Pada saat kondisi krisis multidimensi akibat corona seperti saat ini, banyak sekali masyarakat kita yang saling bahu-membahu memberikan bantuan satu sama lain. Kultur masyarakat kita yang penuh solidaritas membuat begitu banyak orang-orang dermawan muncul untuk ikut berkontribusi dalam berbagai hal. Ada yang berdonasi alat kesehatan, uang, hingga bahan makanan.
Namun, baru-baru ini, sekitar beberapa jam yang lalu. Muncul sosok dermawan yang berdonasi dengan metode sedikit absurd. Entah apa yang memotivasinya, dermawan tersebut memberi bantuan makanan yang agak nyleneh. Dengan ciri khas cap berwarna biru ala-ala kelurahan, makanan tersebut dilabeli dengan logo seekor anjing dan dinamai dengan nasi anjing.
Sontak orang-orang kelas bawah yang menerimanya heran dengan hal itu. Mungkin bila boleh menerka, pikiran mereka pasti ngendumel seperti ini, “Lah maksude opo iki, mosok aku dikei pakanan asu!?”
Meskipun ketika dicek, komposisi makananya berasal dari material yang halal. Dan ketika dimintai klarifikasi, sang dermawan mengatakan alasan pemilihan anjing sebagai logo makanannya adalah karena anjing adalah simbol kesetiaan. Sang dermawan ingin menyampaikan bahwa sebagai masyarakat, kita haruslah patuh dan setia pada Tuhan, pemerintah, UUD 1945, dan Pancasila.
Hadeeeh Pak, Pak. Ngasih bantuan kok ndadak pakai filosofi yang ndakik-ndakik. Lagipula, filosofi kesetiaan yang dipake kok bagi saya kesannya seperti menghakimi. Seolah-olah seperti masyarakat yang menerima bantuan itu tidak pernah setia dan patuh aja.
Padahal kalau dilihat selama ini, masyarakat penerima bantuan ini paling patuh dan setia, loh. Sudahlah sering dicampakkan pemerintah, dianggap sumber penyakit dan kriminalitas. Namun, mereka tetap patuh dan mengikuti undang-undang yang berlaku.
Makanya, filosofi pesan kesetiaannya kok menurut saya salah sasaran. Harusnya kalau mau menyampaikan pesan kesetiaan, ya ditujukannya ke para eksekutif dan legislatif, dong. Wong mereka yang sering mengkhianati masyarakat kelas bawah!
Lagian kalaupun tetap memaksa ingin menyampaikan pesan kesetiaan, kenapa tidak pakai merpati saja? Bukankah merpati lebih terkesan etis dan indah? Selain itu, merpati juga memberikan makna kesetiaan yang relasinya setara, bukan relasi kesetiaan layaknya tuan dan budak! Heleh Pak, Pak, ngelesmu nggak jago!
Saya jadi punya pikiran liar, jangan-jangan si bapak dermawan ini sedang melakukan tes pasar. Beliau mencoba melihat bagaimana respons masyarakat tentang nasi anjing yang dibagikan. Dan ketika corona berakhir, si bapak dermawan ini ingin buka angkringan sego asuuu!
Selain persoalan filosofi kesetiaan, si bapak dermawan ini juga mengklaim bahwa nasi anjing yang diberikan porsinya lebih banyak daripada nasi kucing. Mendengar nasi kucing yang beberapa kali berjasa dalam hidup saya dibanding-bandingkan seperti itu, saya nggak terima dong. Apa-apan itu!
Nasi kucing merupakan makanan berporsi minimalis yang terhormat. Ia hadir untuk memberikan ketenangan perut bagi masyarakat kelas bawah. Meski berporsi mini, dengan harga 2000 sampai 3000 semua orang bisa menjangkaunya guna bertahan hidup.
Nasi kucing juga lebih etis ketika dijajakan. Berbeda dengan nasi anjing bapak yang harus dikasih logo anjing dulu biar terlihat paten. Nasi kucing, tanpa label, kadang hanya berbungkus koran pun orang-orang sudah tahu kalau nasi itu adalah nasi kucing.
Jadi sangatlah tidak bijak jika bapak membandingkan nasi anjing yang diciptakan oleh bapak, dengan nasi kucing yang diciptakan oleh kultur dan kondisi sosial. Alih-alih terlihat membantu, bapak hanya menyulut emosi natizen yang sudah karuan dibuat geram sama ulah pemerintah.
Di saat seperti ini banyak orang butuh bantuan tanpa embel-embel dan logo simbolis apalagi filosofis. Lantaran, makna filosofis tidak lebih berarti daripada rasa ikhlas dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan. Biarkan rasa ikhlas jadi filosofi yang membersamai, Pak, tidak perlu ndakik-ndakik pakai label anjing. Kalau semuanya harus dilabeli seperti nasi bungkus Bapak, bisa runyam. Bapak mau saya kasih cap halal dijidat? Nggak mau, kan?
Maka dari itu, pesan saya kepada Bapak. Bila memang mau berbagi dengan ikhlas, nggak usahlah ndadak dikasih cap kayak surat kelurahan saja. Apalagi pakai ditulisi nasi anjing segala.
BACA JUGA Makan di Angkringan: Niatnya Hemat, Ujung-ujungnya Sekarat dan tulisan Muhamad Iqbal Haqiqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.