Mentertawakan Permohonan Bebas Juliari Batubara, si Paling Menderita

juliari batubara badut jalanan sedih tawa mojok

badut jalanan sedih tawa mojok

Saya pikir, tidak ada lelucon yang lebih tidak masuk akal—sejauh ini—ketimbang Juliari Batubara meminta permohonan bebas. 

Baiklah, saya tahu, tidak ada mimpi yang benar-benar gila di dunia ini, dan orang yang terlalu bodoh. Kita tidak bisa bilang Bartomeu bodoh, meski hal yang dia lakukan adalah benar-benar bodoh. Toh, kita menikmati kegilaan yang diciptakan oleh Cervantes.

Namun, untuk Juliari Batubara, yang melakukan tindak kejahatan yang mungkin membuat iblis sekalipun tercengang, meminta vonis bebas adalah hal yang berlebihan. Kita akan bahas kenapa hal itu berlebihan sekaligus lucu, sekalipun hal itu hanyalah mimpi yang disimpan dalam batok kepala.

Juliari meminta dirinya dibebaskan sebab putusan hakim yang memberinya 11 tahun penjara—jika tidak ada pengurangan lagi—membuat dirinya dan keluarganya menderita. Dia menyebutkan putusan tersebut membuat dirinya tak bisa hadir bagi anaknya yang masih kecil, yang butuh sosoknya ketika tumbuh. Juliari Batubara juga mengatakan bahwa putusan tersebut membuat anaknya dihujat dan dicaci atas hal yang mereka tidak mengerti.

Haesh, si paling menderita.

Juliari sebenarnya juga mengatakan bahwa keluarganya mengabdikan diri kepada negara dan tidak pernah berurusan dengan hukum. Tapi, kita tidak perlu berbicara tentang hal itu. Hal itu, selain tidak nyambung, juga bukanlah hal yang nggak spesial-spesial amat. Bukankah memang wajar jika seseorang jadi orang baik-baik dan tidak pernah berurusan dengan hukum?

Jujur saja saya tertarik perkara dia meminta vonis bebas karena putusan hakim membuat dirinya dan keluarganya menderita.

Beberapa waktu yang lalu, tetangga saya mengalami kecelakaan tunggal. Kecelakaan tersebut disebabkan dirinya yang hilang kendali setelah menenggak alkohol dalam jumlah yang hanya Tuhan yang tahu. Beberapa tulangnya patah, dan badannya mengalami luka-luka.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Akibat dari kecelakaan tersebut, dia harus menjalani operasi. Namun, dia tak mendapat santunan atas kecelakaan yang ia terima. Tentu saja kalian tahu kenapa. Di masa seperti ini, keluar uang dalam jumlah yang besar padahal pemasukan lagi seret-seretnya adalah petaka yang mengerikan.

Reaksi kawan-kawannya, bukannya kasihan, justru malah sebaliknya. Semuanya seperti kompak bilang “sukurin!” ke tetangga saya tersebut. Dia punya anak yang sudah remaja, dia tulang punggung keluarga, dan punya tanggungan hidup yang besar. Harusnya dia bekerja lebih keras dan berusaha lebih giat, bukan malah mabuk-mabukan. Kecelakaan yang ia dapatkan bisa dibilang bukanlah kecelakaan atau musibah, namun hal yang bisa ditebak. Apa yang kau harapkan dari mabuk sambil berkendara?

“Musibah” yang dialami tetangga saya itu persis seperti apa yang Juliari Batubara terima saat ini. Jika putusan hakim dianggap memberatkan dan menghancurkan masa depan keluarganya, ya jangan korupsi. Namanya korupsi, kalau ketangkep, ya dihukum. Apa dia berpikir kalau ketahuan korupsi, yang terjadi adalah dia dimaafkan, disuruh mengambil hikmah, lalu lanjut jadi menteri?

Kejahatan yang ia lakukan bukanlah kejahatan kecil. Keserakahannya dalam mengambil hak-hak orang kecil membuktikan bahwa pada saat itu, nasib manusia yang lain mungkin tak berarti bagi dia. Saya katakan mungkin, karena bisa jadi dia berpikir hal-hal lain pada saat itu. Tapi, apa pun yang ia pikirkan saat itu, tetap saja salah. Apa yang bisa dibenarkan dari mengambil hak-hak rakyat kecil?

Pun, kenapa dia tak memikirkan keluarganya ketika melakukan tindak korupsi tersebut. Kenapa dia tidak memikirkan bagaimana reaksi anaknya kalau dia nantinya ketahuan korupsi? Kenapa hal-hal yang ia kemukakan saat dia meminta vonis bebas tersebut tidak terlintas di otaknya sama sekali?

Dan sekarang, dia minta bebas? Apa pun yang dia isap, saya pengin mencobanya.

Bisa dibilang, alasan-alasan yang Juliari Batubara kemukakan saat meminta vonis bebas ini justru membuat kita tahu, bahwa dia tidak memikirkan orang lain atau konsekuensi yang ada. Orang-orang yang menerima getah akibat perbuatannya—mungkin—tidak ia pikirkan sama sekali. Dan itu menunjukkan satu hal yang mungkin kita selama ini sudah sadari: bahwa bagi pejabat-pejabat yang korup, rakyat tak ada bedanya sama sekali dengan tai, yang dengan senang hati akan mereka buang dan lupakan.

Tapi, meski begitu, setidaknya sekali dalam hidup kita, kita melihat koruptor yang merengek-rengek minta dibebaskan.

BACA JUGA Korupsi Bansos dan Dana Haji, Mana yang Lebih Bajingan? dan artikel Rizky Prasetya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version