Menggugat Mekanisme Pembagian Ingkung dalam Kenduri yang Tidak Adil

kenduri ingkung mojok

kenduri ingkung mojok

Menunggu orang tua pulang dari kenduri menjadi salah satu momen paling ditunggu oleh setiap anak yang lahir di pedesaan, tak terkecuali saya. Upacara adat yang biasanya diikuti bapak-bapak dan dilaksanakan setelah shalat Maghrib ini, selalu identik dengan makanan gurih yang ditaruh di dalam besek (wadah nasi dari anyaman bambu). Nasi kenduri inilah yang bertahun-tahun selalu berhasil menjadi media quality time saya bersama keluarga.

Kenduri atau kenduren adalah upacara adat yang diselenggarakan oleh seorang warga masyarakat yang memiliki hajat. Biasanya, warga yang mengadakan kenduren akan mengundang tetangga sekitar untuk ikut mendoakan agar hajat shohibul bait dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi masyarakat Jawa, khususnya Gunungkidul, kenduren dibagi menjadi beberapa macam: Rasulan, Kepaten, Puputan, Wetonan, Ba’dan, Muludan, dan Likuran.

Umumnya, nasi kenduri akan dilengkapi dengan formasi lauk pauk yang eksotik, seperti suwiran ingkung, telur rebus, mie putih, serundeng, gudangan, oseng-oseng tempe, hingga apem goreng. Beberapa menu tersebut, dipastikan selalu hadir di atas besek kenduri dan selalu menggugah selera. Banyaknya ubo rampe khas di dalam nasi, menjadikan makanan satu ini begitu istimewa di sanubari para pecintanya.

Biasanya, ketika tersiar kabar ada tetangga yang mau menyelenggarakan selametan, saya dan ibu rela untuk menahan rasa lapar dari sebelum Maghrib hingga menjelang Isya. Ya, perut sudah distel kendo sedemikian rupa agar bisa menikmati nasi kenduri lebih bergairah.

Kemarin, saya berkesempatan ikut menghadiri upacara adat kenduri kepaten untuk memperingati 40 hari meninggalnya salah satu tetangga saya. Dan saya juga cukup sering mewakili bapak yang absen tidak bisa ikut kenduri. Sebagaimana kebiasaan masyarakat desa, ketika orang tua tidak bisa ikut kenduri, anak harus siap siaga mewakilinya. Seperti bapak kemarin yang mengaku kecapekan setelah panen kacang seharian, saya diminta mewakili untuk mengikuti kenduri.

Dalam tradisi kenduri, ingkung menjadi salah satu menu istimewa yang banyak dilirik para peserta upacara adat, tentu saja karena rasanya yang mantap jiwa. Ingkung sendiri merupakan ayam utuh lengkap dengan jeroan yang dihidangkan bersama tumpeng dan sesaji lainnya. Tak hanya memiliki cita rasa gurih dan lezat, ingkung ayam juga dipercaya sebagian masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai filosofi tinggi.

Menurut Taylor dalam Jati (2014), ayam ingkung diperkirakan telah ada sejak kerajaan Jawa yang dipengaruhi oleh agama Hindu. Ingkung sendiri berasal dari kata menengkung atau dalam bahasa Jawa Kuno yang artinya memanjatkan doa dengan kesungguhan hati. Konon, tradisi ini digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Setelah selesai melakukan ijab qabul dan doa-doa dipanjatkan, biasanya ada perjamuan makan untuk para peserta kenduri. Entah kenapa, kalau makan di rumah orang, bapak-bapak cuma mengambil nasi sedikit dan cenderung mengonsumsinya dengan maraton. Hal inilah yang kerap membuat saya makan paling akhir karena saya mengambil porsi makan yang cukup menggunung.

Makan-makan selesai. Semua mata peserta tertuju pada ingkung yang sejak tadi melambai-lambai. Biasanya, ingkung akan disuwir-suwir tipis-tips secara manual atau pakai tangan kosong oleh para ahli, lalu dibagi kepada para peserta secara estafet di atas piring. Setelah itu, para peserta kenduri diminta untuk mengambil suwiran tersebut maksimal satu suwir dan tidak boleh lebih.

Saat pembagian ingkung inilah yang menjadi detik-detik menegangkan bagi para hadirin yang datang. Beruntunglah bagi mereka yang mendapatkan satu suwiran ingkung dengan porsi yang lumayan. Karena tidak semua hadirin yang datang mendapatkan ukuran suwir ingkung ayam yang besar.

Sistem atau mekanisme pembagian ingkung ayam di acara kenduri memang cukup problematik. Hampir dapat dipastikan pembagiannya tidak rata. Dan ini kebiasaan yang terus berulang dan membuat sebagian peserta kenduri sebagian kecewa. Pasalnya, teman saya cukup sering tidak kebagian suwiran ingkung ayam dan peristiwa ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali.

Usut punya usut, ternyata ada beberapa oknum peserta yang sengaja dan tega mengambil lebih dari satu suwir ingkung ayam. Risikonya, urutan terakhir yang menerima estafet suwiran ingkung ini bakalan tidak kebagian. Bayangkan saat peserta terakhir ingin mengambil suwiran ingkung, lalu di suwiran ingkung di piring sudah ludes. Bukankah ini sangat menyakitkan?

Kejadian semacam ini memang harus diakhiri. Tata krama saat bertamu di rumah orang harus menjadi kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah. Dengan begitu, jika ada tradisi kenduri tidak ada lagi oknum yang tega mengambil jatah suwiran ingkung ayam.

Terlepas dari itu, saya bersyukur, ndilalah kemarin tidak ada kejadian memalukan seperti itu. Semua peserta kenduri, termasuk saya, masing-masing mendapatkan satu suwiran ingkung. Para peserta pun pulang dengan sumringah dan siap quality time bersama keluarga di rumah.

Sesampainya di rumah, keluarga saya sudah menunggu. Terlihat ibu, bapak, dan adik sudah berjajar di depan TV menonton Mas Al. Besek penuh lauk pauk itu saya buka, terlihat semua mata berbinar bahagia, kecuali bapak saya yang terlihat sangsi.

“Ada apa pak?” Tanyaku.

“Lah ini kok cuma satu suwir ingkung? Mbok ya tadi ngambil yang banyak to, Le. Wah kamu ki ndak berpengalaman blas. Kalau pas pembagian suwiran ingkung itu mbok ngambil yang gede, sukur-sukur lebih dari satu, biar cukup untuk sekeluarga,” Ujarnya di tengah sayup-sayup dialog sinetron Ikatan Cinta.

BACA JUGA Tradisi Rewang dan Nasib Orang-orang di Balik Megahnya Pesta Pernikahan dan tulisan Jevi Adhi Nugraha lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version