Menumpang Mobil Damri Mahal yang Bentukannya Mirip Ikan Belida ke Bandara YIA

Menumpang Mobil Damri Mahal yang Bentukannya Mirip Ikan Belida ke Bandara YIA terminal mojok.co

Menumpang Mobil Damri Mahal yang Bentukannya Mirip Ikan Belida ke Bandara YIA terminal mojok.co

Berawal dari Minggu siang, hari libur yang hampa, tiba-tiba saya teringat rencana yang agak tertunda. Jujur saja, selama bandara Yogyakarta International Airport ada, belum pernah saya ke sana. Kalau sekadar lewat, sejak masih rata dengan tanah sampai berdiri megah, sudah tak terhitung berapa kali PP. 

Tujuan pokok sebenarnya bukanlah menuju YIA. Melainkan sekadar naik mobil Damri Mercedes Benz Sprinter yang berseliweran ke arah bandara kebanggaan Kulonprogo itu. Apa istimewanya mobil ini? Nah, kalau saudara punya pertanyaan seperti itu, kita salaman dulu.

Pertanyaan sebab rasa penasaran ini seperti menggaruk-garuk di sekujur badan. Gemas sekali ingin menumpang mobil bongsor yang bentuknya jelek seperti ikan belida. Bahkan, Toyota Hiace yang bentuknya sudah indah itu pun, justru sekarang ikut-ikutan Mercy Sprinter. Pakai bonet segala.

Pertama kali saya melihat Sprinter ini dijadikan angkutan penumpang di Indonesia, jujur saja, bentuknya saya tidak suka. Tapi, karena ini Mercy, rasa penasaran saya tetap saja menyala dan bikin gatal.

Setelah memarkirkan Juliet kesayangan di parkiran rubanah Sleman City Hall, sampailah saya di kantor perwakilan Damri yang berada di depan mal. Tentu saja setelah sedikit tersesat di dalam mal. Di depan mal, terparkir satu unit mobil Damri yang saya amati dalam-dalam. Saya foto, lalu saya amati lagi. Bajingan, elek tenan bentuke. 

Masuk ke kantor Damri di siang hari yang panasnya bikin ketombe tumbuh subur, saya celingak-celinguk mencari mana orang yang jualan tiket. Suasana di dalam kantor lebih mirip gudang terbengkalai lengkap dengan furniture ala Excelso.

Saya tanya bapak-bapak yang sibuk dengan gawainya dan tidak menyadari saya sudah berada tepat di hadapannya. 

“Pak, pesan tiketnya di mana?”

“Di sini, Mas.” 

“Saya pesan satu tiket ke YIA yang jam 14.30, Pak. Berapa?”

“Lima puluh, Mas.” 

Saya terperanjat. 

“Nanti di sana bisa gesek atau non tunai nggak, Pak?” tanya saya.

“Wah, nggak bisa, Mas. Cash semua.”

 Ya bagaimana tidak kaget? Dari hasil Googling, harga tiketnya Rp25 ribu untuk sekali jalan. Uang di dompet tinggal 50 ribu, dan receh dua ribuan yang saya sendiri tidak tahu jumlahnya berapa. Lima puluh ribunya sudah saya bayarkan untuk tiket keberangkatan. Ya, mau tidak mau saya masuk lagi ke SCH untuk mencari ATM dan mengambil uang tunai. Tentu saja, pakai acara nyasar lagi. Asu. 

Saya berhasil kembali ke kantor Damri dengan keringat bercucuran. Tepat lima menit sebelum jam keberangkatan di jam 14.30. Tadinya mau nyangking es teh dari dalam mal, tapi kuatir ketinggalan. Eman-eman lima puluh ribunya karena kurang teliti mencari informasi. Masih harus menambah jatah jajan kwetiau di Solaria. 

Jadi calon penumpang mobil Damri sepertinya harus dituntut mandiri. Peka terhadap situasi. Tanpa aba-aba, pengumuman, bahkan dipersilakan, calon penumpang harus tahu diri untuk naik ke kendaraan yang akan berangkat. Ada dua mobil yang parkir di depan kantor, dan saya tidak tahu yang mana yang boleh dimasuki. Saya keluar mengekor penumpang yang lain. Satu mobil sudah menyala mesinnya, saya masuki saja. Kalau salah jurusan juga tidak apa-apa. Kan, saya tidak punya kepentingan untuk naik pesawat. Kalau ada yang salah jurusan? Ya, entahlah. Meskipun dari SCH, setahu saya hanya melayani satu rute, yaitu Bandara Kulonprogo. Paling tidak, calon penumpang awam merasa yakin bahwa kendaraan yang dinaikinya adalah kendaraan di jalan yang benar. 

