Menikmati Revolusi Perkelahian Berkat Media Sosial

Pengalaman Jadi Buzzer Produk di Twitter dan Memahami Polanya terminal mojok.co

Pengalaman Jadi Buzzer Produk di Twitter dan Memahami Polanya terminal mojok.co

Perkelahian apapun bentuknya (adu mulut ataupun adu pukul) adalah hiburan paling menyenangkan yang bisa saya dapat. Kecuali, ya, jika yang terlibat di dalamnya adalah saya sendiri.

Salah satu bentuk perkelahian paling berkualitas adalah adu jotos anak sekolah dari SD sampai SMA. Ia liar, nyata, bebas, dan (pada beberapa kasus istimewa) eksperimental.

Omong-omong soal eksperimental, saya pernah menyaksikan seorang bocah SD yang di tengah adu jotos merapalkan mantra ala dukun lalu mempraktikkan kuda-kuda aneh yang hanya bisa disaksikan di sinetron silat. Sambil menangis, tentu saja.

Belum lagi SMP dan SMA. Di hutan rimba satu ini seni perkelahian fisik mencapai puncak kemurniannya. Mulut sudah bukan senjata lagi. Waktu SD misalnya, saya masih bisa membuat teman yang badannya besar menangis dengan menghina ayah atau ibunya. Cobalah trik tadi di SMP atau SMA dan salah satu skenario buruk yang bisa terjadi adalah wajahmu dibenturkan ke meja penuh coretan tip-ex sampai tidak bisa bernapas (pengalaman nyata sebagai saksi mata).

Pada bentuk paling gelap dan tidak layak-tayang, perkelahian bisa merenggut nyawa. Tawuran, saling balas dendam, perang, dan seterusnya. Tentu yang merenggut nyawa sebaiknya ditayangkan di film-film saja. Tapi apa boleh buat, sejarah sepertinya tidak pandang bulu dalam menentukan subjek humor bagi umat manusia.

Tapi mari lupakan perkelahian fisik karena ia terlalu hardcore bagi kebanyakan orang. Sekarang kita berpindah ke media sosial, tempat suci yang merevolusi cara manusia berkelahi.

Bayangkan dunia ketika manusia masih tinggal di gua. Perkelahian masih berada pada tingkat yang paling dasar : berebut makanan. Kita berjalan puluhan atau ratusan ribu tahun dan berjumpa dengan dua bocah SMA yang saling pukul karena salah seorang diantara keduanya mencampuri “ibumu” dan “kontol” piiip *sensor* dalam satu kalimat.

Eh, belum jauh berjalan, kita dapat lagi penemuan ketika sekumpulan orang berkelahi karena Tuhan yang mereka percaya berbeda-beda.

Kasus-kasus tadi adalah kabar baik bagi para penikmat perkelahian, tentunya. Karena bahan berkelahi antar orang sudah makin bervariasi. Apakah bahannya bodoh dan konyol, ya itu soal lain.

Tapi kemudian media sosial datang dan dengan gagah ia berkata, “belum, belum cukup, tuan-tuan sekalian! “ Dan benar, perkelahian umat manusia memang belum cukup banyak dan variatif rupanya.

Maka meledaklah rimba perkelahian baru yang luar biasa seru melalui media sosial. Saya kira yang dilakukan media sosial cukup sederhana. Pertama, kumpulkan orang-orang goblok, bebal, dan banyak bacot dalam jumlah besar. Lalu taruh sedikit saja orang pintar dan/atau berkepala dingin.

Tentu siapapun (mau pintar atau goblok) juga akan pikir-pikir dulu sebelum kena pukul. Jadi ubahlah arena perkelahian dari adu jotos menjadi silat lidah (lebih tepatnya, silat jempol). Sialnya, banyak juga orang yang takut saling hina-menghina, jadi lakukan sedikit lagi modifikasi : beri orang-orang ini kebebasan untuk menyembunyikan identitas. Dan voila! Berkelahilah mereka.

