Mungkin karena kebanyakan baca tulisan-tulisannya Cak Mahfud Ikhwan, saya jadi ikut-ikutan sinis tiap kali berhadapan dengan para penulis di awal-awal kariernya. Dalam kasus ini, saya nggak bisa nggak berkata “Heleh!” dengan raut muka paling menyebalkan saat membaca tulisannya Muhammad Dzal Anshar yang berjudul “Menulis kok buat Dapat Honor? Aneh!“, dan tulisan Fathur Rachman yang berjudul “Apa yang Dipikirkan Penulis Pemula Saat Menulis Esai untuk Media Online?”. Tanpa bermaksud meremehkan loh, ya.
Dua artikel ini pada dasarnya mengangkat topik yang sama, yaitu menggugat orang-orang yang menulis dengan mengharapkan honor dari setiap tulisannya. Untuk itu, saya merasa perlu berkomentar karena saya adalah salah satu dari sekian orang yang dicap “aneh” sama Muhammad Dzal Anshar itu. Ya, saya blak-blakan saja. Selama ini tujuan saya menulis, di media manapun, nggak lain nggak bukan yaaa biar dapet honor lah. Yakali—kalau tulisannya dimuat—cuma buat dishare linknya di story WhatsApp. Justru itu pola pikir yang, menurut saya, sangat aneh! Terlalu narsistik!
Beberapa waktu lalu, lini masa Twitter memang sempat geger dan uring-uringan sama cuitan salah seorang netizen yang menyinggung soal besaran honor di Terminal Mojok. Dia merasa prihatin banget sama para penulis di Terminal Mojok—tapi dia bilangnya Mojok, karena mungkin nggak tahu bedanya—yang cuma diupah Rp 20 ribu per tulisan. Sebuah angka yang, menurutnya, nggak sumbut babar blas dengan popularitas Mojok di jagad literasi tanah air.
Kemudian disusul dengan cuitan dari akun-akun lain yang kurang lebih sama: mempertanyakan kebijakan honor di Mojok. Sampai ada yang menuding bahwa Mojok telah menistakan profesi seorang penulis, karena menghargainya dengan angka yang sangat-sangat rendah. Bahkan ada juga yang banding-bandingin dengan besaran fee yang mereka dapat kalau menulis di media lain. Lagi-lagi, ini karena mereka belum tahu saja bedanya Mojok dengan Terminal Mojok.
Nah, saya tahu kalau Mas Muhammad Dzal Anshar dan Mas Fathur Rachman—lewat tulisannya itu—mencoba membela Terminal Mojok. Sebuah iktikad yang sangat-sangat baik nan mulia.
Tapi, sejujurnya, yang saya lihat adalah upaya untuk berapologi, membela sebuah idealisme basi dalam diri mereka masing-masing. Hanya untuk menutupi kegetiran karena nyatanya nggak menghasilkan sesuatu yang lebih dari menulis. Dengan pretensi yang, bagi saya, nggak kalah basinya juga. Entah menulis cuma buat kepuasan batin lah, menulis buat menambah wawasan lah, menulis buat menghilangkan stres lah, dan sekian jenis pembelaan khas para penulis pemula (kalau kata Cak Mahfud)
Oke, hal-hal seperti itu memang nggak bisa dimungkiri. Tapi, bukan berarti orang yang menulis buat dapat honor itu aneh, dooong. Justru itu adalah mindset yang realistis.
Sebagai penulis pemula, saya juga pernah berada di titik itu. Saya pernah di posisi sangsi banget sama orang-orang yang menulis cuma buat dapet fee. Karena pada saat itu (di awal-awal kuliah), yang bisa saya lakukan hanya menulis dan menulis di blog komunitas, yang otomatis juga nggak menghasilkan uang sepeser pun. Sampai-sampai saya dikatain gini sama teman-teman, “Memangnya perut kamu bisa dikenyangin pakai kata-kata?”
Saya kemudian mencoba berapologi dengan menjawab bahwa saya menulis buat senang-senang saja, nggak kepikiran buat dapat uang. Dan jujur, saya mengucapkan itu dengan kegetiran yang bergejolak dalam diri saya. Sebab saya tahu, apa yang dikatakan teman-teman saya itu sepenuhnya benar. Di titik tertentu, ternyata idealisme itu nggak berguna sama sekali.
Mungkin bagi beberapa orang, menulis bisa saja dianggap cuma sebagai sarana self healing atau sekadar sarana buat belajar dan mengasah keterampilan mengolah ide. Hal ini umumnya berlaku buat orang-orang yang sudah mapan secara finansial, atau paling nggak sudah punya pekerjaan utama lah. Jadi wajar saja kalau mindset menulisnya kayak gitu. Lah kalau buat orang kayak saya, atau mereka yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari menulis, yo jelas nggak mashok. Terus mau kita back up pakai apa kebutuhan hidup yang kian hari kian bertambah saja ini? Pakai blackdrop?
Maka dari itu, sebagai orang yang miskin keterampilan, saya akhirnya mulai berpikir agak realistis. Saya butuh ngopi, beli rokok, beli paketan, beli bensin, dan sesekali traktir pacar. Dan karena belum ada hal lain yang bisa saya kerjakan, akhirnya saya mencoba mengirim tulisan ke berbagai media—salah satunya Terminal Mojok—dengan tujuan: harus dapet fee. Entah gede entah kecil, pokoknya kegiatan menulis saya ini harus menghasilkan uang.
Nah, ini nih poinnya. Sekali lagi, nggak salah dan nggak aneh kok kalau menulis biar dapat honor. Tapi sedari awal kita juga harus mengerti kebijakan di media sasaran terlebih dulu.
Misalnya, kalau mau menulis di Terminal Mojok, ya kita cek dulu kira-kira dapat honor berapa. Nah, kalau sudah tahu kalau per tulisan cuma dibayar Rp 20 ribu, silakan pertimbangkan mau gas kirim atau lempar ke media lain dengan fee yang relatif lebih besar. Syukur-syukur kalau kita tahu sedikit seluk-beluk soal media digital. Jadi nggak salah paham dan mencak-mencak kalau ternyata honor yang cair nggak sebesar yang diharapkan.
Termasuk saya, waktu awal-awal mau kirim tulisan ke Terminal Mojok juga begitu. Pertimbangan saya, Rp 200 ribu untuk 10 tulisan itu harga yang cukup buat tambah-tambah uang ngopi dan ngudud. Mengingat juga ini UGC, Booor. Di UGC lain mana ada yang dibayar. Contohnya kayak di Kompasiana tuh. Menulis di Kompasiana itu nggak menghasilkan apa-apa, kecuali ucapan terima kasih. Atau beberapa media lain yang honornya ditentukan dari besarnya jumlah viewers. Malah lebih repot lagi.
Toh dari Terminal Mojok nanti para penulis bisa membuka jalan buat tembus ke Esai Mojok, yang per tulisannya dihargai sebesar Rp 300 ribu. Di Terminal itu ibaratnya kita sedang berada di kelas menulis. Alih-alih bayar, eh malah kita yang dibayar. Hal-hal kayak begini nih yang penting juga buat diketahui. Masa urusan UGC saja nggak paham terus auto nyinyir. Kan yaaa nganu banget gitu, loh.
Begitu juga kalau mau kirim tulisan ke media-media mainstream lainnya. Cek dulu, pertimbangkan, lalu silakan ambil keputusan. Jangan asal libas saja.
BACA JUGA Jejak Hitam Sultan Agung dalam Penaklukan Giri Kedaton dan tulisan Aly Reza lainnya.