Menstruasi dan Rasa Malu yang Perlu Diatasi

menstruasi pertama

Menstruasi dan Rasa Malu yang Perlu Diatasi

Masih teringat jelas saat kelas 6 SD teman yang mulai menstruasi berubah. Selain tidak ikut pelajaran olahraga mereka juga jarang keluar saat jam istirahat dan terlihat stres ketika dipanggil guru untuk maju ke depan kelas mengerjakan soal, pulang pun selalu memilih belakangan. Ada lagi yang tidak saya pahami, sering berbisik dengan teman perempuan lain dan saling melempar kode, minta dicek apakah darah menstruasi tembus di rok belakang, bahkan meminta ijin pulang. Merepotkan sekali kenangan tentang menstruasi teman-teman hingga pernah saya tulis menjadi cerpen berdasar kisah nyata saat itu.

Membicarakan menstruasi dengan orang yang lebih tua pun sungkan, mendapat jawaban yang tidak menjawab apa pun, “Nanti tahu sendiri kalau sudah waktunya.” Padahal banyak sekali pertanyaan: apakah di dalam tubuh terjadi pendarahan karena itu banyak darah keluar? Sesakit apa rasanya pendarahan sampai ada teman yang pucat saat mentruasi dan perlu beristirahat di UKS? Kenapa saat menstruasi dijinkan tidak ikut pelajaran olahraga? Kenapa teman yang menstruasi sering diganggu dan ditertawakan teman-teman laki-laki sampai menangis? Dan seterusnya.

Sampai akhirnya di kelas 1 SMP jelang naik kelas saya mendapat menstruasi. Kaget, ingin menangis tapi tak tahu alasannya, bertanya-tanya apa yang saya lakukan sehari sebelumnya sampai bisa berdarah, campur aduk rasanya. Berteriak-teriak panik di kamar mandi lalu Ibu datang membawakan pembalut sambil mengajari cara memasangnya di celana dalam. Kemudian apa yang dialami orang lain mulai bisa saya pahami, pertanyaan tentang menstruasi mulai terjawab, seperti kata orang-orang dewasa yang bilang nanti akan tahu sendiri.

Perasaan paling kuat yang saya hadapi saat itu adalah rasa malu. Di usia remaja berjuang sebisanya berusaha memahami hal ini. Sampai sering bertanya ke diri sendiri, apa menstruasi itu kesalahan? Apa menstruasi itu aib? Kenapa harus merasa malu? Belum cukup badan terasa pegal, terkadang ada rasa nyeri di perut seperti ditusuk-tusuk, perubahan suasana hati yang sulit dikendalikan, sulit berkonsentrasi saat belajar, masih harus ditambah merasa malu?

Karena waktu itu setiap sore juga mengaji di madrasah, mulai mengerti ada satu kata yang juga penting terkait menstruasi yaitu suci. Cara bernalar yang pendek akan membawa pada kesimpulan perempuan yang sedang menstruasi dalam keadaan kotor jadi setiap sudah selesai harus mandi keramas. Karena hal ini pernah ada teman di masa kecil yang beranggapan saat menstruasi dilarang masuk ke masjid, tak boleh memegang Al Quran dan mukena, padahal bukan seperti itu maksudnya.

Kisah sedih pernah saya baca di tahun 2017 tentang seorang anak perempuan berumur 12 tahun di India yang bunuh diri karena saat darah menstruasi mengotori bajunya guru di kelas memintanya ke depan untuk memasang kain lap sebagai pengganti pembalut sampai ditertawakan teman-temannya.

Di 2019 juga ada peristiwa serupa di Nepal, anak perempuan berusia 14 tahun pulang ke rumah saat jam pelajaran sekolah untuk gantung diri setelah guru menghukumnya keluar kelas dan menyebutnya kotor karena baju seragam terkena darah sedangkan ia tak punya apa pun untuk digunakan sebagai pembalut.

Anggapan bahwa menstruasi itu kotor dan memalukan mungkin memang ada kaitannya dengan interpretasi ajaran agama dan kepercayaan yang kemudian menjadi tradisi. Masyarakat Hindu di India bagian selatan mengasingkan perempuan haid di gubuk terpencil dan tertutup sementara di India bagian utara perempuan yang menstruasi harus menjauh dari suaminya dan memakai kain lap dari bahan karung yang kebersihannya tidak terjaga.

Selain harga pembalut yang tak terjangkau, anggapan menstruasi itu menjijikkan sehingga dianggap tabu untuk dibicarakan membuat perempuan melakukan apa saja saat menstruasi seperti memakai koran dan kain bekas bahkan serbuk gergaji yang akhirnya berdampak pada kesehatan organ reproduksi mereka.

