antara 0 hingga 10 meter.
Laut dangkal ini memudahkan nelayan untuk mendapatkan ikan, lobster, cumi-cumi, dan berbagai hasil laut lain. Bahkan hanya dengan berbekal kail pancing dan umpan cacing, nggak sampai sejam di musim bagus kita udah bisa dapat seember kecil ikan. Serius!
Dangkalnya laut ini juga mendukung kegiatan para nelayan untuk budi daya rumput laut. Rumput lautnya gemuk-gemuk, Gaes. Konon katanya, dulu sempat ada kunjungan dari kabupaten untuk menyuntik dan membudidayakan rumput laut khusus yang layak jual. Para nelayan yang berhasil membudidayakan rumput laut bisa dapat pemasukan yang cukup besar, sekitar 4 hingga 15 juta rupiah per tiga bulan. Bergantung luas lahan yang para nelayan ini miliki dan kemujuran nasib tentunya.
Namun, di mana ada kelebihan, di situ juga ada kekurangan. Pulau Luang yang kecil ini amat tandus. Perbukitannya hanya dipenuhi ilalang panjang. Hanya satu atau dua pohon besar yang muncul dalam satu bukit. Tanah-tanahnya susah ditumbuhi tumbuhan. Sayur yang berhasil tumbuh di sana hanya kangkung, sawi, cabai, tomat, terong, dan pare. Itu pun untuk kangkung dan sawi hanya bisa tumbuh di saat musim hujan yang turun pada bulan Januari, Juni, dan Juli.
Nggak semua warga punya sumur di samping atau belakang rumahnya. Dalam satu Desa Luang Timur hanya tersedia tujuh sumur. Iya, kamu nggak salah baca kok. Tapi, luas desa di Pulau Luang hanya sekitar luasnya 5-6 RW di kampung saya. Meski demikian, itu sudah cukup menyiksa, ya.
Di antara ketujuh mata air itu, hanya tiga mata air yang benar-benar tawar dan layak untuk minum. Salah satu di antaranya berada di puncak bukit. Warga di sana hanya boleh mengambil air dari sumur ini buat minum saja. Sementara sisanya termasuk air payau yang hanya layak untuk mandi, masak, dan mencuci.
Sudah gitu, di sini nggak ada pipa-pipa penyalur air dari masing-masing sumur menuju ke rumah penduduk. Bukannya malas, melainkan stok air di sini memang sedikit sehingga nggak akan cukup dikirim lewat pipa. Jadi, satu-satunya cara untuk mengangkut ya pakai tenaga manusia. Cara termudahnya dengan menggunakan gerobak yang diisi beberapa jerigen air.
Gimana? Sudah bersyukur hari ini kalian bisa mandi dengan air yang melimpah di kamar mandi tanpa perlu mengangkutnya dari jarak jauh?
Akses transportasi sulit
Wilayah-wilayah dalam Kabupaten Maluku Barat Daya terdiri atas pulau-pulau yang tersebar. Makanya nggak usah heran kalau transportasi yang memadai untuk menghubungkan antarpulau hingga menuju ibu kota Provisi Maluku, Ambon, adalah kapal laut.
Dalam seminggu, hanya ada tiga kapal yang melintas di Pulau Luang. Kalau menurut warga sekitar, itu sudah cukup banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya yang hanya ada satu kapal tiap dua minggu sekali. Untuk mencapai Ambon butuh waktu sekitar empat hari lima malam.
Sementara itu untuk menuju Kupang, butuh waktu sekitar tiga hari lima malam. Biasanya masyarakat yang punya toko, kulakan barang dagangan di sana, sebab harganya jauh lebih murah. Sekali kulakan barang, masyarakat Pulau Luang bisa berbelanja hingga satu pick up besar. Mereka perlu membayar sewa pick up dan kuli yang menaikturunkan barang dari dan ke kapal.
Hal inilah yang dulu bikin saya malu, sebab saya selalu menggerutu jika mau naik bus Ponorogo-Surabaya ketika mau masuk kuliah. Padahal jarak tunggu di dalam bus sekitar satu jam saja. Kemudian dalam waktu lima sampai enam jam saya sudah sampai Surabaya. Amat berbeda jika dibandingkan hidup di Pulau Luang. Di sana, saya harus menunggu hitungan hari hingga minggu untuk mendapatkan kapal sesuai rute tujuan.
Pulau Luang tak tersentuh listrik PLN
Siapa yang di sini sering mengeluh kalau listrik tiba-tiba padam meski hanya dalam hitungan jam? Kesusahan yang kalian rasakan itu nggak sebanding sama kesusahan para penduduk Pulau Luang dan sekitarnya yang ngggak tersentuh listrik PLN seumur hidup mereka. Bukan berniat adu derita, tapi kalau kalian menganggapnya gitu juga nggak masalah, hehehe.
Umumnya, penduduk di sana memakai genset untuk mengalirkan listrik ke rumah-rumahnya. Genset ini bekerja mulai pukul 19.00 WIT hingga 22.00 WIT. Selebihnya, di sana kami beraktivitas dengan cahaya lilin, senter, atau ublik. Tentu saja istilah ublik ini adalah bahasa Jawa. Lampu menyala hingga dini hari hanya saat ada acara tertentu, misalnya saat ada acara pesta, anggota keluarga yang melahirkan, atau bersiap-siap hendak melakukan perjalanan, eh, pelayaran jauh keesokan harinya.
Di Desa Luang Barat, penerangannya sudah mengandalkan sel surya. Cahaya lampu yang dihasilkan di hari terang bisa menyala sejak pukul 18.00 WIT hingga pukul 05.00 WIT. Jadi sudah sangat membantu. Namun, energi dari sel surya hanya cukup untuk menyalakan lampu. Sementara untuk menyalakan TV belum kuat. Jangan mimpi ada setrika listrik, magic com, kipas angin, apalagi AC, ya. Bisa numpang nonton TV di tetangga yang punya toko itu sudah bagus.
Sebenarnya ada satu lagi nestapa hidup Pulau Luang yang saya rasakan. Dulu saat saya masih berada di sana, daerah ini nggak tersentuh sinyal telepon seluler. Jadi, bawa HP di sana cuma buat jadi senter, stel musik, foto-foto pakai kamera, sama alarm aja. Tapi, untungnya sekitar dua tahun kemudian, tower Telkomsel sudah berdiri di salah satu puncak bukitnya.
Itulah nestapa hidup di Pulau Luang yang saya rasakan selama setahun mengajar di sana. Meski begitu, tentu ada juga kenikmatan yang membuat saya bahagia punya pengalaman di sana. Lain kali saya mau bikin tulisan tentang itu. Bagaimanapun cerita susah ini tetap layak dikenang. Supaya apa? Ya, supaya kalian (dan saya) masih bisa bersyukur saat merasa hidup lagi susah-susahnya.
Penulis: Rezha Rizqy Novitasary
Editor: Intan Ekapratiwi