Saya adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ada yang mengenal dengan istilah anak bontot—lebih familiar dengan sebutan anak bungsu asal bukan anak bawang. Mitosnya, anak bungsu dikenal sebagai sosok yang manja dan saya menjadi salah satu dari sekian banyak anak bungsu yang belum bisa mematahkan mitos tersebut. Yasudah lah, terima saja jika kami memang begini adanya. Toh, biasanya anak yang manja itu menggemaskan.
Bukan tanpa alasan, sebagai anak yang paling terakhir dilahirkan pastinya memiliki kakak yang lahir lebih dulu—entah berapa pun perbedaan usianya—dan sudah sewajarnya jika kemudian sang kakak menyayangi, mengayomi, juga melindungi adiknya. Dari situ, perlahan hubungan batin dan rasa sayang dalam artian satu keluarga terbentuk. Begitu kira-kira.
Sudah 25 tahun lebih saya menjadi adik profesional bagi seorang kakak. Dari mulai disayang, dimanja, sampai dengan ditraktir menjadi hal yang biasa dirasakan juga diterima. Apalagi jika jatah uang jajan habis, biasanya saya akan langsung minta tambahan ke kakak dan biasanya akan selalu diberi tanpa ada embel-embel lain.
Belum lagi jika sedang ada masalah dengan teman, saya selalu dibela lebih dahulu—paling tidak di depan teman-teman—jika setelahnya terbukti saya yang salah tetap akan kena tegur juga, sih. Walau tidak selalu menjadi teman curhat yang baik paling tidak kakak menjadi pendengar yang baik bagi adik bungsunya.
Jika sedang merasa bosan di rumah, tak jarang sebagai anak bungsu saya sering diajak jalan-jalan berdua. Bahkan saking asiknya berinteraksi sambil bercanda, orang lain melihat kami seperti pasangan yang sedang berpacaran karena terlihat sangat kompak dan terbilang serasi. Meski traktiran tidak selalu yang mahal, tapi cukup membuat mood—yang sebelumnya merasa bosan—kembali membaik.
Jika satu sekolah pun—khususnya sewaktu SD—terasa menyenangkan karena tidak ada teman yang berani usil. Siapa berani, pasti akan langsung dicari oleh kakak saya. Pada masa itu, saya merasa aman karena selalu dilindungi. Karena hidup harus seimbang, tentunya selain ada hal menyenangkan—menjadi anak bungsu—ada juga hal yang kurang mengenakan.
Dimulai dari menjadi seorang pesuruh. Belum tahu siapa yang memulai, tapi dari dahulu sebelum senioritas ada di lingkungan pendidikan, siapa sangka justru semuanya berawal dari rumah saat beberapa kakak dengan alasan mager—dan itu-itu saja—dengan gampangnya menyuruh seorang adik untuk banyak hal, beli sesuatu di warung, menyapu, cuci baju, dan masih banyak lagi. Padahal, yang diminta tolong sang kakak.
Lalu dengan mudahnya berkata, “tapi kamu kan anak paling terakhir, kamu nurut dong sama yang lebih tua”. Dalam posisi terdesak seperti itu—sebagai anak bungsu—saya selalu berpikir kalau bisa memilih lahir lebih dulu sebagai seorang kakak dan bisa menyuruh sesukanya, ya saya juga mau. Walau sewaktu dalam situasi tersebut, jurus andalan kami para anak bungsu adalah merengek dan lapor pada Ibu sampai akhirnya para Kakak lah yang kena imbasnya—dimarahi.
Sebab itu, wajar jika banyak para kakak yang iri terhadap adik-adiknya—terutama yang bungsu—karena seringkali mendapat pembelaan dari orang tua meski yang salah adalah adiknya. Dengan bermodalkan ucapan “adikmu kan masih kecil—ngalah dong—Kak”, sang kakak langsung tak berkutik.
Sebelum dibanding-bandingkan dengan anak-anak lain di luar sana, sudah menjadi keresahan tersendiri bagi anak bungsu dibandingkan dengan para kakaknya, apalagi jika sang kakak memiliki banyak keunggulan dari segi akademik atau bagaimana mereka dengan rajinnya membantu orang tua tanpa diminta.
Maka tak jarang pula anak bungsu terkadang mendapat celotehan yang kurang mengenakan seperti “kok kamu ngga seperti kakakmu, sih? Dia rajin dan IPK-nya tinggi, lho”. Seringkali mental saya turun saat dihadapkan dengan situasi demikian, rasanya dibandingkan itu selalu tidak menyenangkan—bahkan dengan saudara kandung sendiri.
Namun, itu semua sudah terjadi dan menjadi kenangan juga bahan cerita tersendiri bagi kami—saya dan Kakak—yang sudah sama-sama beranjak dewasa. Dan untuk para anak bungsu siapa pun dan di mana pun berada bersabarlah, tidak ada menang atau kalah dalam gambaran situasi seperti yang diceritakan. Kelak yang tersisa hanyalah keceriaan dari para saudara kandung di rumah dan berpotensi dirindukan oleh para orang tua ketika kita semua sudah menjalani hidup masing-masing.