Saya lahir di Kota Bandung dan hampir menjalani kehidupan selama 23 tahun di Kota Kembang ini. Banyak suka duka, pengalaman manis nan romantis, hingga pengalaman pahit yang telah saya rasakan di ibu kota Jawa Barat tersebut. secara singkat, kota ini indah untuk saya…
Harusnya.
Banyak keresahan selama ini yang saya rasakan dan pendam selama menetap di kota dengan tingkat kekerasan tertinggi ketiga. Salah satunya adalah, mudahnya menemui toko miras di pinggir jalan yang buka secara terang-terangan.
Pemerintah sudah menetapkan aturan bahwa penjualan miras tidak bisa bebas. Ada aturan yang mengatur, dan memang sudah seharusnya begitu. Tapi melihat Bandung kini, rasa-rasanya jauh dari itu.
Toko miras “mengepung” Bandung
Dulu sekitar 3-10 tahun yang lalu, di Kota Bandung Utara, daerah tempat saya tinggal, sangat jarang ditemukan adanya toko yang berjualan miras, walaupun sempat ngetren. Sebetulnya ada satu toko yang berjualan berbagai macam minuman keras, tapi itu pun dengan label berjualan “jamu”. Namun saat ini, toko tersebut sudah berani memunculkan diri dengan menamai tokonya dengan salah satu merek dari minuman keras yang dijualnya.
Yang membuat saya kaget, hal tersebut diikuti dengan munculnya toko-toko lain yang menjual minuman keras dengan sama terang-terangannya.
Saat saya pergi kerja saja, terdapat 3 toko miras. Beberapa di antaranya berdekatan bahkan dengan masjid dan klinik. Terlepas dari perizinan toko miras tersebut, tetap saja keberadaannya yang semakin menjamur sangat meresahkan.
Baca halaman selanjutnya
Ada pembeli masih di bawah umur
Akibat dari menjamurnya toko minuman keras di daerah Bandung ini, penjualannya jadi tidak terkontrol. Tidak pandang bulu lagi siapa pembelinya, bahkan usia minor sekali pun. Beberapa kali terlihat secara tidak sengaja, banyak yang keluar dengan memegang botol dilapisi kresek hitam itu masih menggunakan seragam sekolah. Padahal, peraturan sendiri mengatakan dilarang menjual minuman beralkohol kepada anak usia di bawah 18 tahun.
Penjualan miras yang terang-terangan di Bandung ini efeknya tak main-main. Toko yang bertebaran, bikin orang nantinya menganggap hal ini biasa. Padahal tentu saja tidak. Ada alasannya kenapa penjualan miras begitu diatur, ya karena biar konsumsinya bisa dikontrol dan efek negatifnya bisa diminimalisir.
Terlebih jika pembeliannya yang terang-terangan dilihat anak-anak. Ini bisa menimbulkan persepsi ke anak-anak tersebut bahwa miras itu hal biasa. Terlebih di daerah saya yang mayoritas muslim dan dekat masjid, tapi toko miras tersebut dibiarkan begitu saja.
Terlepas sudah berizin atau tidaknya, toko miras ini baiknya tidak beredar dan menjual barang tersebut secara terang-terangan. Sekali lagi, ada alasan yang masuk akal kenapa miras dilarang, dan harusnya orang-orang tahu ini. Sebab, efeknya tak hanya personal, tapi bisa meluas.
Penulis: Handri Setiadi
Editor: Rizky Prasetya