Berdasar pengamatan saya (yang amat terbatas dan terbuka buat masukan), variasi paling umum dari perkelahian media sosial ada 2 :

1. Orang goblok berkelahi dengan orang goblok. Ini yang paling seru dan indah karena seringkali batasan-batasan logika dan nalar bisa ditembus.

2. Orang pintar “digebuki” orang goblok (kasihan, tapi kalau orang pintar dicampur dengan sesamanya biasanya mereka tidak berkelahi)

Dengan media sosial, silat lidah mencapai standar yang sama sekali baru. Sekarang orang-orang tak perlu malu menghina orang lain sambil mengemukakan pandangan kebodohannya dengan bangga. Toh, identitas mereka tidak ketahuan dan kalaupun ketahuan dampaknya (sepertinya) tidak akan signifikan bagi kesehatan jasmani dan rohani (kecuali orang yang anda hina sejenis Deddy Corbuzier).

Belum lagi jika orang goblok berhasil membuat kanal sendiri untuk berkumpul. Wah, makin mantap itu. Ilmuwan sekelas Isaac Newton pun bisa ditolol-tololkan. Atau kalau mau yang lebih segar topiknya bisa diganti dengan mendiskusikan bermacam simbol jahanam di atas rupiah.

Bahkan saya kira perkumpulan dan silat jempol dialektika antara orang goblok tadi berhasil menciptakan haluan yang segar bagi filsafat absurd. Bagaimana tidak? Kegoblokan thesis absurd mereka yang seringkali dihantam dengan antithesis yang tak kalah absurd berhasil menciptakan sitesis yang luar biasa bernas. Sitesis mereka, seperti kata saya tadi : Indah. Menembus batas logika dan nalar.

Dan jangan lupa, mereka ini revolusioner, bung! Dialektika mereka bahkan berhasil mengguncangkan teori bumi bulat yang begitu mapan selama ratusan tahun. Dajjal pun berhasil diungkap keberadaannya. Apalagi yang kelas teri seperti keadaan ekonomi dan politik suatu negara.

Soal variasi topik dalam bersilat lidah, media sosial juga berhasil melahirkan cabang-cabang baru. Tentu hal-hal old school seperti agama, bentuk muka, ras, dan haluan politik tetap laku. Hanya saja kini tingkat makian dan hinaannya bertambah pedas, beragam, dan absurd.

Mulai dari paha artis, hantu komunis di warung makan, etika selfie untuk orang berwajah jelek, hukum mencampur babi dan kurma, asah otak menentukan batas pelecehan seksual, cara bersih-bersih yang benar di restoran cepat saji, hak menjadi murtad, cara jadi touris guide, cara ngebacot yang benar bagi musisi, sampai kemampuan mengoper seorang pemain sepakbola.

Rupanya rangkaian balas-membalas hinaan, dialektika, dan kegoblokan di media sosial terlalu reaktif dalam menghadapi isu demi isu. Sehingga hasilnya adalah pelebaran topik/cabang berkelahi. Luar biasa, kawan-kawan! Luar biasa!

Kini saya, anda, dan kaum penonton perkelahian lain tidak perlu capek-capek pergi ke lapangan melihat 12 bocah berkelahi sehabis bermain bola atau membuka TV menonton debat kusir atau menyaksikan gulat bebas. Belilah kuota internet dan smartphone, akses media sosial jenis apapun dan ikuti insting anda dalam mencium bau-bau pertikaian.

Arena pertikaian favorit saya sih Twitter. Soalnya mau segoblok dan seabsurd apapun, rangkaian hina-menghina disini akan terlihat intelek. Kolom komentar Youtube dan Instagram juga bisa jadi opsi bagi anda yang lebih suka melihat balapan moral dan etika ketimbang intelektualitas (dan kegoblokan).

Kalau dari para pembaca ada yang ingin meramaikan ekosistem perkelahian media sosial, tentu saya persilahkan. Kabar baiknya, anda tidak perlu takut mengalami cedera fisik. Paling parah ya jempol terkilir karena kelewat bersemangat.
Hidup kegoblokan media sosial!

Exit mobile version