Miskin Dihina, Kaya Dituduh Pesugihan: Dilema Hidup di Desa

Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk

Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk (Pixabay.com)

Hidup di desa itu katanya enak. Udara segar, orang-orang ramah, suasana tenang, jika butuh cabai kadang bisa langsung ambil dari kebun tetangga. Kalau lihat dari cerita-cerita orang kota, hidup di desa itu seperti hidup di surga kecil yang masih alami setiap orang saling sapa, semua saling bantu, dan kalau ada yang sakit, warga langsung datang menjenguk dan mendoakan kesembuhan.

Tapi yah, itu cuma di brosur pariwisata atau di unggahan influencer yang baru dua hari nginep di desa buat “detoks sosial media”. Kenyataannya, hidup di desa, apalagi kalau kamu miskin, itu bisa jadi cobaan hidup level hard mode.

Di desa, kemiskinan bukan cuma soal tidak punya uang. Tapi juga soal status sosial, soal cibiran, soal tatapan kasihan yang campur dengan rasa jijik, dan kadang soal fitnah yang entah dari mana datangnya.

Miskin dibilang malas

Mari mulai dari fase pertama fase miskin. kalau kamu lahir di keluarga pas-pasan di desa, kamu pasti paham bagaimana rasanya jadi “objek kasihan” sekaligus “bahan omongan”. Orang-orang mungkin tidak akan langsung bilang kamu miskin di depan muka, tapi nadanya jelas terasa.

“Kasihan ya, anaknya Bu Siti belum juga kerja-kerja.”, “Rumahnya belum direnovasi dari dulu ya, padahal saudaranya banyak yang kaya loh.”

Kata “kasihan” di desa sering kali artinya bukan simpati, tapi pembuka gosip. Orang-orang akan menasihati kamu supaya rajin kerja, supaya jangan malas, supaya jangan cuma berharap rezeki jatuh dari langit.

Padahal, yang mereka nggak lihat, kamu sudah banting tulang dari pagi sampai sore, udah mencari pekerjaan yang kayak kemana mana bahkan sampai kerja serabutan untuk bertahan hidul, tapi memang upahnya tidak seberapa.

Di desa, kerja keras belum tentu berbanding lurus dengan penghasilan. Tapi siapa yang peduli? Buat mereka, kalau kamu masih hidup susah, pasti ada yang salah dalam dirimu. Lucunya, kalau kamu kemudian nekat merantau ke kota untuk memperbaiki nasib, mereka juga akan komentar:

“Walah, anak muda zaman sekarang, sukanya ninggalin kampung. Nggak betah hidup sederhana.”

Kalau tinggal, salah. Kalau pergi, salah juga. Hidup di desa memang kadang seperti bermain di arena yang tidak punya jalan untuk menang.

Naik kelas, langsung dituduh pesugihan

Nah, sekarang kita masuk ke fase kedua fase sukses. Entah kenapa, di banyak desa, sukses itu tidak selalu disambut dengan bahagia. Apalagi kalau kesuksesanmu datangnya cepat atau tidak bisa dijelaskan dengan “logika desa”.

Teman saya, sebut saja namanya Idham, mengalami hal ini. Ia lulusan DKV sebuah kampus swasta di Semarang dan kebetulan sering dapat order desain dari dalam dan luar negeri. Bayarannya tentu bukan recehan, pendapatanya bisa mencapai puluhan juta per bulannya. Idham, anak kampung yang dulunya seorang tukang sablon kaos, sekarang bisa beli motor, mobil baru, bantu orang tua, bahkan punya tabungan yang tidak sedikit.

Tapi ternyata, kesuksesan di desa itu berbahaya, Alih-alih bangga, warga sekitar malah mulai berbisik-bisik.

“Kok bisa cepat banget ya kayanya?”
“Katanya si Idham itu pelaku pesugihan, lho. Tahu sendiri kan, kerjaannya cuma di rumah terus, kayak sedang melakukan sebuah ritual.”

Bayangkan. Di tahun 2025, di era serba digital, masih ada yang berpikir kalau orang yang kerja dari rumah dianggap pelaku pesugihan.

Padahal, kalau mereka tahu Idham bisa lembur sampai subuh ngedit desain buat klien dalam dan luar negeri, mungkin mereka akan kasihan karena Idham bisa bekerja lebih 15 jam sehari kadang lupa makan sampai lupa chat pacar bukanya merasa iri.

Tapi ya itu tadi, orang nggak akan peduli seberapa keras kamu kerja. Yang penting, hasilmu mencolok, mereka akan mencari alasan agar bisa mencari pembenaran atas rasa iri diri sendiri. Dan cara paling mudah untuk itu adalah dengan tuduhan “pesugihan”. Seolah-olah sukses itu tidak boleh datang dari kerja keras. Harus ada “cerita mistisnya” biar lebih masuk akal.

Akibat tidak kuat menerima gosip yang semakin aneh dan makin merambat ke keluarganya, akhirnya Idham memilih bekerja sebagai karyawan biasa di sebuah pabrik dengan gaji UMK setempat. Apakah cerita ini masuk akal? Ya tidak memang, tapi

Ketika kesuksesan dianggap aneh

Contoh lain datang dari tetangga saya. Pasangan suami-istri yang berjualan gamis dan hijab secara online. Awalnya mereka cuma jualan lewat Facebook dan Instagram. Lama-lama usahanya naik. Mereka bisa beli mobil, rumahnya direnovasi, bahkan buka lapangan kerja untuk warga sekitar.

Tapi sayangnya, bukan pujian yang mereka terima. Begitu suaminya meninggal mendadak, gosip langsung menyebar dari salah satu tetangga yang iri.

“Katanya itu pesugihan. Suaminya jadi tumbal.”