Masuk ke dalam kabin, kesan buruk bentuk seperti ikan belida itu tiba-tiba saya lupa. Saya lupa kalau pernah mengejek mobil ini “elek tenan”. Hahaha. Saya sempat beberapa kali berpindah posisi tempat duduk: leluasa dan tak perlu membungkuk-bungkuk. Mobil ini memang tinggi, sehingga akses masuk-keluar penumpang menjadi lebih gampang. 

Mobil ini berisi lima baris kursi, dengan jumlah kursi sebanyak dua belas buah termasuk pengemudi. 

Yang istimewa pada kursi mobil ini selain kursi berukuran besar yang sanggup menampung badan berukuran ekstra, ada leg rest-nya juga. Kursi bisa rebah hampir tiduran. Asal berani baku hantam sama penumpang di belakang saja. Sayangnya, leg rest hanya terdapat pada bangku baris kedua dan ketiga. Bangku baris pertama, alias samping sopir boleh saja kalau mau menggunakan fasilitas foot rest. Cukup diganti satu tempelengan dari sopir karena menghalangi spion kiri dan ngapain juga pecicilan menaikkan kaki ke atas dashboard? Hah?

Bangku baris keempat juga istimewa meskipun tidak ada fitur leg rest di sini. Baris ini cocok untuk penumpang yang memiliki kaki berukuran panjang. Lantaran saya yang tingginya cuma 165 cm duduk di kursi ini, kaki saya menjuntai tidak menyentuh lantai. Kalau diteruskan dari SCH ke YIA, bisa kram paha ini. Lalu bagaimana bangku baris kelima atau terbelakang? Cuma saya lihatin saja, tidak saya dudukin.

Oh iya, satu lagi hampir lupa. Kalau baterai gawai saudara habis, tidak usah repot-repot mengeluarkan powerbank. Cukup keluarkan kabel charger saja dan colokkan di port usb yang ada di samping bangku. Kalau baterai tidak mengisi, mungkin sopir lupa menyalakan aliran listriknya.

Sopir sudah berada di balik kemudi, pintu penumpang masih terbuka. Saya kira, masih menunggu penumpang yang belum naik. Ternyata, oh ternyata. Untung saja saya tidak berinisiatif menutup pintu. Ternyata pintunya sudah elektrik. Maklum, kebiasaan jadi tukang buka-tutup pintu bus masih belum hilang. Fitur pintu elektrik di sisi penumpang ini memberikan kemudahan sopir yang bekerja sendiri. Tidak perlu repot turun-naik membukakan pintu untuk penumpang yang akan turun. 

Mobil yang harganya mendekati 1 miliar dalam bentuk kosongan, alias belum ada interior pada bagian penumpang yang saya duduki sekarang ini, kekedapan suaranya sangat bagus. Suara dari luar teredam dengan sangat baik. Walaupun begitu, getaran-getaran saat melewati jalan bergelombang masih begitu terasa di sekujur badan. Apa karena ukuran ban yang terlalu kecil untuk badan yang besar? Itu salah satu faktor juga sepertinya. Kalau untuk suspensi, saya rasa tidak ada masalah karena saat keluar dari halaman SCH, suspensinya sangat baik menahan guncangan. Tetapi, setelah saya cari tahu sana-sini, mobil sebesar ini ternyata menggunakan sasis monokok. Wooo, lha pantas saja getarannya lumayan. 

Meski begitu, mobil ini cukup enak untuk tidur sepanjang perjalanan Ambarketawang hingga Temon, lumayan pulas. Setiba di bandara YIA pukul 15.20, dan menuntaskan hajat, “Ooo begini rupanya bandara Kulonprogo,” foto-foto sebentar, lalu menunggu keberangkatan mobil Damri dari YIA ke SCH jam 16.30. Lumayan, seratus ribu dapat pengalaman menumpang mobil mahal meski harus menambah anggaran untuk jajan kwetiau goreng di Solaria, dan nonton gobloknya Nobita setelahnya. Tidak apa-apa… yang penting gembira.

BACA JUGA 3 Pengetahuan Dasar Tentang Terminal Bungurasih yang Wajib Diketahui

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version