Mengenang Kol Kota, Angkutan Kota Purwokerto di Masa Jayanya

Mengenang Kol Kota, Angkutan Kota Purwokerto di Masa Jayanya

Mengenang Kol Kota, Angkutan Kota Purwokerto di Masa Jayanya (unsplash.com)

Kenangan apa yang kamu ingat soal kol kota Purwokerto?

Sebagai orang asli Purwokerto yang kebetulan tidak bisa naik motor, angkutan kota alias angkot adalah jalan ninja saya ketika bepergian ke mana-mana. Sejak SMP sampai dengan menginjak bangku universitas, angkot inilah yang mengantar saya sekolah, kuliah, belanja ke supermarket atau sekadar jajan milkshake di Jalan Kesatrian.

Angkot ini biasa kami sebut kol kota. Ngekol adalah istilah yang umum dipakai untuk menaiki angkot menuju tempat tujuan tertentu.

3 Macam kol kota Purwokerto dengan warna berbeda

Kol kota di Purwokerto ada tiga macam dengan warna yang berbeda. Warna oranye adalah yang paling umum ditemukan dan rutenya paling bervariasi. Ada juga warna kuning khusus jalur Notog-Pasar Wage dan warna hijau khusus rute lokawisata Baturaden.

Saya biasa menggunakan kol kota warna oranye. Perbedaan rute bisa dilihat dari kode huruf dan angka yang tertempel di papan kayu pada bagian atapnya. Ada A1, A2, B1, B2, dan seterusnya sampai O1 dan O2.

Kol kota langganan saya adalah yang paling keren karena mirip mobil balap, yaitu F1. Kode ini melayani rute Pasar Patikraja hingga Kebondalem. Kol F1 terkenal sebagai yang paling jarang ada karena memang rute yang ditempuh cukup jauh. Sekalinya ada, hampir pasti penuh sesak terutama di peak hour seperti jam pulang sekolah.

Kenangan saya akan kol kota Purwokerto ini berawal dari kebiasaan belanja bulanan di Rita Kebondalem bersama almarhumah Mama. Kami akan menunggu kol F1 di pinggir jalan pada pagi hari. Kalau beruntung, kami masih bisa duduk di kursi panjang yang empuk. Kalau tidak, kami harus berjejalan di dingklik yang diletakkan di lantai.

Jadi transportasi andalan para siswa di Purwokerto

Saat memasuki bangku SMP di tahun 2006, kol kota Purwokerto kembali menjadi transportasi andalan. Sekolah saya ada di Jalan Gereja yang kebetulan dilewati oleh kol F1. Perjalanan berangkat tidak terlalu menantang, tapi perjalanan pulang itu lain cerita.

Jam pulang sekolah selalu jadi lautan manusia. Ada total 4 sekolah di Jalan Gereja. Bayangkan berapa banyak siswa-siswi yang keluar bersamaan dan juga mobil serta motor jemputan yang turut memenuhi jalan. Saya tidak hanya harus berjejalan dengan banyak orang tapi juga berharap keberuntungan kalau masih ada bangku kosong dalam kol F1 (ingat, F1 ini kol yang paling jarang ada). Duduk di pintu seperti kondektur bukan hal baru bagi saya.

Biasanya, saya dan beberapa orang teman memutuskan untuk berjalan kaki sampai ke depan SMAN 2 di Jalan Jenderal Gatot Subroto yang kira-kira 650 meter jauhnya. Tujuannya supaya kami bisa menunggu kol kota dengan lebih leluasa di sana. Pandangan sopir juga tidak akan terhalang mobil-mobil jemputan yang berjejer. Biar sopirnya bisa lihat kalau kami sedang melambai-lambaikan tangan meminta berhenti.

Bisa ditebak, saya hampir selalu jadi anak dalam rombongan yang terakhir pulang. Teman-teman saya kebanyakan naik A1, E1 atau J1 yang cukup sering melintas. Hanya keajaiban yang membuat saya bisa pulang lebih dulu.

