Selama kuliah, perdebatan yang hampir selalu dijumpai di setiap semesterya adalah mengenai bidikmisi. Mulai dari obrolan ringan saat makan siang yang lebih condong kepada perghibahan, diskusi di grup pesan singkat, hingga di kolom komentar akun-akun media sosial tempat mahasiswa biasa berkeluh kesah. Selalu ada pro dan kontra jika membahas bidikmisi ini, ya walaupun akan lebih banyak kontra yang ditemukan di antara banyaknya kepala mahasiswa.
Perlu ditekankan bahwa bidikmisi ini adalah Program Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi yang mana berarti setiap siswa yang mendaftar adalah siswa yang memiliki kecerdasan selangit tapi perekonomian keluarganya rendah. Bagi saya, tingkat kecerdasan seseorang tentu memiliki tolok ukur, begitu pula dengan tingkat ekonominya. Tinggal bagaimana Si Pemberi Dana mengkalkulasi semua itu agar tidak melenceng dan nantinya tidak menciptakan keributan dan perpecahan antar mahasiswa di kampusnya.
Apa iya penerima bidikmisi meleset?
‘Jatah’ penerima bidikmisi di tahun 2019 kurang lebih 130.000 mahasiswa, dengan kuota yang berbeda-beda di setiap kampus. Ada begitu banyak kriteria yang perlu ditinjau, sistem yang masih terbatas dan masih dikembangkan, belum lagi kendala-kendala teknis yang mungkin akan dijumpai, akan sangat membuka kemungkinan para penerima beasiswa tidak seperti yang diharapkan.
Selama itu masih dalam persentase kecil berkisar 2-3% di setiap kampus, menurut saya itu adalah hal yang sangat mungkin akan terjadi dan saya pribadi memaklumi. Tapi, bukan berarti tidak perlu diperbaiki. Hal-hal seperti ini sudah seharusnya direvisi agar persentase itu menjadi semakin kecil. Dari persentase yang kecil tersebut, tentu tidak bisa dijadikan simpulan bahwa bidikmisi di tahun itu meleset bukan?
Bagi sebagian besar orang, apalagi golongan masyarakat dengan perekonomian yang masih rendah, masih menganggap bahwa mengenyam pendidikan tinggi adalah sesuatu yang akan menguras banyak biaya. Meskipun mereka sudah dijejali penjelasan dengan sangat mendetil tentang bidikmisi.
Tidak sedikit orang tua yang kemudian lebih memilih mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah kejuruan agar harapannya bisa langsung mahir mencari cuan. Sekalipun memasukkan anaknya ke SMA, mereka hanya akan putus di sana karena takut pada jenjang berikutnya. Bukan siswanya, tapi orang tuanyalah yang tidak mau melanjutkan. Di sini bisa terlihat bahwa siswa golongan menengah ke bawah yang akan masuk ke perguruan tinggi sudah terseleksi secara alami.
Sering kali telinga saya agak ‘panas’ jika topik pembahasan ketika sedang berbincang di kantin atau di tempat nongkrong atau di kolom-kolom komentar sosial media adalah menyinyiri mahasiswa A yang pakai iPhone, mahasiswa B yang selalu hidup hedon, mahasiswa C yang rumahnya mewah dan punya mobil, dan mereka semua adalah mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi. Terlebih teman-teman yang membicarakan itu adalah penerima bidikmisi juga.
Padahal, teman-teman yang berkategori mampu, yang membayar UKT tinggi tanpa frustasi, sangat jarang mengkomplain tentang melencengnya aliran dana bidikmisi. Teman-teman yang senasib dengan saya yang hidup ‘pas-pasan’ saja juga tidak terlalu mempermasalahkan mereka para penerima bidikmisi. Untuk teman-teman yang merasa seharusnya mendapat kucuran dana segar bidikmisi, trust me, i know what you feel. Terkadang kami yang pas-pasan ini juga suka iri dengan para warga bidikmisi. Cuma, kalau saya pribadi lebih suka menyimpannya saja dalam hati.
Saya merasa kalau pihak-pihak yang menganggap bahwa aliran bidikmisi menyimpang hanya karena gawai yang dimiliki, penampilannya yang neces dan fashionable setiap hari, atau kebisaan nongkrong di kedai kopi, mereka jangan-jangan juga cuma iri hati. Kita tidak tahu apa saja yang sudah dikerjakan teman-teman bidikmisi untuk bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhan mereka itu. Tapi memang sudah dasarnya rakyat kita suka ghibah ya mau bagaimana lagi. Buat saya juga tidak ada salahnya memang berkeluh kesah, silakan berpendapat, asal positif dan berdampak untuk perbaikan sistem bidikmisi di tahun-tahun berikutnya.
Alih-alih mencibir bukankah lebih baik rasa iri itu dijadikan dorongan untuk menjadi mahasiswa berprestasi. Menjadikan itu sebagai motivasi untuk mendapatkan beasiswa jika memang kepengin. Lebih bagus lagi jika mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Ada begitu banyak beasiswa yang bisa didapatkan selama perkuliahan. Tinggal bagaimana mahasiswa tersebut aktif mencari, berorganisasi, dan meningkatkan kualitasnya agar layak mendapat beasiswa.
Saya bukan mahasiswa penerima bidikmisi. Jujur saya juga menyadari bahwa saya bukan berasal dari keluarga kelas menengah ke atas. Ditambah karena saya kuliah di luar kota yang mengharuskan menyewa kamar indekos tentu akan sangat membebani keluarga. Uang saku yang saya dapat juga tidak datang rutin setiap bulan. Sekiranya habis baru mendapat transfer uang saku. Bahkan bisa memakan sekitar dua bulan atau awal bulan ketiga, baru kemudian mengemis meminta tambahan biaya. Tidak pernah saya mendapat kucuran dana kurang dari 31 hari. Saya harus menghemat betul pengeluaran. Beruntung saya kuliah di salah satu kota dengan biaya hidup termurah, Solo. Bagi pelancong yang pernah ke sana tentu tahu betul betapa murahnya biaya hidup di sana.
Adakah usaha untuk meringankan pengeluaran orang tua? Tentu saja ada. Berulang kali saya mendaftar beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan beruntung bisa mendapatkannya di tahun keempat perkuliahan. Hal itu sangat membantu karena pengeluaran di tahun terakhir perkuliahan adalah yang terberat. Selain mencoba mendaftar beasiswa, saya juga membantu penelitian dosen. Menurut saya, upah dari sana cukup untuk membantu biaya hidup, terutama untuk membeli bingkisan sidang dan wisudaan teman. Jadi saran saya, kalau memang butuh duit jangan jadi mahasiswa yang ha-ha-hi-hi tok di kampus.
Selain itu, ada begitu banyak pilihan yang bisa diambil untuk mendapatkan uang tambahan jajan, seperti kerja paruh waktu atau freelance sesuai dengan passion yang dimiliki. Sekarang daripada iri hati bukanya mending memperbaiki kualitas diri buat bekal kerja nanti.
BACA JUGA Sebagai Mahasiswa Bidikmisi, Kami Emang Nggak Pantas Punya HP Iphone atau tulisan Fakhri Firliandi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.