Minoritas itu sebenarnya banyak ragamnya. Mungkin yang kita sering dengar, konotasi minoritas kebanyakan soal agama, warna kulit, hingga suku. Padahal kalau kita mencoba memikirkan sesuatu yang nggak penting-penting amat, mereka yang terlahir kidal pun bisa disebut kaum minoritas. Walau pada dasarnya orang-orang kidal adalah kaum minoritas, syukurnya sering terdapat embel-embel spesial di dalamnya. Jadi banyak yang nyebut orang kidal itu minoritas spesial. Tidak hanya martabak, nasi goreng, dan mi goreng saja yang bisa spesial, kaum minoritas pun ternyata bisa spesial.
Selayaknya minoritas pada umumnya, menjadi kidal memang sering mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang-orang sekitar. Saya yang terlahir kidal, merasakan bahwa menjadi kidal itu kadang membanggakan, kadang aneh, dan kadang lucu. Ibu saya pernah bercerita bahwa dirinya sempat tidak suka jika saya kidal. Ketika saya masih TK dan sedang belajar memegang pensil, di situ pertama kali saya terdeteksi sebagai manusia minoritas. Beliau menceritakan bahwa sejak saat itu saya ditempa untuk tidak menjadi kidal. Tempaannya bukan selayaknya anggota NAVY SEAL yang disuruh nyelam sambil tangannya diikat. Tapi lebih ke arah pencegahan.
Semisal saya megang apa-apa pakai tangan kiri, ibu saya selalu memindah benda yang saya pegang ke tangan kanan. Semisal saya menulis, ibu saya dengan tegas memukul tangan kiri saya lalu memerintahkan untuk menulis dengan tangan kanan. Tempaan itu saya terima sampai saya kelas 1 SD. Ketika saya bertanya kenapa ibu saya tidak suka dengan kidalnya tangan saya, beliau mengatakan bahwa tangan kiri itu tangan cebok, tidak baik kalau selalu digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Saat itu kelas 1 SD, saya tidak terlalu paham apa itu kidal. Konsep yang ada di pikiran saya ya kidal itu tidak baik, seperti apa yang dituturkan ibu saya.
Seiring waktu dan berkembangnya saya dari anak kecil, remaja, hingga sekarang dewasa awal. Barulah saya paham bahwa terlahir kidal ternyata justru spesial. Sangat banyak penelitian, artikel, hingga jurnal yang menganggap bahwa orang kidal itu spesial. Bahkan saya baru tau, ternyata ibu saya sendiri kidal. Dan saya pun tidak ingin bertanya lebih jauh soal mengapa menurut beliau kidal itu tidak baik, apakah itu berdasarkan pengalaman beliau atau siapa? Sejak SMA saya sudah paham bahwa saya adalah orang spesial. Saya mungkin sejenis mutan X-Men. Punya sesuatu yang berbeda di tangan kiri saya. Tapi sejauh ini saya tidak menemukan tanda-tanda apa pun di tangan kiri saya.
Semenjak tahu bahwa kidal itu sering kali muncul dari faktor genetik ataupun faktor lingkungan. Saya memahami bahwa terlahir kidal itu anugerah yang muncul karena tidak dibuat-buat. Saya pernah menemui orang-orang kidal yang sering dipandang aneh, unik, dan dianggap layaknya suatu entitas yang berbeda. Saya paham bahwa pandangan-pandangan seperti itu tidak melulu untuk merendahkan. Mungkin ada yang merasa terkejut, kagum, atau apalah. Tapi ketika SD saya ingat betul bahwa teman saya yang kehidupannya sangat full menggunakan tangan kiri sering diejek ketika makan bahwa tangan yang ia gunakan untuk memegang sendok itu najis.
Celetukan-celetukan itu ditambah dengan timpalan yang cukup ngena bahwa ketika teman saya tersebut menulis, dia selalu kena ejek bentuk tulisannya kaya cakar ayam dan tidak akan pernah bisa dibaca. Waktu itu saya kelas 5 SD, dan saya juga ikut menertawakannya. Rasanya menyenangkan sekali ternyata. Lantas kenapa saya tidak ikutan diejek? Tempaan ibu saya berhasil. Walau saya awalnya terlahir kidal, tapi entah kenapa saya bisa menutupi kekidalan saya ketika sedang makan atau sedang menulis.
Jadi ketika saya makan, saya selalu menggunakan tangan kanan dan begitupun ketika sedang menulis. Entah saya ini jenis kidal yang mana, tapi kekidalan saya baru akan muncul ketika saya melakukan aktivitas olahraga. Orang yang terlahir kidal sering kali tidak bisa menutupi kekidalannya ketika beraktivitas fisik. Semisal saya melempar bola, saya selalu melemparnya dengan tangan kiri. Ketika memegang raket badminton, saya selalu menggunakan tangan kiri. Bahkan ketika saya masuk WC, saya selalu mendahulukan kaki kiri. Kidal itu ternya bisa dikontrol dan mungkin bisa dihilangkan. Saya kurang tahu, apakah ada mereka yang kidal sejak lahir lalu saat dewasa full tidak kidal lagi. Namun ketika saya melihat diri saya, setidaknya kebiasaan kidal itu bisa diubah.
Semakin saya dewasa, saya terus mencari tahu siapa-siapa saja yang senasib dengan saya. Seperti manusia pada umumnya, saya mencari-cari siapa orang sukses yang kidal. Selain mencari informasi, saya juga bisa menambah khazanah kesombongan saya menjadi orang kidal ketika ditanya siapa sih orang yang senasib dengan saya.
Ketika mencari tahu siapa yang senasib dengan saya, saya menemukan ternyata orang kidal itu hebat-hebat. Barack Obama kidal, Lionel Messi kidal, Bill Gates kidal, tokoh revolusioner Fidel Castro pun kidal. Bahkan ketika saya ingin mensejajarkan diri dengan orang tampan, saya mirip dengan Adam Levine. Walau tidak soal wajah, tapi soal kesamaan kidal pun tak apa.
Apalagi ditambah banyak penelitian yang beredar bahwa orang kidal itu kreatif lah, cerdas lah atau jenius lah. Saya pastinya semakin bangga dengan penelitian tersebut. Namun, setelahnya saya sadar bahwa itu penelitian yang tidak mencakup semuanya. Penelitian kebanyakan menggunakan sampel dan saya mungkin tidak termasuk ke dalam sampel jenius, kreatif, atau cerdas itu. Saya hanya sampel kidal biasa-biasa saja dan saya sudah menyadarinya.
Akhirnya semakin bertambahnya pengetahuan saya menyoal kidal, saya paham bahwa apa yang dikatakan ibu saya tidaklah terlalu benar. Ada benarnya sedikit, tapi ketika melihat bayak penelitian dan fakta-fakta terkait orang-orang kidal. Saya tidak perlu terlalu takut dan malu untuk mengatakan diri saya kidal. Bahkan ketika saya tahu di Indonesia ada pandangan bahwa kiri itu tidak selalu tentang belok kiri boleh langsung, tengoklah kanan dan kiri sebelum menyeberang, atau cebok itu pakai tangan kiri.
Saya masih bangga menyebut diri saya orang kiri dari lahir. Ya, saya orang kiri dari lahir!
BACA JUGA Bahkan Karl Marx (yang Katanya Kiri) Akan Tertawa Terpingkal Melihat Karya-Karyanya Disita atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.