Menonton Film Adaptasi Novel yang Pernah Dibaca di Mana Menariknya?

Menonton Film Adaptasi Novel yang Pernah Dibaca di Mana Menariknya? terminal mojok.co

Menonton Film Adaptasi Novel yang Pernah Dibaca di Mana Menariknya? terminal mojok.co

Selama hidup, saya termasuk orang yang jarang sekali membaca novel bahkan menghindarinya sebisa mungkin. Sebagai seorang bioskop holic, novel ibarat spoiler yang berpotensi mengurangi utilitas ketika menonton film. Belakangan ini banyak film yang merupakan hasil adaptasi novel best seller. 

Jadilah berkembang pemikiran semacam “mending nunggu filmnya dulu deh”. Sebab, sepertinya tidak peduli seberapa nyaman fasilitas yang ditawarkan bioskop, kalau plot cerita sudah kita ketahui maka bioskop tidak lagi menarik.

Apa asyiknya nonton film yang endingnya sudah kita ketahui sebelumnya? Orang yang sudah membaca lalu menonton adaptasi novel apa nggak jenuh menonton adegan demi adegan yang sebenarnya sudah “dibayangkan” di kepala. 

Bioskop sudah layaknya warteg langganan di mana orang-orang tanpa pikir panjang akan memilihnya sebagai destinasi utama untuk penyegaran jiwa. Termasuk saya. Tetapi bioskop kini meredup, industri perfilman ambruk. Turut menjadi korban keganasan pandemi. Mau bagaimana lagi. Terkadang saya gamang untuk mencari hiburan lain. Apakah saya perlu menyerah dan membaca novel atau justru menunggu film adaptasi novel ini dirilis di bioskop? Tentu ini membutuhkan kesabaran.

Dari dulu, saya selalu heran dengan para novel addict yang tetap antusias menonton film adaptasi novel meski sudah tahu seluk beluk cerita yang akan disajikan. Lebih mirisnya, tak jarang para novel addict ini menanggung kecewa bertubi-tubi akibat ekspektasi yang sudah dibangun sedemikian rupa selama membaca novel runtuh, tidak terealisasi dalam film karena pembuat film memiliki interpretasi yang berbeda. Jika demikian, bukankah lebih baik menonton filmnya dulu baru kemudian mencari potongan-potongan yang hilang dengan membaca novelnya?

Di sisi lain, mungkin mereka terheran-heran juga dengan saya, kok bisa menahan diri tidak membaca novel demi menunggu adaptasinya ke film yang kita sendiri tidak tahu akan diproduksi kapan, lebih pahitnya bahkan kita tidak tahu akan diproduksi atau tidak.

Hmmm, mungkin membaca novel duluan jadi hal baru yang sebaiknya saya coba di tengah kegabutan pandemi, memahami pikiran dan perasaan para novel addict. Saya putuskan mengambil novel berjudul “Negeri di Ujung Tanduk”. Novel yang mengisahkan petualangan tokoh Thomas memerangi konspirasi para bedebah elit. Ajaib, lembar demi lembar hingga penghujung halaman saya baca dengan khidmat.

Ini fenomena langka bagi saya. Mungkin karena sebelum membaca saya sudah meluruskan niat. Nawaitu “saya ingin membaca novelnya”, tidak dihantui godaan “mending nunggu filmnya dulu deh”, membebaskan imajinasi terbentang seluas horizon. Mulai dari visualisasi megahnya kapal pesiar, menegangkannya adegan belalai crane, baku tembak di laut abu-abu dan yang paling membuat saya berdebar tentu tokoh Thomas yang cerdas dan kharismatik.

Visualisasi, debaran terhadap tokoh, serta beberapa bagian yang tidak bisa diinterpretasikan secara mandiri cukup membuat saya terngiang-ngiang dengan novel ini.

Terngiang-ngiang, membahagiakan, tapi juga menyiksa. Tidak bisa menyalurkan rasa tersebut dengan stalking pemerannya, mengunjungi lokasi syutingnya ataupun mendengarkan soundtrack-nya. Yang bisa saya lakukan hanyalah mengkhayal. Terngiang-ngiang hingga akhirnya lahir sebuah tanya, “Kira-kira akan seperti apa ya kalau dibuat film?”.

Yasss, senjata makan tuan, terjerembab lah saya. Saya pun mengerti, pertanyaan semacam itulah yang membuat para novel addict tetap yakin akan ada kepuasan lain yang mereka peroleh dari menonton film sekalipun sudah membaca novelnya. Pertanyaan semacam itulah yang mendorong para novel addict tetap antusias menantikan film adaptasi novel, bahkan bisa jadi melebihi antusiasme orang awam.

Kesimpulannya, terdapat opportunnity cost bagi masing-masing pemegang prinsip. Tim “film dulu novel kemudian” harus sabar menunggu rilisnya film. Sedangkan tim “novel dulu film kemudian” harus bersiap dengan kekecewaan yang mungkin terjadi. Saya pribadi tampaknya mulai goyah ke kubu sebelah. Sama seperti bioskop, novel tetap menawarkan sensasi memaknai kisah yang sulit terganti sekalipun banyak film yang mengadaptasi.

BACA JUGA Seberapa Pentingkah Anime dan Manga Dibuatkan Film Live Action?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version