Jujur saya merasa tergelitik membaca opini Mbak Rahma Aulia Fajri di artikelnya yang berjudul “Menonton Film Adaptasi Novel yang Pernah Dibaca di Mana Menariknya?” Opini Mbak Rahma ini memang sangat konsisten dengan jati dirinya sebagai bioskop holic yang menganggap novel ibarat spoiler yang berpotensi mengurangi utilitas ketika menonton film.
Di artikel itu, penulis juga mempertanyakan apa asyiknya nonton film yang endingnya sudah kita ketahui. Pun menyangsikan kesuksesan film adaptasi novel yang biasanya nggak menyamai ekspektasi penonton/pembaca.
Berangkat dari ketergelitikan saya, saya ingin membagikan opini saya yang mungkin agak berbeda dengan artikel tersebut. By the way, saya mengupasnya sebagai penyuka buku dan penikmat film dalam porsi yang sama.
Novel duluan ada, baru muncul film adaptasinya
Menunggu film rilis sebelum membaca novel berkisah sama terbit, bisa saja terjadi. Namun, yang lebih sering ditemui di realitas adalah novelnya terbit duluan, baru kemudian filmnya digarap. Kita ambil contoh Laskar Pelangi yang buku dan filmnya telah saya nikmati. Tahun 2005, novel Andrea Hirata itu terbit dan menjadi fenomena laris di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Di tahun itu pula sudah pasti banyak pembaca menghabiskan novel setebal 500-an halaman itu. Barulah pada 2008, Riri Riza membawa cerita Laskar Pelangi itu untuk diadaptasi ke layar perak.
Bayangkan jika pada 2005 banyak orang nggak baca Laskar Pelangi demi menunggu film adaptasinya. Tentu kita (khalayak pembaca) tidak pernah tahu apakah Laskar Pelangi adalah cerita yang worth it untuk dialihwahanakan menjadi film. Para filmmaker tentu akan melihat pasar. Kesuksesan novel di pasaran justru yang akan menjadi salah satu tolok ukur pemilihan sumber ide film adaptasi yang akan dibuat. Jadi, apakah menahan tidak membaca novel demi mendapatkan kemurnian filmnya ketika tayang nanti adalah sesuatu yang salah? Tentu tidak, itu hanya masalah preferensi dan idealisme semata. Yang jelas, nggak baca novel sebelum nonton filmnya (yang belum dan entah kapan dibuat) agaknya merepotkan diri sendiri.
Proses adaptasi itu nggak mudah
Sedari awal kita harus sadari kalau novel dan film adalah dua medium seni yang berbeda. Taruhlah sebuah novel berisi cerita 300-an halaman. Butuh effort besar untuk mengubahnya menjadi sebendel skenario untuk kemudian menjadi film yang berdurasi kurang lebih dua jam. Memasukkan keseluruhan detail cerita novel ke dalam film sudah pasti tidak bisa dilakukan. Filmmaker akan mempertimbangkan mana elemen yang harus dipertahankan, mana yang dibuang. Bagian mana yang harus tetap ada untuk menunjang cerita dan bagian mana yang bisa diabaikan.
Dalam esai berjudul The Cinema, seorang penulis Inggris, Virginia Woolf berpendapat kalau sinema (film) punya keterbatasan jika dibandingkan dengan narasi buku. Kekuatan kata-kata pada buku terkadang nggak bisa diwujudkan sama rasanya melalui film. Memang begitulah adanya. Tapi, film juga menawarkan pengemasan cerita yang berbeda. Dan berbeda, belum tentu tidak lebih baik.
Subjektivitas penonton film adaptasi novel sangat besar
Mengutip dari publikasi Deny Tri Ardianto, disebabkan perbedaan fundamental antara teks (buku) dan film, menurut Linda Seger, tentu pertautan keduanya akan menghasilkan perubahan. Hal ini juga sejalan dengan penjelasan Susan Hayward bahwa ide film adaptasi bisa berasal dari medium teks, tetapi dalam prosesnya mungkin saja lahir cerita baru. Penyair Sapardi Djoko Damono pun menuliskan kalau di dalam alih wahana akan terjadi perubahan. Sutradara sekaligus penulis Judy Sandra dalam artikelnya juga menjelaskan kalau mengadaptasi novel ke film itu dapat dianalogikan seperti merenovasi rumah. Harus dihancurkan sebagian dulu sebelum membangun yang baru. Filmmaker tetap punya hak interpretasi meskipun pada akhirnya perubahan itu seharusnya nggak meniadakan ruh cerita dari medium yang diadaptasi.
Yang kita temui di keseharian, populasi penikmat film adaptasi memutuskan nonton, untuk mengkonfirmasi imajinasi yang ia dapatkan saat membaca dengan scene demi scene yang diputar di bioskop. Dan di sanalah, sebelum masuk ruang bioskop, biasanya penonton akan membangun ekspektasinya sendiri. Memberi label apakah film ini adaptasi yang baik atau buruk tentunya sangat amat subjektif. Bahkan bisa saja dua orang yang sama-sama sangat menikmati sebuah novel, akan bereaksi berbeda terhadap film adaptasinya. Bagi saya, soal suka atau tidak suka film adaptasi novel adalah hal lain. Saya sadar, kedua bentuk story telling ini tidak mungkin sama plek ketiplek.
Last but not least, saya ucapkan selamat pada Mbak Rahma yang telah berani keluar dari comfort zone. Yang telah berani mencoba membaca novel lebih dulu, meskipun filmnya belum kelihatan. Lagipula kalau dipikir-pikir lagi, kita bisa lho mengadaptasi novel yang kita baca jadi film di ruang imajinasi kita, hehehe.
BACA JUGA Kebobrokan Hukum yang Diperlihatkan dalam Film The Trial of The Chicago 7 dan tulisan Maria Monasias Nataliani lainnya.