Dua hal yang membuat saya tertegun kala menonton My Hero Academia: World Heroes Mission, movie ketiga anime My Hero Academia yang rilis pada 24 November di bioskop Indonesia. Yakni distraksi mbak-mbak di belakang saya yang terus berteriak, “Kyaaa Todoroki-kun!” dan juga peran Endeavor yang membuat dunia rindu sosok All Might.
Mulai dari sini, akan banyak spoiler yang akan saya tuliskan. Bagi yang nggak berkenan, boleh berhenti membaca sampai sini. Kalau kalian nggak masalah dengan spoiler dan mau berdiskusi, silakan melanjutkan.
Membahas isu diskriminatif secara terselubung
My Hero Academia: World Heroes Mission ini adalah kelanjutan arc magang yang sempat dibahas di season kelima. Deku, Todoroki, dan Bakugo memilih agensi pahlawan yang sama, agensi pahlawan nomor satu di Jepang saat ini; Endeavor.
Misi kali ini nggak main-main. Para pahlawan bahkan membagi menjadi beberapa kelompok peragensi untuk menyelamatkan seluruh dunia. Prancis, Amerika, Singapura, bahkan sampai Mesir pun disambangi oleh anak-anak UA yang sedang magang tadi. Sedang agensi Endeavor kebagian negara bernama Otheon.
Musuh mereka adalah Humarise, yakni sekelompok teroris gabungan yang mempercayai bahwa quirk merupakan sebuah penyakit. Mereka ingin menjadikan dunia ini bersih dari penyakit—maka niat mereka membangun sebuah teknologi berupa bom yang bisa membuat pengguna quirk kehilangan kendali atas kekuatannya. Artinya, sasaran Humarise adalah 80% populasi penduduk bumi.
Yang menarik tentu saja isu yang hendak diangkat. Di awal My Hero Academia mengudara, isu diskriminatif terembus kencang manakala Deku sang tokoh utama kedapatan nggak punya quirk. Itu tandanya, ia akan menjadi bulan-bulanan di lingkup terdekat setelah keluarga, yakni lingkungan.
My Hero Academia: World Heroes Mission seakan mencoba membelokan premis tersebut. Seperti kebanyakan villain di anime ini, yakni selalu punya motif, pun tindak kejahatan Humarise sejatinya sama. Organisasi yang diketuai oleh Flect Turn pun menyajikan abu-abu sebagai villain.
Mereka, Humarise, menganggap bahwa menyingkirkan pengguna quirk di muka bumi, bisa menghilangkan diskriminatif. Padahal, tersaji konsep hidup berdampingan dan tentu saja Deku datang sebagai pahlawan utama.
Hadirnya tokoh Roddy Soul juga terkesan nggak kering dan dipaksakan. Bahkan, quirk-nya yang ia sebut sendiri sebagai aneh, punya manfaat untuk bagian ending cerita. My Hero Academia: World Heroes Mission seakan sedang membangun narasi bahwa semua quirk ada gunanya dan yang mempunyai quirk itu bukan sampah masyarakat.
Roddy juga menjadi penegas sosok pewaris One for All ini memang tokoh yang sakti mandraguna. Deku, si pewaris, memberikan sebuah gambaran bahwa pahlawan itu bukan hanya dari tampilan, namun juga dari perbuatan yang terpatri dari dalam hati.
Soundtrack film ini pun bisa dibilang menambah daya tarik film ini. Lagu baru dari Asian Kungfu Generation, “Empathy”, mewarnai film ini. Kenapa saya bilang daya tarik? Coba dengarkan dulu lagunya, dan bayangkan perjalanan hidup Deku. Nanti kalian paham sendiri maksud saya.
Film yang begitu manis? Ah, gelap. My Hero Academia: World Heroes Mission adalah gerbang menuju kegelapan. Mengapa? Mari kita bahas.
Meragukan sosok Endeavor dan kegelapan yang menanti di depan
Bayangkan saja, anak SMA diberi tugas untuk menghadapi Humarise, organisasi yang hendak menghancurkan 80 persen populasi bumi. Belum lagi, mereka berstatus sebagai anak magang walau sudah memiliki lisensi untuk bertugas.
Sejatinya anime My Hero Academia ini berpangku kepada satu premis, yakni melihat dunia beradaptasi pasca-All Might. Endeavor yang selalu kalah ketika All Might masih aktif, nyatanya ia nggak bisa memegang peranan besar berupa pahlawan nomor satu di Jepang. Bahkan, secara eksplisit dalam My Hero Academia: World Heroes Mission, pada bagian final Endeavor nggak melakukan kegiatan yang berarti dalam menyelamatkan bumi.
Endeavor bahkan nggak bisa melindungi anak didiknya. Terlihat dari dia yang tak berdaya dalam beberapa kesempatan. Seperti saat Kepolisian yang terlibat dalam Humarise, memanipulasi pemberitaan bahwa Deku membunuh masyarakat sipil lantaran ia membawa koper berisi data-data penting Humarise.
Beda dengan Todoroki. Selaku anaknya Endeavor, ia lebih sat set dengan membongkar pesan rahasia dari Deku agar data dalam pesan itu nggak disadap oleh Humarise yang sudah kongkalikong dengan pihak kepolisian. Uhuk, #PercumaLaporPolisi. Ada apa dengan Endeavor?
Boleh lah kita bilang bahwa Deku ini amat kuat, Bakugo, dan Todoroki pun sama. Namun, jika mau reflektif sedikit, kok ya ngeri, ya? Dunia yang sedang dalam bahaya dan di ambang kehancuran, malah ada di pundak anak-anak SMA. Beban yang diberikan begitu besar kepada mereka.
Saya nggak bisa membayangkan apa jadinya Deku ke depan sebagai pewaris One for All. Bergabungnya aliansi pahlawan di sepenjuru dunia, sepertinya akan membuat season-season berikutnya bakalan lebih gelap lagi. Walau pun di manganya… Ah, sepertinya saya kebanyakan ngasih spoiler.
Well, apa pun itu, My Hero Academia: World Heroes Mission layak untuk ditonton. Apalagi bagi kalian yang rindu dengan era All Might. Kalau All Might ada di Indonesia, bisa saja foto-fotonya terpampang di belakang truk, senyumannya yang khas dan tentu saja dengan tulisan yang bertuliskan begini, “Isih penak jamanku to?”
Sumber Gambar: Twitter @MHAOfficial