Jadi moda transportasi favorit karena ongkosnyaa murah

Beranjak SMA, saya masih mengandalkan kol kota Purwokerto. Sekolah saya waktu itu berada di Jalan Overste Isdiman yang berdekatan dengan Kebondalem. Kol F1 tidak mengantar saya persis sampai di depan sekolah, jadi saya harus berjalan kaki lagi kira-kira 200 meter.

Kecuali jika saya beruntung bisa naik kol B1 jurusan Pabuaran di pagi harinya, kol ini akan berhenti persis di depan sekolah. Kok bisa ada kol B1 di rute F1? Hal ini wajar karena ada beberapa kol jurusan lain yang berangkat dari rumah pemiliknya di Patikraja.

Sampai ketika saya kuliah di Unsoed, kol kota masih jadi moda transportasi favorit. Khusus di jenjang ini saya harus naik kol 2 kali untuk perjalanan pulang dan pergi. Pertama, naik F1 sampai Kebondalem lalu lanjut B1 ke Unsoed. Kuliah pagi selalu jadi favorit karena saya bisa naik B1 langsung dari rumah menuju kampus.

Ongkos kol kota Purwokerto ini sangat terjangkau. Hanya Rp2.000 saja untuk perjalanan dari rumah menuju sekolah dan sebaliknya. Tarif ini naik menjadi Rp3.000 saat saya SMA dan Rp4.000 khusus untuk kol B1 yang langsung menuju Unsoed di pagi hari.

Tidak heran jika di masa jayanya, kol kota menjadi moda transportasi favorit dan andalan banyak orang. Rutenya yang bervariasi dan tarif yang murah membuatnya jadi pilihan utama saat warga Purwokerto hendak bepergian.

Kol kota jadi langka sejak ada ojek online di Purwokerto

Popularitas kol kota perlahan menurun sejak ojek online mulai masuk ke Purwokerto. Memang tidak langsung turun drastis karena keberadaan ojek online pun tidak serta merta diterima sepenuhnya. Namun lambat laun, mulai terlihat pengurangan jumlah penumpang hingga banyaknya kol kota yang mengaspal di jalanan.

Kol kota sekarang jadi barang langka di Purwokerto. Kalaupun ada 1 atau 2 kendaraan berwarna oranye ini muncul di jalanan, ia akan tampak tanpa papan balok kayu penanda kode rute. Biasanya papan penanda rute ini sengaja diturunkan jika kol itu memang dicarter atau dipesan khusus oleh sekelompok orang menuju lokasi tertentu.

Ojek online memang bisa mengantar penumpang dengan lebih cepat, tanpa ngetem, bisa dipesan kapan saja dan akan mengantar persis sampai lokasi. Jelas berbeda dengan kol kota Puwokerto yang mengharuskan penggunanya turut bersabar menunggu penumpang, sudah berhenti beroperasi di atas jam 5 sore dan tidak bisa mengantar sampai depan pintu rumah.

Namun dari segi tarif, ojek online masih kalah dari kol kota. Perjalanan dari rumah saya di Patikraja menuju Kebondalem, misalnya, dengan kol kota hanya berbiaya Rp4.000. Beda jauh dengan tarif ojek online yang menyentuh Rp22.000. Dikurangi aneka diskon dan voucher aplikasi mentok hanya Rp18.000.

Tinggal cerita

Kol kota sekarang hanya tinggal kenangan. Ada kenangan manis saat berhasil mendapat tempat duduk di kursi pojok dekat jendela dan angin sepoi-sepoi berhembus menerpa wajah. Ada kenangan pahit saat harus menunggu kol ngetem hampir sejam di Kebondalem, bertemu penumpang yang membuat kesal hingga sopir yang judes.

Bagi warga Purwokerto yang pernah menggunakan moda transportasi ini, kol kota adalah bagian dari Purwokerto, bahkan walau sekarang ia hanya tinggal cerita. Kol kota sempat jadi aspek penting dalam kehidupan sehari-hari yang tak terpisahkan dan akan selalu dikenang.

Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Baturraden, Patikraja, Kedungbanteng: Kecamatan di Banyumas yang Lebih Nyaman Dibanding Purwokerto yang Makin Sesak.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version