Saya memiliki orang tua yang terbilang gaptek alias gagap teknologi. Bahkan pada saat hp Blackberry digunakan oleh banyak kalangan sampai dengan menjadi barang yang pasaran—hampir semua orang memiliki—kedua orang tua saya masih setia menggunakan Nokia tipe X2-01. Meski saya sudah beberapa kali mengusulkan untuk ganti hp keluaran terbaru, orang tua saya selalu menjawab dengan pernyataan yang sama, “Nggak apa-apa pakai yang ini aja, Mas. Yang penting masih bisa telfon dan SMS-an.”
Berkali-kali saya persuasif perihal upgrade hp, berkali-kali juga saya mendapat jawaban yang sama. Padahal, saya sudah sampai meyakinkan mereka, kalau ganti hp keluaran terbaru, bisa WhatsApp-an, video call, dan komunikasi bisa jadi lebih efisien dan murah. Apalagi beberapa teman ibu dan bapak sudah berganti hp, hampir semuanya menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi dan berbalas pesan.
Akhirnya, kedua orang tua saya mau mengganti hp-nya dengan membeli yang baru. Bukan karena ajakan saya, melainkan karena gurauan dari temannya masing-masing. Intinya sama, disampaikan oleh temannya, “Zaman sekarang masih pakai hp jadul? Ganti dong biar bisa WhatsApp-an.” Walaupun sebenarnya bukan hanya untuk WhatsApp-an, paling tidak ibu dan bapak memiliki hp baru berbasis android yang lebih paripurna untuk berkomunikasi.
Kemudian, masalah berikutnya muncul. Memang dasar tidak terbiasa bersentuhan dengan teknologi, awal mulanya ibu dan bapak kesulitan mengotak-atik hp barunya. Tentu sudah menjadi kewajiban saya sebagai anak untuk mengajarkan mereka bagaimana cara mengoperasikan hp, termasuk juga cara menggunakan WhatsApp, membuat status, menelfon, dan lain sebagainya.
Siapa sangka ibu dan bapak dengan cepat menguasai aplikasi WhatsApp. Berbalas chat sampai dengan update status pun sudah bisa. Beberapa hari setelahnya, di luar dugaan bapak berkata bahwa beliau sudah memiliki akun Facebook dan sudah menambahkan saya di kolom pertemanannya. Beliau meminta agar permintaannya segera saya terima. Akhirnya, mau tidak mau saya harus meng-iya-kan pernyataan tersebut.
Bapak menyampaikan bahwa temannya yang sudah membuatkan akun Facebook untuknya. Bahkan, bapak sudah terampil dalam membuat status, posting foto, sampai dengan berbalas komentar di status teman-temannya. Selanjutnya justru kurang mengenakan, saya merasa jadi kurang bebas bermain Facebook karena merasa selalu diawasi oleh Bapak.
Pernah suatu ketika saya update status di Facebook dengan kalimat yang tergolong kasar, lalu ada notifikasi masuk. Setelah saya cek, ternyata Bapak yang memberi berkomentar pada update status saya sebelumnya, “Mas, bahasanya dijaga. Nggak baik bilang seperti itu.” Spontan saya langsung menghapus status tersebut. Pada waktu lain, bapak bahkan langsung menghubungi saya via WhatsApp, “Mas, nggak usahlah update yang kayak gitu. Hapus aja, Mas. Nggak perlu dibahas.”
Seketika, ruang saya untuk sambat dan misuh menjadi terbatas. Itu kenapa, perlahan saya mulai meninggalkan Facebook, dan lebih aktif di Twitter—walau sering kali hanya scroll timeline, sih. Hehehe. Di lain platform, ibu pun sering kali menegur jika saya update status yang tidak-tidak di WhatsApp. Tegurannya kurang lebih sama, agar segera menghapus postingan yang baru saya update. Meski tidak serutin bapak, teguran ibu terkadang menjengkelkan.
Saya pun sempat berpikir, sepertinya jauh lebih tentram jika para orang tua tidak bermain media sosial. Selain karena sering kali mengomentari postingan para anak, utamanya sih ruang untuk sambat dan misuh menjadi berkurang. Padahal, jika para orang tua memahami, kami sebagai anak pun perlu wadah untuk berkeluh kesah dan berkomentar yang tidak perlu di media sosial—seperti kebanyakan pengguna lain. Selama tidak sampai merugikan orang lain apalagi menyebar hoaks, rasanya masih wajar.
Jika memang para orang tua tetap ingin bermain media sosial, sebaiknya mulai menyadari bahwa media sosial adalah ruang yang sulit dikontrol dan tidak bisa dipaksakan semua-muanya berjalan dengan baik-baik saja. Segala sesuatunya tergantung pada diri sendiri, siapa yang di-follow atau topik pembahasan apa yang diikuti, bisa dipercaya atau tidak. Lha gimana, akun yang kredibel saja bisa membuat kesalahan, kok. Jadi, memang harus ekstra hati-hati.
Pikir saya, mungkin ada baiknya para para orang tua tidak bermain media sosial agar sambat dan misuh tetap jaya di media sosial. Atau malah jangan-jangan para orang tua harus beramai-ramai membuat akun media sosial agar dapat mengontrol cuitan serta kelakuan anak-anaknya di dunia maya?
BACA JUGA Gaya Pengasuhan Orang Tua Punya Pengaruh Ke Kepribadian Kita atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.