Nelangsanya Milenial: Dijadikan Target Jualan dan Dibebani Ekspektasi Super Tinggi

millennials beban ekspektasi tinggi beli rumah mojok

millennials beban ekspektasi tinggi beli rumah mojok

Saya betul-betul berulang kali membaca twit dari Ligwina Hananto tentang milenial dan “Ya kali nggak punya rumah di umur 40-an”. Menelaah twit-nya dan mencoba memahami apa maksud dan tujuannya.

Narasi yang bikin heboh sampai jadi trending itu, men-trigger banyak orang untuk mengeluarkan opini sekaligus unek-unek yang selama ini dipendam. Disadari atau tidak, narasi tersebut sudah seperti wacana kusut yang seakan sengaja diulang terus menerus. Sekaligus menjadi pengingat bahwa, realitasnya, milenial cukup sulit untuk membeli rumah di masa sekarang.

Rasanya tidak berlebihan jika sebagian milenial merasa dongkol sekaligus mangkel saat mengetahui twit tersebut. Lha, gimana. Disadari atau tidak, kaum milenial selalu dihubungkan dengan banyak hal. Diberi ekspektasi tinggi, sering kali dijadikan bagian dari komoditi, tapi ketika melakukan kesalahan langsung dicaci dan minim apresiasi. Sungguh berat, Bung.

Sebetulnya, nggak ada yang salah dari twit yang di-posting oleh blio. Apalagi, itu merupakan bagian dari iklan kelas finansial. Hanya saja, kalimat “ya kali nggak punya rumah di umur 40-an” agak nganu gimana gitu. Ya, mau bagaimana pun, semua orang punya timeline-nya masing-masing, kan? Ada yang bisa membeli rumah di usia sebelum 40. Ada juga yang masih berjuang agar finansialnya bisa stabil di usia segitu. Ya kali kemampuan finansial semua orang mau disamaratakan.

Menjadi milenial di zaman sekarang itu sulit. Bertubi-tubi menjadi bagian dari komoditi dengan embel-embel yang serupa meski nggak sama. Dari milenial punya rumah, apartemen, sampai kendaraan pribadi. Apa pun itu.

Perlahan, hal semacam itu menjadi ilusi bahwa kepemilikan akan sesuatu dan segala proses transaksi yang dilakukan oleh milenial itu adalah sebuah pencapaian tertinggi. Padahal, nggak semua orang memulai dari garis yang sama. Proses yang dilalui pun berbeda satu sama lain. Sehingga, kalimat “ya kali nggak punya rumah di umur 40-an” bukannya memotivasi, malah bikin keki. FYI aja, sih.

Okelah, kami—para milenial—diimbau untuk memilih sekaligus mengorbankan gaya hidup sekarang demi masa depan. Namun, di waktu yang bersamaan, apakah ada jaminan untuk itu?

Jawabannya mungkin akan retoris: tergantung masing-masing individu dan apakah sudah benar dalam menjalani prosesnya. Oleh sebab itu, perlu diingat juga bahwa, tiap orang mengalami persoalan yang berbeda. Termasuk, dalam hal mengatur keuangan sampai akhirnya bisa—atau mungkin belum bisa—membeli rumah sebelum umur 40-an.

Selain gaya hidup juga faktor internal seperti keinginan yang kuat atau motivasi, jangan lupa juga bahwa saat ini milenial dihadapkan dengan beragam tantangan dalam mengatur finansial dari sisi faktor eksternal. Seperti gencarnya promosi dalam hal fashion, makanan-minuman, serta segala cashback demi memenuhi kebutuhan. Belum lagi dari sisi karir yang sulit ditebak arah, tujuan, dan penghasilan yang didapat.

Tentu saja, sangat mudah menyampaikan, “Makanya, kalau karir di satu perusahaan stuck apalagi gaji nggak naik-naik, resign aja. Cari lagi yang jauh lebih baik,” kepada seseorang yang sedang galau dan ragu dalam mengambil keputusan: apakah menetap di kantor saat ini tapi karir dan pendapatan biasa-biasa saja. Atau memberanikan diri untuk melangkah ke tempat yang dianggap lebih baik. Namun, selain sulit, harus diingat juga tiap orang punya pertimbangan masing-masing. Hal ini menjadi semakin sulit dipisahkan dari para milenial dan hubungannya dalam memiliki rumah sebelum umur 40-an.

Di sisi yang berseberangan, nggak sedikit milenial yang bisa punya rumah sejak dini dengan beragam pengorbanannya. Kisahnya ada yang memberi motivasi sekaligus bikin iri. Ada juga yang merasa biasa saja dan nggak terprovokasi dengan segala embel-embel, “Saatnya milenial punya ini dan itu.”

Rasanya memang sulit dimungkiri, susah betul jadi milenial sekarang. Mulai dari cerita mendapatkan uang 100 juta pada usia 25 tahun, polemik soal tuntutan mendapatkan skor TOEFL yang harusnya bisa lebih tinggi dari generasi sebelumnya, sampai dengan punya rumah sebelum umur 40-an. Semuanya ada di ranah milenial. Lagi-lagi milenial. Segala sesuatu—apa pun itu—ada saja yang dikaitkan dengan milenial.

Konon, milenial adalah generasi yang serba bisa dan tahu segalanya. Tapi, giliran kami punya opini sendiri, kok, malah dibilang, “Ah, anak kecil tahu apa?” sama generasi sebelumnya?

BACA JUGA Wahai Pelamar Kerja, Kesan Pertama Itu Penting! dan artikel Seto Wicaksono lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

 

Exit mobile version