Nasi Jagung Sedudo, Nasi Jagung Terenak yang Pernah Saya Rasakan

nasi jagung sedudo

Nasi jagung Sedudo adalah nasi jagung terenak yang pernah saya rasakan.

Paling tidak, saya sudah pernah menetap di empat kota berbeda dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini. Nganjuk, kota kelahiran saya, Madiun, Ponorogo, dan Tulungagung. 

Dari segi bahasa saja, keempat kabupaten berdekatan itu punya perbedaannya masing-masing. Dan, tentu saja masalah kuliner. Pertama kali saya tinggal di Tulungagung, saya dikejutkan dengan cita rasa pedasnya yang nggak ketulungan. 

Apa pun makanannya, Tulungagung selalu menghadirkan konsep pedas. Dari pecel lima ribuan hingga sayur lodho tiga puluh lima ribuan. Semuanya bertemu pada satu titik. Pedas. Huh.

Lain halnya dengan nasi jagung. Terus terang saja, nasi jagung sebenarnya sama sekali bukan makanan favorit saya. Namun, istri saya betul-betul menyukainya. Mau gimana lagi, sebagai suami yang baik dan shalih di mata saya sendiri, saya memaksakan diri untuk menyukai nasi jagung. Dan benar, akhirnya saya menyukainya.

Dengan bekal berpindah-pindah kabupaten itu saya menjadi tahu bahwa cita rasa nasi jagung di empat kabupaten tersebut sangatlah berbeda-beda. 

Saya mulai dari Madiun. Madiun menyajikan nasi jagung selalu dengan topping krawu dan ikan asin. 

Pada dasarnya, ini enak. Cita rasa nasi jagung berpadu dengan sambel klopo dan ikan asin. Huh. Ini menggoyang lidah sekali. Namun, sayangnya saya pribadi tidak menyukai ikan asin. Duh, sayang banget, kan. 

Berpindah ke Ponorogo. Sebenarnya, tidak ada yang berbeda antara nasi jagung Madiun dengan Ponorogo. Topping keduanya sama. Ikan asinnya juga sama. Yang menjadi perbedaan ialah warna nasi jagung. Di Madiun banyak yang masih menjual nasi jagung dengan warna putih. Sementara, di Ponorogo, Nganjuk, dan Tulungagung sudah jarang ditemukan nasi jagung berwarna putih. Warna nasi jagung di ketiga kabupaten tersebut didominasi warna kuning. Sebagai info tambahan harganya juga tidak berbeda jauh berkisar 2.500 hingga 3.000 rupiah.

Berpindah ke Tulungagung. Ini agak aneh. Saya baru menemukan nasi jagung ditambah dengan sayur kacang merah (jangan tolo). Ini berarti nasi jagung tersebut tidak bisa dimakan dengan tangan telanjang. Lha gimana lagi, nasi jagung kering saja sudah lumayan sulit apalagi ditambah sayur. Boleh jadi mirip dengan syair Qais kepada Laila:

“Saya dengan Laila bak tangan menggenggam nasi jagung Tulungagung yang dikhianati jari-jemari.” Hahaha.

Tapi secara keseluruhan, tetap enak, dan tetap istiqomah dalam jalan ninja mereka. Pedas. Harganya pun mirip dengan di Madiun dan Ponorogo.

Di Nganjuk. Cita rasa nasi jagung di kabupaten ini agak berbeda dengan yang lainnya. Toppingnya bisa bermacam-macam. Krawu, urap, sambal terong, sambal goreng (di Madiun namanya keringan). Yang perlu digaris bawahi, tidak ber-topping sayur. Semua topping dibuat kering agar mudah dimakan dengan tangan telanjang. 

Maka jangan heran kalau di Nganjuk harga nasi jagung cenderung lebih mahal daripada di kabupaten lain. Pasalnya topping nasi jagungnya bisa jadi lebih dari dua (di luar peyeknya). Sementara itu, cita rasanya berkesan pedas-manis. Tentu sebagai warga ber-ktp Nganjuk, saya tetap akan mengatakan nasi jagung Nganjuk yang terlezat.

Namun, saat saya pelesiran ke Sedudo, sebuah wisata air terjun di Nganjuk selatan, saya menemukan nasi jagung dengan cita rasa yang paling pas di lidah saya. Dan saat itu juga saya putuskan, nasi jagung Sedudo adalah nasi jagung paling enak buat saya.

Nasi jagung Sedudo ber-topping istimewa, papaya dry soup with black bean sauce atau sayur pepaya kecap. Cita rasanya yang pedas berpadu dengan hawa dingin Sedudo menambah syahdu makanan berbahan dasar jagung ini. 

Bayangkan, (bayangin dulu, sebelum lanjut baca) suasana dingin Sedudo ditambah dengan suara air terjun, dan suara serangga khas pegunungan menambah 75 persen daya lezat nasi jagung ini. Saya menyatakan inilah nasi jagung terlezat yang pernah masuk tenggorokan saya.

Tidak heran, ada teman saya yang bercerita bahwa istrinya ngidam nasi jagung dan harus khas Sedudo. Ya jelas tutup lah, lha wong malam hari. 

Tapi, menjelang akhir saya menulis ini, terbesit dalam benak saya sebuah pertanyaan, “Lho, bukannya naik ke Sedudo itu butuh tenaga ekstra bisa jadi sampai sana, perut dalam keadaan lapar, bukankah begitu?”

Iya juga, sih. Sebenarnya saat itu saya doyan atau lapar sih? Ah. Yang jelas nasi jagung Sedudo recomended banget.

Sumber Gambar:

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version