Kisah perjuangan aktivis kesehatan menstruasi dan sanitasi di India, Arunachalam Muruganantham, diceritakan dalam bentuk cerpen “Sanitary Man of Sacred Land” yang kemudian diadaptasi dalam bentuk film berjudul Pad Man.

Dekat dengan India, di Bangladesh, saat menstruasi perempuan dilarang memasak dan memegang makanan orang lain, harus membawa buah lemon atau besi untuk menolak bala, dan tidak boleh masuk ke tempat ibadah.

Hal serupa terjadi di Nepal, masih terus dilakukan meski memakan korban jiwa karena digigit ular atau sesak nafas saat menyalakan perapian untuk mengusir hawa dingin di gubuk yang dibangun tanpa ventilasi, perempuan yang sedang menstruasi diasingkan di di kebun atau pinggir hutan karena dianggap akan mendatangkan sial jika tetap berada di perkampungan, tradisi di Nepal ini dikenal dengan nama chhaupadi.

Di Indonesia pun ada tradisi mengasingkan perempuan yang sedang mentruasi, dilakukan oleh Suku Naulu di Pulau Seram. Saat menstruasi perempuan akan diasingkan di sebuah gubuk berukuran 2×2 meter. Berisi satu tempat tidur dan tungku ala kadarnya, tanpa alat penerangan padahal letak gubuk di pinggir hutan.

Satu-satunya interaksi dengan orang lain adalah saat dikirim makanan itu pun tidak boleh bercakap-cakap. Tradisi ini disebut panamou. Bukan hanya menstruasi, jelang melahirkan pun akan diasingkan, persalinan dibantu dukun bayi, dan baru boleh kembali ke perkampungan bersama bayinya dua minggu kemudian.

Tapi ada juga tradisi lain yang memandang menstruasi sebagai pertanda kedewasaan anak perempuan jadi perlu disyukuri dengan menggelar perayaan atau berbagi makanan. Orang Jawa saat anak perempuannya mendapat menstruasi pertama kali akan membuat bubur merah dan membagikannya ke tetangga.

Masyarakat Minahasa mewujudkan rasa syukur dengan menindik daun telinga untuk dipasang anting dan meratakan gigi supaya terlihat lebih cantik, ritual ini dikenal dengan nama Monondaega. Di Bali biasa mengadakan ritual potong gigi yang melambangkan anak perempuan tersebut disucikan sekaligus untuk estetika, dikenal dengan upacara metatah/mesangsih/mapandes.

Masih banyak tradisi lain tentang menstruasi. Hanya saja, sepengetahuan saya, tidak ada tradisi yang mendidik anak perempuan untuk mengenal kesehatan organ reproduksi sejak dini atau bagaimana harus menghadapi berbagai perubahan baik fisik maupun psikis. Semua upacara yang dilakukan dilakukan terkait unsur estetik tentang penampilan dan ungkapan rasa syukur dari orangtua dan kerabat saja.

Saya ingin kembali menyebut Arunachalam Muruganantham, ia yang membuat pembalut dengan harga terjangkau karena rasa sayangnya kepada istri. Melawan tradisi yang menganggap bahwa menstruasi tabu dibicarakan hingga akhirnya bukan saja menolong istrinya tapi juga perempuan miskin lainnya di Tamil Nadu. Keinginan menjaga kesehatan istrinya telah menumbuhkan kesadaran pentingnya sanitasi dan kesehatan organ reproduksi yang kemudian menjadi isu politis di India.

Dari sini bisa dipelajari bahwa menstruasi bukanlah persoalan yang sepele dan rutin saja dari perempuan. Berkaca pada diri sendiri yang mulai mengenal aneka jenis pembalut saat duduk di bangku SMA, mengetahui beda warna darah yang sehat dan yang mengindikasikan penyakit saat sudah berkuliah, dan belajar segala sesuatu vagina dan rahim serta pengaruh hormon pada kondisi psikis saat mulai bekerja fulltime karena sekali waktu memerlukan ijin tidak masuk. Banyak sekali hal penting yang dilewatkan perempuan dari tubuhnya sendiri.

Rasa malu saat menstruasi yang dulu kuat sekali seiring waktu berubah menjadi rikuh atau risih saja bahkan kemudian hilang sama sekali. Beberapa tahun belakangan bahkan menyebut menstruasi dengan santai. Tidak peduli sekitar, terutama laki-laki, diam-diam tersenyum mengejek atau terang menertawakan. Kadang juga satu ruangan terdiam hanya karena saya berkata dengan nada suara yang datar saja, “Gak bisa naik ojek, hujan nih, saya lagi menstruasi.” Mentruasi adalah peristiwa yang natural saja bagi perempuan, tidak ada yang memalukan atau perlu disembunyikan.

BACA JUGA Tolonglah, Menstruasi itu Cuma Siklus Bulanan, Nggak Ada Hubungannya Sama Dosa dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version