Kemarin tepatnya pada 21 Maret 2021, Nawal El Saadawi, seorang tokoh feminisme dari Mesir yang sangat terkenal dengan keberanian, tajam pikirannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender telah meninggalkan kita semua. Ia meninggal dalam usia 89 tahun. Namun, meski begitu, karyanya yang sangat populer dengan feminisme tetap hidup dan banyak digunakan untuk diskusi dalam forum-forum formal maupun non formal.
Saya pernah membaca novel Nawal El Saadawi berjudul Perempuan di Titik Nol yang mengisahkan tentang sebuah perjalanan seorang gadis yang bernama Firdaus. Firdaus hidup di bawah kekuasaan patriarki di Mesir. Sekilas yang saya dapatkan dari novel ini adalah mempertontonkan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual pada seorang perempuan. Hingga perempuan tersebut memilih hidup bebas sebagai pelacur dibandingkan jadi istri yang diperbudak.
Firdaus tumbuh jadi remaja yang ingin seperti pamannya: bisa belajar di Kairo. Namun, pamannya mengatakan bahwa El Azhar hanya diperuntukkan untuk laki-laki. Dalam kebudayaan Arab dulu memandang bahwa perempuan adalah sisi gelap kehidupan. Oleh karena itu, perempuan yang seolah menjadi kelas kedua menjadi inferior.
Nawal El Saadawi melalui novel Perempuan di Titik Nol, memang menguak sisi gelap laki-laki yang selalu ingin jadi nomor satu dalam segala hal. Lantas mereka memperlakukan perempuan dengan seenaknya karena dianggap lemah. Dari kecil, Firdaus sudah sering mengalami kekerasan seksual. Saat tinggal bersama pamannya pun, kejadian kekerasan seksual sering terjadi saat ada kesempatan dan waktu yang tepat. Namun, saat istri pamannya mengetahui kalau suaminya sedang menggoda Firdaus, ia justru tidak segan memukul Firdaus.
Hingga suatu hari, Firdaus dinikahkan dengan Syekh Mahmoud, seorang lelaki tua yang kaya raya. Bukannya mendapatkan perlindungan, ia justru mendapatkan perlakuan kasar berulang kali dari suaminya. Suaminya melakukan ini karena Firdaus adalah seorang perempuan dan istri, jadi dia menganggap bisa memperlakukan Firdaus dengan seenaknya.
Lantaran terlalu sering mendapatkan kekerasan, akhirnya ia memilih jadi seorang pelacur sebagai profesi. Pasalnya, dengan profesi ini ia lebih memiliki kebebasan dibandingkan jadi istri yang justru diperbudak oleh suaminya sendiri. Ia pun mulai melacur dari kelas-kelas bawah sampai hotel-hotel mewah dengan lelaki yang punya banyak uang.
Menurut saya, paling tidak ada dua alasan kenapa novel mungil dengan gambar wanita yang tertunduk tak berdaya itu diberi judul Perempuan di Titik Nol. Pertama, karena isi dari buku itu benar-benar memposisikan seorang perempuan yang hanya sebagai pemuas hawa nafsu laki-laki. Entah itu yang masih dalam lingkup keluarga, teman kerja, ataupun orang yang memang niatnya hanya mencari kepuasan seksual. Kedua, novel ini mengisahkan bahwa seorang perempuan adalah makhluk yang tidak berdaya. Ia dituntut dan dipaksa untuk selalu mengiyakan semua perkataan laki-laki.
Novel Perempuan di Titik Nol hanyalah satu dari sekian banyak karya Nawal El Sadaawi yang sama-sama memiliki rasa dan semangat untuk berjuang demi keadilan perempuan dan HAM. Nawal El Saadawi memang sudah tiada. Tentu ini menjadi duka bagi kita yang tengah berjuang di jalan yang sama. Namun, semangat juang beliau yang masih dapat terus dikobarkan melalui buku-bukunya, menjadi alasan untuk kita tetap menyalakan api bahwa tidak ada manusia kelas kedua. Tidak ada manusia yang berhak untuk menindas manusia lainnya.
Sumber Gambar: YouTube Cunytv75
BACA JUGA Iklim Intimidatif Media Sosial Bikin Saya Takut Dicap Feminis dan tulisan Dewi Widyawati lainnya.