Mengenang Wartawan-Pecinta Alam-Aktivis Kawakan Aristides Katoppo (1938-2019)

Aristides Katoppo

Aristides Katoppo

Lewat kawan lamaku yang kelak menjadi Pemimpin Redaksi Koran ‘Sinar Harapan’, Kristanto Hartadi, ia minta bertemu. Di hari yang disepakati, April 2002, aku mendatanginya di kantornya di Jl. Fachrudin No.6, Tanah Abang, yang tak jauh dari Sarinah.

Bang Tides (Aristides Katoppo) dan yang lain sedang sibuk siang itu. Maklum, surat kabarnya yang baru terbit kembali sejak 21 Juli 2001 setelah 15 tahun diberangus penguasa Orde Baru, masih terus berbenah.

“Beginilah kami di sini. Masih serabutan dan tempatnya agak berantakan,” ucap dia setelah memersilakan aku duduk di ruangannya yang diramaikan buku terpajang.

Seperti biasa, sambutannya hangat. Ke orang-orang yang menyambanginya, dikenalkannya aku. Termasuk ke kartunis terkemuka, Pak Pramono. Juga ke Andreas Piatu yang sebenarnya sudah lama kuperkonco.

Setelah menanyakan kabar masing-masing, kami berdua masuk ke inti pertemuan.

“Sebagai calon redaktur di sini, konsep apa yang Anda tawarkan?”

“Investigasi. Kita bikin tim investigasi, seperti yang Abang bentuk di ‘Sinar Harapan’ lama. Skuad yang tangguh yang Abang pimpin dan diteruskan Bang Panda [Panda Nababan], menurutku, cocok kita jadikan model,” jawabku.

“Apakah investigasi masih laku di zaman sekarang? Kalau pun masih laku, isu apa saja yang bisa digarap nanti?”

Seperti orang ‘sales’ yang haus akan pembeli, aku meyakinkan dia sebisanya. Kutegaskan bahwa invesitigasi itu tak bakal lekang oleh zaman. Garapannya tidak akan kurang; mulai dari yang kakap hingga yang teri tersedia. Toh, skandal banyak di negeri kita. Satu atau dua tim khusus yang dibebaskan dari liputan harian, akan menanganinya. Kucontohkan juga apa yang pernah kami lakukan di majalah ‘D&R’.

Setelah mengajukan beberapa pertanyaan tambahan dan memastikan ini-itu, mendadak ia tersenyum dan manggut-manggut. “Kapan bisa bergabung? Mulai besok?”

Seketika aku gelapan. Aku mencarikan jawaban yang enak di kupingnya.

“’Pengennya sih secepatnya. Tapi saya masih harus ke Timor-Timur. Saya terikat kontrak dengan The Asia Foundation sebagai konsultan mereka.”

Kujelaskan pekerjaanku di negeri yang baru saja merdeka itu yakni melatih dan memandu jurnalis muda di Dili dan Oecusse; mereka pengelola majalah ‘Lian Maubere’ dan buletin ‘Tolas’.

Sebaik kukatakan kontrak itu harus kujalankan segera, ia sempat terdiam dan menatap mataku dengan tajam. Dia lantas menawarkan jalan tengah seusai menghela nafas panjang.

“Sepulang dari Timtim secepatnya saja bergabung dengan kita. Tapi selama di sana kirimlah berita tentang apa saja; Anda menjadi koresponden kami di sana.”

Aku mengiyakan usul yang kuanggap menarik itu. “Sekali lagi, nanti kalau sudah pulang, cepat bergabung ya… biar kita bangun tim investigasi itu.”

Aku kemudian bertolak ke Timor Leste. Seperti kujanjikan, kubuat liputan mendalam tentang perkembangan kehidupan keseharian di sana, terlebih yang bersisi budaya, politik, dan ekonomi. Laporan berjudul ‘Timor Lorosa’e dan Warna Indonesia’, ‘Hegemoni Fretilin dan Kartu ‘Truf’ Xanana’, ‘De-Indonesia-nisasi yang Tergesa’, serta ‘Mobil murah dan Pesona ‘Kosmopolit’ kukirim, dan ‘Sinar Harapan’ memuatnya. Honornya tak kuurus sampai hari ini.

