Isu pemanasan global itu ibarat isu HAM di Indonesia. Hanya bicara ide dan impian tapi minim eksekusi. Sejak abad ke-19 ilmuwan sudah menyuarakan perkara emisi gas rumah kaca ini. Karya tulis Svante Arrhenius di 1896 sudah memberi prediksi bagaimana level karbon dioksida di udara mengubah suhu permukaan bumi. Tapi, hampir dua abad kemudian tidak ada solusi konkret.
Bicara solusi, salah satu yang ditawarkan adalah mobil listrik. Seperti namanya, mobil bertenaga listrik ini digadang mampu menekan polusi udara. Oleh karena menggunakan energi listrik yang minim emisi, banyak yang menjadikan mobil listrik sebagai jawaban dari pemanasan global. Mobil listrik dipuja layaknya mesias.
Kalau bicara mobil listrik, pasti ingat Tesla. Seperti mi instan ingat Indomie, atau korupsi bansos ingat Chicago Bulls. Tesla bukanlah pioneer mobil listrik, tapi mengembangkan konsep ini melampaui industri otomotif lain. Yah maklum, Elon Musk si mantan bos memang piawai urusan selebritas.
Mobil hybrid pun digadang bisa jadi solusi saat ini. Perpaduan BBM dan listrik dipandang paling realistis saat depot isi ulang mobil listrik belum merata. Banyak mobil besutan Jepang yang mempromosikan mobil hybrid sebagai mobil ramah lingkungan. Pokoknya, pakai mobil listrik dan hybrid adalah bukti Anda masyarakat intelek dan melek isu lingkungan.
Tapi, apakah mobil listrik semulia itu? Apakah mobil listrik dan hybrid bisa menekan pencemaran udara? Apakah teknologi transportasi modern ini bisa menjawab krisis pemanasan global? Jangan-jangan, mobil listrik adalah wangsit dari surga yang mulai peduli dengan hidup manusia?
Sayang sekali, mobil listrik bukanlah jawaban. Ibarat status nongkrong Anda, mobil listrik hanyalah kedok dari keruwetan dan kekacauan krisis. Mobil listrik tidak akan menjawab masalah pemanasan global. Menjawab pun hanya sedikit. Dan rasa melek isu lingkungan setelah naik mobil listrik tidak berbeda dengan bualan Anda di atas meja kedai kopi.
Bicara listrik, berarti kita bicara bagaimana energi listrik “diproduksi”. Tentu saya beri tanda petik karena energi memang tidak bisa diciptakan. Sama seperti kesejahteraan sosial Jogja yang tidak bisa diciptakan dengan monarki. Tapi intinya, kita harus ingat perkara energi apa yang sampai hari ini masih diubah menjadi energi listrik.
Dan benar, energi fosil. Menurut eia.gov, sekitar 60 persen energi listrik menggunakan bahan bakar fosil. Baik batu bara, gas alam, ataupun BBM. Sedangkan 20 persen menggunakan energi nuklir. Sisanya yang cuma 20 persen ini menggunakan energi terbarukan. Termasuk panel surya, panas bumi, dan angin.
Jumlah 60 persen ini bukan angka yang kecil. Lebih dari separuh energi listrik lahir dari energi fosil. Dan energi fosil adalah salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang jadi masalah ini. Kalau bicara emisi yang diciptakan manusia, menurut c2es.org 72 persen dihasilkan dari pembangkit energi. Dan dari 72 persen itu, 31,05 persen dipegang perkara pembangkit listrik dan panas. Sedangkan transportasi hanya menghasilkan 15 persen emisi.
Apa artinya? Berarti sumber masalah utama ada di energi fosil sebagai pembangkit tenaga listrik. Dengan mengubah kendaraan dari BBM menjadi listrik, tidak beda dengan mengoper 15 persen tadi ke 31,05 persen. Alias hanya mengoper polusi kendaraan menjadi polusi akibat pembangkit tenaga listrik.
Gini lho, mobil listrik kan memanfaatkan listrik. Nah energi listrik ini dibangkitan dengan energi fosil. Jadi tidak ada yang berubah. Energi fosil tetap menjadi primadona, dan emisi gas rumah kaca tetap tidak berubah. Malah bisa jadi makin meningkat.
Bicara mobil hybrid, tidak lebih dari memindah pembangkit listrik ke dalam kap mobil. Dan energi listrik ini lagi-lagi dibangkitkan dengan energi fosil. Lha sama saja kan? Seandainya menekan kebutuhan energi fosil, tidak ada pengaruh signifikan ketika transportasi hanya memberi dampak 15 persen tadi.
Belum lagi kalau bicara produksi mobil ini. Dari sasis sampai bodi membutuhkan energi, yang lagi-lagi erat dengan fosil. Sungguh tidak ada yang berbeda ketika mobil listrik merajai jalanan. Andai kata polusi di area kota makin rendah, itu karena polusi udara tadi dioper ke pembangkit listrik.
Kita terjebak dalam konsep “alternatif”. Mencari jawaban sampingan yang diharapkan menjawab masalah utama. Tapi, kita tidak pernah bicara tentang “mengurangi”. Salah satunya mengurangi penggunaan energi fosil dengan mengutamakan energi alternatif.
Kenapa sulit? Yah bagaimana lagi, yang kita bicarakan adalah industri multinasional. Selama masih ada pasar, energi fosil tetap dibakar menjadi emisi gas rumah kaca. Selama masih ada bahan bakar fosil untuk ditambang, ya industri ini akan mencari celah memasarkan produk bahan bakar penuh bahaya ini.
Jadi untuk Anda yang mulai sedikit-sedikit memuliakan energi listrik, Anda bukan orang bodoh dan bebal. Anda memang intelek, tapi mungkin kurang peka. Kendaraan listrik memang canggih, namun sayangnya ya hanya canggih. Masalah emisi tetap tak selesai, dan tetap jadi masalah yang akan berlipat ganda.