Mudahnya Melupakan Karya Medioker dan Perkara One Piece vs Naruto yang Belum Usai

Mudahnya Melupakan Karya Medioker dan Perkara One Piece vs Naruto yang Belum Usai No Debat! One Piece Lebih Baik daripada Naruto

Saya bukan ahli titanologi. Juga sudah pensiun memuja Yuuki Asuna atau menyimpan gambar waifu dari barisan haremnya Kirito. Sampai saat ini saya tidak terdaftar sebagai anggota guild mana pun, penyebabnya bapak saya bukan seekor naga Igneel. Pernafasan saya sering bermasalah bila berurusan dengan olahraga, apalagi untuk menguasai teknik tertentu demi bergabung dengan korps Demon Slayer. Intinya, saya bukan bagian dari judul-judul populer yang merasa layak untuk melompat ke tengah-tengah Naruto dan One Piece sambil menepuk dada.

Saya adalah penggemar Mushoku Tensei dan Gleipnir. Jika kalian tidak tahu menahu kedua judul tersebut, sama… saya juga, sampai dua hari yang lalu.

Sementara masalah terbesar dunia anime dan manga adalah menentukan siapa yang terbaik di antara Naruto atau One Piece sekaligus menentukan siapa sampah di antara keduanya. Sementara saya terus kecele dengan masalah sepele: Siapa protagonis utama serial Oregairu, anime favorit saya pada masa SMA dulu. Untuk sekarang, saya memang bisa menyebut nama Hikigaya Hachiman, itu pun karena saya mencarinya terlebih dahulu melalui Google.

Kalian para fans Naruto boleh berbangga diri: Naruto lulus sensor KPI. Di mata lembaga yang paling merasa bertanggung jawab atas perkembangan moral anak bangsa tersebut, Naruto memuat konten bajik. Dengan meloloskannya, mereka berharap bisa menjadi penyebar kebajikan, satu derajat di bawah nabi. Ternyata, oh ternyata, keputusan saya mangkir tarawih demi Naruto dulu tidak keliru, Kisanak.

Saya tidak akan panjang lebar menyoroti petilasan Naruto di Indonesia. Karena hal yang berkaitan KPI sesungguhnya tidak pernah penting. Hal yang kita utamakan di sini adalah “bobot” dalam kisah Naruto.

Jinchuriki ekor sembilan itu selalu benar. Benar itu tanda kebaikan. Buktinya Konoha bisa terselamatkan berkat Nagato yang mendadak alim setelah bertemu Naruto. Ia juga mampu membuat Obito KSBB (Kelingan sing Bosok-Bosok) hingga dia rela mengorbankan nyawanya sendiri demi maslahat orang banyak. Saya tidak tahu apa Nagato dan Obito akan mendengarkan Naruto jika dia hanya ninja sepele dari Sunagakure. Saya juga tidak tahu apakah Raikage akan legawa melepas Kyuubi yang menjadi alasan perang dunia shinobi ke medan perang andai kepala desa petir itu tidak kalah cepat dari sang Genin.

Konon, kekuasaan beriringan dengan kekuatan. Tapi aturan tersebut tidak berlaku di dunia ninja. Yang dilakukan Naruto hanya sebatas “negosiasi”, tidak ada kaitan dengan kekuatan apalagi kekuasaan. Dia seorang pengkhotbah dan karena itu dia mendapatkan kekuatan yang besar. Bukan karena dia kuat dulu, baru menjadi seorang pengkhotbah. Naruto tidak semunafik itu.

Sementara, One Piece memberi kita kenyataan yang lebih terang benderang tentang perkara kekuasaan: milenial adalah gagasan dan tidak pernah lebih dari itu. Kita menemukan cerminan milenial pada “Generasi terburuk”, generasi yang digadang-gadang dapat mengguncang dunia. Toh, para generasi terburuk tetap sebatas menari di atas telapak tangan Yonkou. Dan, para Yonkou menari di atas telapak tangan Gorosei.

Ruwetnya jalur kuasa dan kekuatan One Piece menyadarkan betapa remehnya kru Mugiwara, para pahlawan kita. Dua tahun berlatih nyatanya tidak cukup bagi mereka untuk mendapatkan apa-apa. Saya kira demi perkembangan karakternya, Luffy harus kehilangan sesuatu, misalnya salah satu kru. Itu pun tidak serta merta membuatnya mampu membanting Kaido secara instan. Andai pengarangnya benar-benar berani membuat marah seluruh dunia.

Saya curiga Eiichiro Oda banyak terpengaruh Karl Marx. Sejarah akan selalu berulang. Ujungnya dua: tragedi dan atau komedi. Luffy dengan Going Merry menjungkalkan Crocodile. Luffy dengan Thousand Sunny “menyelamatkan” Dressrosa dengan mendongkel Doflamingo. Dua tahun lalu dia “dilindungi” oleh Aokiji. Saat ini ia ada di bawah pengawasan Fujitora. Nama-nama di sekelilingnya selalu berubah, tapi inti peristiwanya tetap serupa.

Sampai di sini, kita menyadari betapa berbobotnya Naruto dan One Piece.

Saya menyesal bahwa saya bukan fans Naruto atau One Piece, atau dua-duanya, karena niscaya saya akan menjadi manusia unggulan bila sanggup menghafal nama-nama anggota Akatsuki atau para mantan kapten bajak laut Shirohige. Kok ya saya tahan-tahan saja berkubang dengan anime dan manga medioker melulu, jenis karya yang membuat seseorang bakal dicap wibu sepanjang hayat.

Tidak ada yang bisa saya banggakan dari Mushoku Tensei dan Gleipnir. Tidak ada pesan kehidupan berbobot ala-ala Naruto untuk dibagikan via media sosial. Tidak ada orisinalitas yang digembar-gemborkan pemuja One Piece di seluruh dunia. Mushoku Tensei punya pesan moral sebatas ini: NEET itu sampah jadi sebaiknya para NEET melempar dirinya sendiri ke tong sampah. Sementara itu, Gleipnir merupakan iterasi konsep yang lebih “ramah” dan ringan dari Parasyte: The Maxim.

Naruto sudah dibuatkan patung di Prefektur Hyogo. Dan, Luffy sudah mendapatkannya duluan di Kumamoto, plus bumbu cerita patriotisme. Saya tidak tahu apakah Claire Aoki (Gleipnir) atau Rudeus Greyrat (Mushoku Tensei) akan dibuatkan patung atau tidak. Saya juga tidak peduli apakah seseorang ingin mengirim figurin atau cosplayer mereka ke luar angkasa atau ke laut dalam. Toh, paling-paling, musim semi nanti, saya akan melupakan mereka semua.

Mereka yang tidak bisa diingat tentu tidak layak dibuatkan patung. Tokoh-tokoh favorit saya jelas tidak punya kantong ajaib. Apalagi punya tinju serius yang sanggup mementalkan para penjahat ke bulan. Tokoh-tokoh saya adalah bagian dari cerita medioker dan saya kira dunia ini tidak cukup orang gila untuk membicarakan hal medioker.

Karena itu, setidaknya sampai One Piece tamat nanti, perdebatan siapa yang terbaik dan terbusuk di antara Naruto dan One Piece masih sangat sangat sangat panjang.

BACA JUGA Naruto Lebih Lama Disiarkan di TV daripada One Piece Bukan karena Ceritanya Lebih Bagus dan tulisan Nurfathi Robi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version