Kebersamaan yang indah dengan para jurnalis pemula yang serba belia-haus belajar serta dinamika kehidupan yang sangat menarik di Timor Leste ternyata telah menyita perhatian dan waktuku sehingga aku tak sempat lagi berkontribusi ke ‘Sinar Harapan’.

Setelah pergi-pulang beberapa kali, tugasku di Timor Leste akhirnya berakhir. Aku balik ke Jakarta dengan hasrat yang sudah sangat menipis untuk kembali menjadi karyawan.

Terlanjut kureguk kehidupan merdeka setelah bertahun-tahun menjadi wartawan organik. Untuk seterusnya aku lebih menikmati kehidupan sebagai pengajar dan penulis lepas. Kesepakatan dengan Bang Tides dengan sendirinya kuabaikan. Pada sisi lain, dia atau anak buahnya pun tak pernah mengontakku.

Jauh hari belakangan aku bersua dengan dia di sebuah acara. Begitu aku menjambangi dan mengulurkan tangan, ia berujar. “Eh, katanya mau bergabung. Kok nggak muncul-muncul…”

Alasan pemaaf kusampaikan semeyakinkan mungkin. Intinya, kontrakku di Timor Leste ternyata diperpanjang beberapa kali sebelum aku berpaling ke pekerjaan lain.

“Oh, begitu…” demikian jawaban dia. Senyumnya pudar dalam hitungan detik. Kukira ia bisa menangkap kemerosotan minatku pada proyek liputan investigasi yang pernah kuajukan dengan bersemangat.

Kami berdua masih beberapa kali bertemu, sesudahnya. Bertukar kata tetap kami lakukan. Cuma, seperti tak pernah ada, wacana tentang membangun tim hebat seperti yang pernah dipimpinnya dan diteruskan Bang Panda, tak kami percakapkan lagi. Sudah tak sedap memang menyinggung apalagi membincangkannya karena ‘ngomong doang’. Ada juga perasaan bersalah di hati ini

TIM KHUSUS ‘SINAR HARAPAN’

Saat kami, anak-anak SMP, berkebaktian pada suatu Minggu malam di HKBP Parapat, pengumuman penting disampaikan ‘parhangir’ [guru jemaat.]

“Seorang penulis terkenal dari Jakarta akan bicara di sini pada kebaktian Minggu malam mendatang. Kalian akan rugi kalau sampai tidak mendengar dia berbagi pengalaman tentang tulis-menulis,” ucapnya dengan gairah yang dilepaskan. Laksana penyastra saja dia!

Seketika aku terprovokasi oleh sang guru jemaat. Betapa tidak? Seorang novelis ternama dari Ibukota akan berbagi cerita tentang proses kreatifnya. Ajangnya, Parapat, kota kecil kami yang terletak di bibir Danau Toba. Sebagai remaja yang dahaga akan hal-hal baru, tak sabar aku menanti persitiwa.

Seperti yang diumumkan ‘parhangir’, penulis itu memang hadir sesuai jadwal. Perempuan berambut panjang dan berkacamata tebal, rupanya. Ia mengenalkan diri sebagai Henriette Marianne Katoppo, lulusan Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta yang akhirnya memilih menulis sebagai jalan hidup.

Dengan takzim kuikuti setiap kata yang keluar dari mulutnya meski terkadang sulit juga kucerna. Di antara semua ujarannya, yang menempel di otakku sampai sekarang adalah: masih sangat sedikit penulis Indonesia, terutama yang perempuan, padahal negeri kita sangat membutuhkannya demi keberbudayaan.

Baru di malam yang dingin itulah aku mendengar nama ‘Marianne Katoppo’. Pertanyaan yang muncul di benakku, saat menyimak ujarannya di depan jemaat HKBP Parapat kala itu yang umumnya kaum muda adalah: masih berkerabatkan dia dengan Aristides Katoppo?