Padahal, kalau mau jujur, yang fitnah itu seringnya orang-orang yang diam-diam iri karena kondisi ekonominya tidak berubah-ubah. Yang jualan di pasar sepi pembeli, tapi malas belajar jualan online. Yang tiap hari main gaple di pos ronda, tapi marah kalau lihat orang sukses.

Ironisnya, orang desa sering bangga menyebut diri mereka “masyarakat gotong royong”. Tapi begitu ada yang sedikit maju, gotong royongnya berubah jadi gotong fitnah.

Iri hati

Sebenarnya, masalah ini bukan cuma soal miskin dan kaya. Ini soal cara pandang.

Masyarakat desa yang katanya penuh kebersamaan kadang justru terlalu sibuk mengurusi hidup orang lain. Iri hati di desa itu seperti udara tidak kelihatan, tapi terasa di setiap bisikan dan tatapan.

Di kota, orang mungkin cuek. Kamu sukses atau gagal, orang nggak peduli. Di desa, semua orang peduli, tapi kadang kepeduliannya salah arah. Kalau kamu beli motor baru, besok pasti ada yang tanya, “Dapat dari mana uangnya?” Kalau kamu jarang nongol, dibilang sombong. Kalau kamu sering nongol, dibilang pamer.

Susah, kan?

Dan kalau sudah muncul tuduhan “pesugihan”, itu seperti noda yang sulit hilang. Sekali dicap, orang akan selalu mengingatmu sebagai “yang itu, lho katanya punya pesugihan”. Padahal yang kamu punya cuma laptop, koneksi internet, dan kerja keras. Tapi buat sebagian orang, kerja keras tidak semistis itu, jadi tidak menarik untuk diceritakan.

Sisi lain dari ramahnya desa

Citra desa yang ramah itu sebenarnya benar sampai batas tertentu. Orang-orang memang murah senyum, suka menyapa, dan suka menolong kalau kamu kena musibah. Tapi kalau kamu “terlalu menonjol”, keramahan itu bisa berubah jadi kecurigaan.

Di balik senyum yang hangat, kadang ada rasa ingin tahu yang tajam. Di balik obrolan ringan di warung kopi, ada gosip yang mengendap pelan. Dan di balik slogan “hidup guyub”, ada dinamika sosial yang membuat orang berhati-hati untuk tidak terlalu sukses.

Makanya, beberapa anak muda yang berhasil di perantauan, memilih jarang pulang. Bukan karena lupa kampung halaman, tapi karena takut dianggap sombong atau “aneh”. Kadang, pulang kampung justru bikin stres karena harus menjawab pertanyaan semacam: “Kapan nikah? “Udah punya rumah belum? Kerjanya apa sih kok kayaknya santai tapi banyak uang?”

Di desa, keberhasilan harus punya bentuk yang bisa dilihat rumah besar, mobil, sawah luas. Kalau suksesmu datang dari hal-hal yang tidak terlihat mata seperti kerja online atau jasa digital, maka akan banyak orang yang bingung, lalu mencari penjelasan sendiri. Dan biasanya, penjelasan itu tidak jauh-jauh dari hal-hal gaib.

Miskin disalahkan, kaya dicurigai, balada hidup di desa

Ironi terbesar dari hidup di desa adalah miskin disalahkan, kaya dicurigai. Tidak ada posisi yang aman di desa. Kalau kamu miskin, kamu dianggap malas. Kalau kamu kaya, kamu dianggap pakai jalan pintas. Apesnya, kalau kamu sedang-sedang saja, kamu dianggap “belum waktunya sukses”.

Dan lucunya, yang berkomentar paling keras biasanya bukan orang yang lebih baik hidupnya. Tapi justru mereka yang iri, tapi tidak mau jujur dengan diri sendiri.

Rasa iri di desa sering dibungkus dalam kalimat “hanya ingin tahu”. Tapi kalau ditelusuri, ujungnya selalu sama ketidakmampuan menerima bahwa orang lain bisa sukses tanpa merugikan siapa pun.

Hidup di desa itu indah, tapi tidak selalu mudah

Saya tidak sedang menjelekkan desa. Hidup di desa tetap punya banyak keindahan. Udara pagi yang segar, suara ayam berkokok, dan suasana tenang yang tidak bisa dibeli di kota. Tapi kalau bicara soal mentalitas sosial, kita harus jujur masih banyak PR besar.

Mungkin yang perlu diubah bukan cuma cara pandang terhadap bagaimana cara mencari uang dan menyikapi kesuksesan seseorang, tapi juga cara kita memaknai kebersamaan. Gotong royong bukan berarti semua orang harus punya nasib yang sama. Justru, gotong royong itu artinya saling mendukung meskipun nasib kita berbeda.

Kalau ada tetangga sukses, ya disyukuri. Siapa tahu bisa ikut belajar. Kalau ada yang miskin, ya dibantu, bukan dihina. Siapa tahu suatu hari dia yang bantu balik. Desa akan benar-benar indah kalau rasa iri bisa diganti dengan semangat belajar, dan gosip bisa diganti dengan doa.

Hidup di desa, dengan segala keunikannya, memang tidak mudah. Miskin dihina, kaya dituduh pesugihan. Tapi di tengah situasi seperti itu, selalu ada harapan.

Harapan bahwa suatu hari nanti, orang akan lebih peduli pada proses ketimbang hasil. Bahwa kerja keras tidak perlu dicurigai, dan kesuksesan tidak perlu dijelaskan dengan hal-hal gaib.

Sejatinya, pesugihan yang paling nyata di dunia ini bukanlah yang memanggil jin atau tumbal. Tapi pesugihan berupa kerja keras, tekad kuat, dan semangat untuk tidak menyerah meskipun hidup sering kali terasa tidak adil.

Penulis: Andre Rizal Hanafi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version