Pita hitam Timnas U-20 bisa jadi memang berguna. Siapa tahu semua karut-marut ini selesai ketika pita hitam melingkar. Siapa yang tau kan?
Banyak yang bilang mencintai itu sakit, lebih-lebih jatuh cinta dengan sepak bola. Selain kekalahan yang kadang bertubi-tubi menghujani, rasa kecewa dan patah hati tak pernah terelakkan lagi. Apalagi saat kita berbicara soal persepakbolaan dalam negeri dan rasa cinta pada timnas. Dengan kata lain, menggemari sepak bola adalah perbuatan menyakiti diri sendiri yang sangat bikin candu.
Setelah tragedi Kanjuruhan yang sangat memukul itu (belum) dianggap usai oleh banyak pihak, kita juga harus menghadapi kekecewaan dan kesedihan selanjutnya terkait gagalnya para punggawa muda tampil di ajang piala dunia. Ajang yang tak hanya besar, namun juga sangat prestisius. Kita seharusnya menjadi tuan rumah, namun rupanya gagal dan keriuhan pun makin tak bisa dibendung. Tentu banyak yang kecewa, termasuk para anggota beserta official timnas kita.
Untuk itulah PSSI memberikan pita hitam dan menjadikannya sebuah gerakan. Tentu ini penting dan berguna, mengingat punggawa timnas muda dan warga Indonesia sedang butuh penghiburan.
Adu tragedi nggak ada faedahnya
Memang banyak dukungan muncul, meski tak sedikit pula komentar nirempati yang berseliweran. Saya tahu, kita masih marah pada kasus Kanjuruhan, pun banyak dari kita yang tak mau menganggapnya sudah usai. Namun, menganggap kesedihan dan kekecewaan punggawa timnas tak sebanding dengan kesedihan dan kekecewaan pada tragedi Kanjuruhan, itu kurang tepat.
Tugas mereka hanya untuk berlatih dan bersiap bertanding. Soal hal lain mereka tak seharusnya dikaitkan. Persiapan yang lama, pengorbanan yang tak sedikit, tentu wajar jika mereka kecewa. Sehingga tak tepat jika kita menginvalidasi perasaan mereka, apalagi membuli mereka. Yang harusnya kita lakukan adalah menuntut dalang yang bertanggung jawab pada tragedi Kanjuruhan dan batalnya kita menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Karena itu mereka butuh pita hitam yang diikatkan pada lengan kiri mereka. Dengan adanya pita ini, PSSI sedang mengajarkan ketenangan jiwa. Hitam bagi beberapa budaya memang punya makna kedalaman diri dan ketenangan, mungkin makna tersirat itu yang ingin ditampilkan oleh PSSI.
Hal ini mungkin berkaitan juga dengan usaha meredam amarah banyak orang. Mungkin, pita hitam itu secara tak kasat mata punya kemampuan yang tersembunyi. Semacam kemampuan menyebarkan virus damai yang dimiliki oleh Bob Marley. Karena itu PSSI berharap gerakan ini dilakukan oleh banyak orang di negara ini.
Tak ada alasan untuk kita menganggap gerakan pita hitam sebagai kegiatan aneh, tak guna, apalagi norak. Saya yakin federasi itu mempunyai niat yang baik dan mulia. Mereka adalah federasi yang sudah sejak dahulu menjalankan poros persepakbolaan kita, dan tak semestinya kita menganggap mereka tak ada gunanya.
Meski saya juga tahu, bahwa menjalankan tak selalu beririsan dengan keberhasilan.
Di dunia ini menjalankan sesuatu selama bertahun-tahun tak serta merta hasilnya akan baik. Tapi itu, kan, dunia. Ini PSSI, Bung! Mereka itu hebat dan seolah punya dunianya sendiri.
Mari kita kenakan pita hitam
Karena itu, mari kita coba mengenakan pita hitam seperti para anggota timnas, alih-alih hanya mengejek tanpa mencoba sama sekali. Siapa tahu, setelah itu kita jadi ceria dan lebih tenang. Jika pun tidak ada efeknya, kita juga harus tetap yakin pada PSSI.
Apalagi ini Indonesia, di mana angin saja bisa mengakibatkan banyak nyawa melayang. Karena Indonesia itu banyak hal-hal ajaibnya, maka kita juga harus yakin pada gerakan pita hitam ini. Siapa tahu pita ajaib ini bisa menyelesaikan kasus Kanjuruhan dan batalnya kita menjadi tuan rumah dengan seadil-adilnya. Siapa tahu, kan?
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Piala Dunia U-20 Batal: Ketika Politisi Sok Jadi Pahlawan, (Impian) Rakyatlah yang Jadi Korbannya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.