Ayahku sejak lama rutin membaca koran. Di rumah di Siburakburak, kami berlangganan ‘Sinar Harapan’ edisi Sumatra Utara, sebelum digantikan oleh harian yang didirikan awaknya (GM Panggabean) ‘Sinar Indonesia Baru’ (SIB).

Terpengaruh ayah, kami sejak kecil terbiasa melahap berita, bahkan berebutan sampai terkadang bertengkar karenanya. Sebab itulah aku sendiri, sewaktu masih bersekolah di SD pun, sudah akrab dengan nama HG Rorimpandey, JCT Simorangkir, Sudarjo, Aristides Katoppo, Subekti, Panda Nababan, dan yang lain. Mereka adalah pengasuh koran sore Jakarta terkemuka yang terbit sejak 27 April 1961.

Meski sejak awal tahun 1970-an sudah mendengar nama Aristide Katoppo, persuaanku dengan dia baru jauh belakangan berlangsung.

Di tahun 1990 jurnalis kawakan yang pernah menjadi koresponden suratkabar ‘The New York Times’ dan kantor berita ‘Associated Press’ tersebut hadir di Yogyakarta. Ia menjadi pemateri bagi kami yang sedang belajar di Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y). Saat itulah aku akhirnya bermuka-muka dengan kakak kandung 2 Katoppo penulis: Marianne dan Jossi.

Berdiri tahun 1977, LP3Y dipimpin novelis-dosen Ashadi. Program yang kami—termasuk 5 wartawan senior ‘Suara Pembaruan’: Putu Suarthama, Estu Praptomo, Histori Simbolon, Salmon Pasaribu, dan Mike Wangge—jalani di sana 6 bulan. Pengajar tamunya adalah lingkungan pergaulan Bang Ashadi yang unsurnya termasuk Umar Kayam, Loekman Soetrisno, Dibyo Prabowo (ekonom), Goenawan Mohamad, Aristides Katoppo, Slamet Djabarudi (redaktur bahasa majalah ‘Tempo’), Masmimar Mangiang, Hotman Siahaan, dan Saur Hutabarat.

Kelak, di tahun 1994, Aristides Katoppo, Ashadi Siregar, dan Goenawan Mohamad bersekutu kembali yakni saat mendirikan Institut Stusi Arus Informasi (ISAI). Di markas mereka di dekat Kedai Tempo, Utan Kayu, Jakarta, sesekali aku melihat dan menyapa Bang Tides.

Aristides dan Goenawan Mohamad bertaut secara khusus, sejak lama. Tampaknya lingkaran ke-PSI-an (Partai Sosialis Indonesia-nya Sutan Syahrir) ikut mempertalikan. Saat penandatangan Deklarasi Sirnagalih (proklamasi keberdirian Aliansi Jurnalis Independen—AJI) di Cipayung, Jawa Barat, pada pagi 7 Agustus 1994, keduanya terlibat, seperti halnya sobat mereka: Arief Budiman, dan kami. Adapun sahabat mereka lainnya, Marsillam Simanjuntak, ia sudah pulang malamnya akibat sebuah insiden kecil.

Kendati terbilang cukup acap bertemu, aku tak sampai dekat betul dengan Bang Tides, jurnalis yang sama hebatnya baik sebagai jurnalis maupun pecinta alam. Dua dunia ini pernah dipertautkannya dengan mulus lewat majalah bermutu bernama ‘Mutiara’. Sebagai wartawan, ia tak sembarang. Di ranah liputan penyelidikan (investigas), dia kampiun.

Ihwal kehebatannya sebagai wartawan investigasi baru kusadari saat kami mengerjakan buku ihwal perjalanan jurnalistik Bang Panda Nababan. Kala itu Imran Hasibuan (Ucok) dan aku berkesempatan mewawancarai sejumlah saksi sejarah termasuk Bang Daud Sinyal dan Bang Panda sendiri. Di kitab ‘Jurnalisme Investigasi Panda Nababan—Menembus Fakta’ (Februari 2009) hal tersebut kami kisahkan meski selintas (kelak aku akan menceritakannya lebih lengkap).

