Mikrolet Biru Peterongan-Brangkal Lenyap Tergerus Perkembangan Zaman

Mikrolet Biru Peterongan-Brangkal Lenyap Tergerus Perkembangan Zaman

Mikrolet Biru Peterongan-Brangkal Lenyap Tergerus Perkembangan Zaman (Unsplash.com)

Mikrolet biru begitu populer di kawasan Mojokerto-Jombang sejak tahun 2000-an. Rute yang dilaluinya adalah Terminal Peterongan-Mojoagung-Trowulan-Pasar Brangkal PP. Mojoagung menjadi top one tujuan pemberhentian para penumpang, sebab kawasan ini memiliki satu pasar tradisional yang cukup besar dan merupakan sentra pendidikan. Maka tak heran kalau mikrolet ini menjadi transportasi andalan para pelajar dan pengunjung pasar.

Apabila naik mikrolet kisaran pukul 05.30 WIB, biasanya akan didominasi penumpang ibu-ibu dan bakul sayur keliling yang hendak berbelanja ke pasar. Selanjutnya, mikrolet akan dipenuhi para pelajar mulai pukul 06.10 WIB. Melewatkan mikrolet biru ini pada tahun 2012 bukan hal yang gawat. Sebab, selang 5 menit pasti ada mikrolet lain yang menghampiri.

Akan tetapi sejak tahun 2018, ketinggalan mikrolet bisa jadi malapetaka. Sebab, transportasi umum satu ini makin sedikit armadanya, bahkan bisa dihitung jari saja. Dan sampai sekarang, angkutan umum ini lenyap tak ditemukan.

Mikrolet biru kalah sama kendaraan pribadi

Tak dapat dimungkiri, perkembangan zaman memperkenalkan kita pada berbagai macam teknologi yang juga membunuh beberapa profesi, salah satunya sopir mikrolet. Kisaran tahun 2012-2016, para pelajar yang menempuh pendidikan di kawasan Mojoagung mayoritas berangkat sekolah menggunakan transportasi umum berupa mikrolet biru ini. Hanya segelintir yang diantarjemput oleh orang tuanya.

Akan tetapi hal ini berubah drastis sekitar tahun 2017. Saat itu sudah banyak pelajar yang membawa kendaraan pribadi, entah pelajar SMP atau pelajar SMA/SMK. Perlahan, armada mikrolet biru mulai lenyap satu per satu dari depan sekolah. Saya penah bertanya pada salah seorang sopir, ke mana perginya sopir lain yang dulu ngetem di depan sekolah. Sang sopir menjawab bahwa sebagian telah menjual mobil mereka dan beralih profesi.

Transformasi pedagang sayur keliling

Pedagang sayur keliling menjadi fenomena yang hits di era 2000-an. Jarak pasar yang lumayan jauh jika ditempuh dari Trowulan, membuat pedagang sayur keliling bertebaran. Untuk mendapatkan sayur-mayur, pedagang dari Trowulan biasanya berbelanja ke pasar tradisional Mojoagung. Mereka biasanya naik mikrolet biru untuk bisa sampai ke pasar. Setelah berbelanja atau kulakan, para pedagang ini akan berkeliling kampung menjajakan sayur-mayur.

Akan tetapi perkembangan zaman telah memangkas aktivitas tersebut. Orang semakin pintar dan teknologi semakin canggih. Kini, saya sudah jarang menemukan pedagang sayur keliling di daerah tempat tinggal saya. Yang tersisa adalah pedagang sayur yang menetap. Menetap di sini maksudnya mereka sudah memiliki tempat untuk berjualan, nggak perlu berpindah-pindah lagi.

Para pedagang sayur yang telah menetap ini membuat penurunan jumlah pedagang sayur keliling yang berbelanja naik mikrolet biru. Sebab, ketika mereka sudah memiliki tempat tetap untuk berjualan, mereka bisa kulakan dalam jumlah yang banyak. Dan kulakan dalam jumlah banyak naik mikrolet adalah pilihan yang menyusahkan.

Harga BBM melejit membuat mikrolet biru terpaksa menaikkan tarif

Pada tahun 2013, harga BBM mengalami kenaikan dari Rp4.500 per liter menjadi Rp6.500 per liter. Namun, saat itu kenaikan BBM nggak terlalu berimbas pada tarif mikrolet biru jurusan Peterongan-Brangkal. Saat itu, tarif pelajar masih sama, yakni sebesar Rp1.000.

Kenaikan tarif baru terjadi pada tahun 2014 ketika harga premium naik menjadi Rp8.500 per liter dan solar Rp7.500 per liter. Pelajar dikenakan tarif sebesar Rp1.500, sementara penumpang umum tarifnya menjadi Rp4.000. Tarif Rp1.500 untuk pelajar tak bertahan lama, sebab tarif tersebut kemudian dibulatkan menjadi Rp2.000.

Kenaikan BBM yang terjadi kemudian membuat banyak orang memilih naik kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum. Sebab, naik kendaraan pribadi dirasa lebih hemat. Dulu, kita hanya perlu membeli bensin Rp20.000 untuk PP sekolah-rumah selama satu minggu. Jika dikalkulasikan, tentu saja naik mikrolet biru membuat pengeluaran akan ongkos membengkak.

Maka tak heran apabila kemudian kursi-kursi di dalam mikrolet biru makin sepi. Para sopir pun hanya lalu lalang tanpa membawa penumpang. Bukan untung yang mereka dapatkan, justru derita akibat kerugian.

Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia, tak terkecuali Indonesia, telah mengubah kehidupan manusia. Semula, kita bisa berinteraksi secara bebas dan tanpa batas, akan tetapi kecepatan penularan virus Covid membuat beberapa regulasi yang membatasi interaksi manusia muncul. Covid-19 berhasil menghentikan seluruh aktivitas manusia di ruang publik.

Akibatnya, eksistensi mikrolet biru yang sebelumnya memang sudah menurun, pada tahun 2019 tiba-tiba lenyap tak diketahui. Bahkan hingga hari ini, sebagai warga Trowulan, saya belum pernah menemukan mikrolet biru bersliweran di jalan raya seperti dulu. Malang sekali nasib pahlawan yang telah dulu setia mengantarkan pelajar seperti saya pergi ke sekolah.

Mikrolet biru bukan sekadar kendaraan umum. Kendaran ini begitu bermakna bagi setiap pelajar di sepanjang jalur Peterongan-Brangkal yang dulunya hendak meraih mimpi dan cita-cita di sekolah. Meski tak lagi bersliweran di jalan raya, kenangan menaiki mikrolet biru akan senantiasa melekat dalam ingatan tiap penumpangnya.

Penulis: Audea Septiana
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Kebiasaan Sopir Angkot yang Bikin Kita Mengelus Dada.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version