Akhir-akhir ini saya merasa malas untuk berinfak, apalagi kalau itu harus dilakukan di masjid-masjid yang besar dan megah. Saya tak yakin infak itu benar-benar sampai kepada yang berhak.
Saya merasa bahwa ada sesuatu yang keliru soal cara pandang mayoritas takmir masjid yang mengelola infak terhadap uang infak yang diamanahkan kepada mereka. Taruhlah satu masjid kampung dengan ukuran sedang saja bisa mengumpulkan jutaan rupiah setiap Jumat. Pikirkan berapa banyak yang bisa dilakukan dengan uang-uang itu jika dalam setiap bulan ada 4-5 Jumat dan dalam setahun paling tidak ada 52 Jumat.
Hitungan paling kasarnya, ada potensi pemasukan minimal sebanyak Rp52 juta. Ini hitungan untuk sebuah masjid di kampung. Masjid di perkotaan sudah tentu lebih banyak lagi.
Lalu, yang banyak dipikirkan para pengelola masjid dengan uang sebanyak itu adalah mempermegah masjid. Mulailah uang itu dihabiskan untuk macam-macam pembangunan: memperbarui mimbar dan kotak amal dengan ukir-ukiran mahal, menambah ornamen-ornamen kaligrafi dan dekorasi yang ndakik-ndakik, melengkapi masjid dengan pernak-pernik lampu dan running text.
Beberapa masjid malah melangkah lebih jauh dengan membangun menara tinggi dan besar yang fungsinya hanya untuk menyangkutkan corong pengeras suara. Atau fungsi sebenarnya untuk adu gagah dengan masjid-masjid di sekitarnya?
Pada akhirnya, uang infak jamaah banyak tersedot untuk biaya perawatan masjid karena bangunan masjid yang mewah butuh biaya perawatan lebih banyak. Sedikit sisa yang tinggal sedikit lalu digunakan untuk acara-acara tablig akbar yang sebenarnya formalitas semata. Sedikit dari sedikit sisa yang tinggal sedikit digunakan untuk mengelola kajian-kajian fikih rutin atau pendidikan baca tulis Al-Qur’an, dan tak banyak masjid masih mampu menyelenggarakannya.
Garis besarnya: tak banyak manfaat yang diterima masyarakat dari sedemikian banyak uang infak yang disumbangkan. Di mana masjid ketika ada orang-orang miskin terlilit utang? Di mana masjid ketika ada orang-orang menggelandang di atas gerobak dan di emperan toko? Di mana masjid ketika ada anak-anak putus sekolah? Di mana masjid ketika ada keluarga yang kelaparan dengan anak-anak kecilnya yang kekurangan asupan gizi? Di mana masjid ketika ada orang-orang sakit keras namun tak mampu menebus obat?
Gugatan-gugatan itu terus timbul dalam pikiran saya ketika hendak memasukkan uang ke kotak infak. Malahan, baru-baru ini, turut berputar dalam pikiran saya bahwa jika kotak amal masjid sampai kemalingan, peluang uang infak untuk sampai kepada pemilik haknya malah semakin besar. Paling tidak, uang-uang itu sampai pada mereka yang sangat kepepet sampai harus mencuri, dan semua itu karena masjid tidak pernah memberi kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan haknya dengan cara yang lebih terhormat.
Namun, saya tak ingin berhenti sampai sini. Saya ingin ada jalan keluar. Dan dalam rangka itu, saya punya sejumlah usulan ke mana sebaiknya uang infak masjid dikelola.
Masjid menyediakan pinjaman gadai tanpa bunga
Riba itu buruk, tapi ke mana orang harus meminjam jika butuh uang darurat? Tak semua orang bisa meminjam ke bank yang butuh jaminan itu. Meminjam ke kenalan juga tak mesti dapat.
Pasti banyak orang sangat bersyukur apabila ada pinjaman yang bisa dicicil dan tanpa bunga. Uang infak yang dikelola masjid bisa jadi modal mengelola model pemberi pinjaman semacam ini. Pihak masjid bisa melakukan ini dengan memberikan persyaratan yang ketat mengenai urgensi dan alasan peminjaman, jenis harta yang bisa digadaikan, dan cicilan beserta waktu jatuh tempo.
Masjid membeli hasil panen petani
Pada hari ini, masalah paling umum yang dihadapi oleh para petani adalah jatuhnya harga pada saat musim panen. Jika masjid bisa menjanjikan harga beli yang lebih tinggi daripada pihak tengkulak, saya pikir para petani akan beralih menjual hasil panennya ke masjid karena jelas akan lebih menguntungkan buat mereka.
Masjid menyediakan akses internet gratis untuk masyarakat
Hal ini sudah dipraktekkan di beberapa masjid. Saya rasa, dengan adanya akses internet masjid akan semakin ramai dan masyarakat, terutama anak-anak, akan semakin terikat pada masjid. Lalu, ini juga bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar masjid. Jika area pelataran masjid cukup luas, pengurus masjid bisa mengatur agar penjual makanan atau minuman bisa berjualan di sana dengan tetap menjaga kebersihan dan keindahan. Terakhir, untuk menjaga ketertiban, akses internet dapat dinonaktifkan pada waktu-waktu salat jamaah.
Memanfaatkan masjid untuk keperluan sekuler
Poin ini mungkin terdengar agak menyeramkan namun menurut saya inilah yang terpenting. Sebab saya lihat, orang-orang yang paling getol menolak sekularisme adalah yang justru paling bertanggung jawab atas meningkatnya sikap sekuler masyarakat.
Orang-orang semacam ini memandang masjid hanya pantas jadi tempat salat dan mengaji. Merekalah yang membuka masjid hanya ketika salat jamaah lalu menguncinya ketika anak-anak datang sekadar untuk bermain-main. Merekalah yang mengusir para gelandangan, musafir, dan pemabuk ketika mereka hendak tidur di masjid dengan alasan keamanan atau kepantasan.
Mereka lupa bahwa pada zaman Rasul dan beberapa generasi setelahnya, Masjid Nabawi adalah rumah bagi para gelandangan dan pemuda bujangan.
Ini membuat orang-orang secara tidak sadar menjadi jauh dari masjid. Anak-anak tidak mau pergi ke masjid karena tak ingin dimarahi. Mereka lalu bermain di tempat-tempat yang jauh dari pengawasan orang tuanya. Para pemuda dan pemudi berhenti pergi ke masjid karena takut dicap alim dan tidak gaul. Para gelandangan dan musafir, yang sebenarnya merupakan sebagian dari golongan-golongan pemilik hak terbesar atas uang infak jamaah, justru dianggap tak pantas berada di masjid.
Oleh karena itu, menurut saya, masjid harus selalu jadi tempat yang terbuka. Pengelola masjid bisa membiarkan anak-anak bermain di masjid tanpa perlu menegur secara kasar. Akan lebih baik jika masjid turut menyediakan mentor pendamping belajar, di luar pelajaran-pelajaran agama. Jika area pelataran cukup luas, pengelola masjid bisa menyediakan sekadar ruang bagi para pemuda untuk berolahraga. Pengelola masjid juga bisa menyediakan sabun, sampo, dan pasta gigi agar para gelandangan dan musafir berkesempatan untuk membersihkan diri secara lebih manusiawi.
Jika uang infak yang dikumpulkan masjid masih saja terus dipakai untuk keperluan menyombongkan diri, bukannya melayani kebutuhan umat, mungkin memang sudah saatnya kita berhenti berinfak di masjid.
Photo by Bayu Prayuda on Unsplash
BACA JUGA Dia Sakit dan Kamu Sibuk Membangun Masjid
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.