Berkat laporan investigasi tim yang dikomandoi Bang Tides, di tahun 1970-an ‘Sinar Harapan’ pernah menjadi harian terbaik di negeri kita. Saingan mereka di masa itu hanya koran ‘Indonesia Raya’-nya Pak Mochtar Lubis yang oplahnya lebih kecil. Aristides Katoppo-lah perintis Tim Khusus yang rutin menyuguhkan laporan penyidikan yang bermutu. Tapi karena suguhan yang berkelas itu juga akhirnya dirinya tersandung dan terlempar dari orbit redaksi ‘Sinar Harapan’.

Di edisi 30 Desember 1972 ‘Sinar Harapan’ menurunkan berita ihwal APBN 1973/1974 sebagai sajian utama halaman 1. Dianggap lancang (karena di masa itu pantang mendahului Presiden Soeharto) suratkabar ini pun dibredel. Selang 10 hari kemudian mereka boleh terbit lagi setelah mematuhi syarat: Aristides dipecat sebagai redaktur pelaksana.

Setelah tak berada lagi di posisi yang didudukinya sejak 1968, untuk seterusnya ia bergiat sebagai Asisten Pemimpin Umum ‘Sinar Harapan’ dan Wakil Pemimpin Umum majalah ‘Mutiara’, selain menjadi Direktur penerbit PT Sinar Kasih yang masih satu kelompok. Ia juga giat mengajar jurnalistik di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS) Universitas Indonesia. Di UI, ia dulu belajar di Fakultas Hukum tapi tak sampai kelar.

Selepas bredel di penghujung 1972, berita penyidikan masih menjadi andalah ‘Sinar Harapan’. Orang yang dulu direkrutnya dari koran tentara ‘Warta Bhakti’ dan dimasukkannya kemudian ke Tim Khusus, Panda Nababan, yang menggantikan dirinya sebagai jenderal investigasi.

‘Sinar Harapan’ berkali-kali terkena ranjau bredel; yang di akhir 1972 adalah yang kesekian kali. Begitupun, terbitan ini tetap selamat. Pada Rabu 8 Oktober 1986 mereka tersandung lagi. Kali itu ternyata sudah tak tertolong.

Berita mereka hari itu, ‘Pemerintah akan Cabut 44 SK Tata Niaga di Bidang Impor’, membuat penguasa Orde Baru murka kembali. Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut Menteri Penerangan Harmoko sehingga suratkabar yang berusia 25 tahun dan bertiras 200.000 eksemplar (tertinggi di Indonesia) tak boleh terbit lagi.

Setelah lobi yang intens, sikap penguasa akhirnya melunak. Lima bulan setelah pembredelan, pemerintah menyetujui kehadiran ‘Suara Pembaruan’ sebagai pengganti ‘Sinar Harapan’. Syaratnya tentu ada, antara lain: 3 petinggi ‘Sinar Harapan’: HG Rorimpandey (Pemimpin Umum), Subagyo Pr (Pemimpin Redaksi), dan Aristides katoppo (Wakil Pemimpin Perusahaan) tak boleh lagi terlibat di sana.

‘Suara Pembaruan’ terbit untuk kali pertama pada 4 Februari 1987. Pemimpin Redaksinya adalah mantan rector Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, yang pernah menjadi korektor di saat ‘Sinar Harapan’ baru terbit tahun 1961: Dr. Sutarno.

Sejarah memerlihatkan bahwa koran yang tetap berkantor di tempat yang sama (Jl. Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur) ini berbeda dari yang digantikannya. Kelugasan, keterusterangan, kelengkapan, kedalaman berita, dan penyingkapan skandal sudah tidak diprioritaskannya lagi. Jalur kompromi yang ditempuhnya karena jera didera pemberangus. HG Rorimpandey, Aristides Katoppo, dan eksponen lain tentulah tak puas. Tapi, apa daya?

Rezim Jenderal Soeharto akhirnya tumbang, Mei 1998. Pada 2 Juli 2001 ‘Sinar Harapan’ kembali mengada. Bidannya adalah HG Rorimpandey, Aristides, Katoppo, Pramono, Peter A. Rohi, Kristanto Hartadi, dkk. Yang menjadi Pemimpin Umum merangkap Pemimpin Redaksi adalah Bang Tides. Wakil Pemimpin Redaksi-nya Pramono (kartunis) dan Krisitanto Hartadi.

Belakangan, ‘Sinar Harapan’ limbung seperti media lainnya yang dihantam disrupsi. Begitupun, Aristides Katoppo tetap memperjuangkannya sebisanya. Ia tak meloncat ke sekoci untuk menyelamatkan diri dan membiarkan perahu yang dulu pernah sangat berjaya tenggelam dan karam.

Nyata, Bang Tides adalah sosok yang luar biasa. Tak hanya wartawan yang menyuguhkan karya-karya investigasi serta pecinta alam yang memberi warna pada banyak kelompok (terutama Mapala UI), dia. Sobat Soe Hok Gie dan Idham Lubis (keduanya tewas akibat gas beracun dalam pendakian Gunung Semeru pada 1969) ini juga aktivis sejati. Sangat memerhatikan kaum muda yang hirau politik, lebih banyak bermain di balik layar, dia.

“Anak-anak gerakan di tahun 1980-an itu banyak yang dibantu Bang Tides. Kami yang giat mengadvokasi warga Kedung Ombo, misalnya, diberinya Rp 500 ribu untuk perjuangan,” kenang Stanley Adi Prasetyo. Kami bercakap di Balikpapan, Kalimantan Timur, tadi.

Bang Tides berjejaring luas. Dengan para jenderal pun ia berkawan. Majalah ‘Teknologi dan Strategi Militer’ (TSM), misalnya, merupakan buah kerjasama mereka. Begitupun sikap krititisnya ke kaum serdadu yang lalim tak kurang.

“Para jenderal-lah yang membuat dia terlempar dari sidang redaksi ‘Sinar Harapan’, dulu,” lanjut Stanley yang pernah menjadi Ketua Komnas HAM dan Ketua Dewan Pers.

“Bang Tides sangat berani dan merupakan aktivis sejati. Tapi dia nggak suka menonjolkan diri. Di situlah kehebatan dirinya,” kata Nezar Patria. Pemimpin Redaksi ‘The Jakarta Post’ ini ikut bercakap dengan Stanley dan aku di Balikpapan, tadi.

Sosok yang sangat istimewa memang Aristides Katoppo, wartawan yang pernah belajar di 2 universitas terbaik sejagat: Princeton (jurnalisme) dan Harvard (HAM). Sebab itulah banyak yang berkabung akibat keberpulangan putra Elvianus Katoppo—pejuang kemerdekaan yang juga ahli bahasa Indonesia—2 hari lalu.

Aku termasuk yang merasa sangat kehilangan. Untuk mengenang lelaki kelahiran Tomohon, Minahasa, pada 14 Maret 1938, yang agak gempal dan selalu bargaya kasual, tulisan ini pun kubuat sejak tadi malam hingga siang ini di lintasan Bogor-Balikpapan.

Jenazahnya dikremasikan dan abunya ditebarkan di tempat yang sangat dicintainya: alam. Beristirahatlah dalam damai, duhai Bang Tides yang selalu hangat dan pemurah meski terkadang bisa berucap ‘pedes’.

BACA JUGA Generasi K (Keminter dan Karatan) Harusnya Berkaca Dulu Sebelum Nyinyiri Aksi Mahasiswa atau tulisan P Hasudungan Sirait lainnya. Follow Facebook  P Hasudungan Sirait.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version