Apa yang kalian bayangkan ketika mendengar kata “akuntansi”? Sederet angka dengan banyak nol dan beberapa angka di belakang koma? Lajur-lajur biaya, laporan laba rugi, neraca, dan laporan perubahan modal? Atau langsung terlintas kata investor, debitur, kreditur, pajak, dan sejenisnya? Sekarang, apa yang kalian bayangkan ketika mendengar kata “profesi akuntan”? Sosok yang rapi, cakep, teliti, duduk di belakang meja dengan jidat berkerut, memandangi komputer bersama kalkulator dan setumpuk kertas? Atau kalian langsung terbayang dengan meeting keren yang membahas soal duit gede?
Ya, itulah yang saya bayangkan saat duduk di bangku kuliah jurusan akuntansi. Bayangan-bayangan profesi akuntan seperti itulah yang membuat saya serius mempelajari alur sistem akuntansi, cermat menghitung harga pokok, hingga meneliti laporan keuangan di mata kuliah auditing.
Namun, pernahkah kalian membayangkan bahwa profesi akuntan itu juga bertaruh nyawa? Saya akan menceritakan beberapa pengalaman saya.
Seperti banyak mahasiswa akuntansi lainnya yang sudah bekerja ketika berada pada semester enam ke atas, saya pun demikian. Dan setelah beberapa tahun malang melintang di dunia kerja yang adem ayem, saya terdampar di sebuah perusahaan valas. Perusahaan ini bergerak dalam bidang jual beli mata uang asing dan transfer dana dari dan ke luar negeri. Perusahaan ini bertransaksi layaknya bank, istilah gangsternya adalah black market.
Banyak orang senang melakukan transaksi di pasar uang gelap ini. Secara ekonomi, keuntungan yang mereka dapatkan dibandingkan melakukan transaksi di bank adalah kurs yang lebih rendah dan tidak adanya biaya administrasi.
Risiko melakukan transaksi uang sudah jelas sangat besar, tetapi mereka tetap melakukan transaksi di pasar gelap ini, hanya atas dasar kepercayaan. Bila uang mereka “dimakan” di pasar gelap, boro-boro bisa kembali, jejak pun tak pasti. Transaksi atas dasar kepercayaan ini juga bukan transaksi kaleng-kaleng, tetapi dengan nilai ratusan juta di setiap kali transaksi. Dengan kata lain, hanya atas azas kepercayaan saja transaksi berjalan di pasar gelap dan uang ratusan miliar berputar setiap hari.
Uang dolar berpindah tangan dari satu lokasi ke lokasi lain dengan cara manual dan tradisional, dibawa oleh kurir dengan menggunakan motor. Membawa uang ribuan US dolar hanya bermodalkan ransel dan motor dilakukan setiap hari. Riskan? Sangat! Walau deg-deg ser, transaksi terus dilakukan dan bertahan sampai puluhan tahun. Selama bekerja di pasar uang gelap tersebut, beberapa kejadian tegang, seru, dan mengerikan sudah saya alami.
Suatu ketika sekitar jam makan siang, tiba-tiba kurir kami yang sudah sepuh datang sambil menangis, berjalan lemas dipapah oleh teman dari bagian keuangan. Rupanya kurir dan teman kami dari bagian keuangan tersebut ditipu oleh pembeli dolar yang melarikan diri dari pintu belakang ruko tempat terjadinya transaksi.
Jadi, dua orang teman kami mengantar uang US$ 6,000 kepada seorang pembeli di sebuah ruko. Selesai menghitung dolar, pembeli tersebut pamit ke dalam mengambil rupiah. Beberapa lama ditunggu, si pembeli tidak muncul, teman-teman kami curiga dan melongok ke dalam. Dan simsalabim! Di dalam ruko tidak ada satu pun orang maupun barang, hanya ada pintu belakang. Dua orang teman kami langsung lemas, bahkan kurir kami yang sepuh dan memiliki darah tinggi sempat pingsan di tempat.
Satu orang kurir dan seorang staf bagian keuangan kami juga pernah ditembak di atas motor ketika mengantar dolar ke pembeli. Beruntung tembakan meleset sama sekali. Keberuntungan yang luar biasa menurut saya, mengingat satu minggu sebelumnya seorang kurir dari perusahaan sahabat ditembak di atas motor dan nyawanya tak tertolong. Sedih dan ngeri memang, tapi hati harus kuat dan ikhlas karena perdagangan harus tetap berjalan.
Ditipu dengan tipuan paling pasaran juga pernah kami alami. Modusnya pembayaran menggunakan struk ATM palsu! Pembeli membeli S$ 2,000. Sepakat dengan kursnya, pembeli pamit melakukan transfer dan datang kembali membawa struk bukti pembayaran. Dolar Singapura berpindah tangan, pembeli pergi, rekening dicek, tidak ada saldo bertambah. Setelah melakukan crosscheck dengan bank, petugas bank malah berbalik heran dengan model struk yang kami tunjukkan.
Saya juga pernah terjepit di tengah baku lempar dan pukul antara bos dengan seseorang yang tidak mau membayar utang pada kantor kami. Ketika duduk di bangku kuliah, tidak pernah terbayangkan oleh saya bahwa profesi akuntan memiliki risiko pekerjaan yang seberbahaya ini.
Di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, alih-alih mengeluarkan jurus-jurus akuntansi, saya mengeluarkan jurus-jurus kungfu untuk menghindari serangan-serangan botol dan kaleng minuman antara bos dan si pengutang. Kami dibekingi tukang pukul. Perkelahian berhenti setelah salah seorang tukang pukul menonjok anu si debitur dari bawah meja. Ulu hati saya masih terasa terpilin bila mengingat kejadian itu. Kejadian anu maksudnya, ya.
Kejadian lain yang tak kalah seram adalah ketika saya nyaris kena gendam. Sepulang dari bank membawa gepokan kantung uang dalam amplop coklat, saya berjalan di trotoar sepanjang perkantoran Jalan Sudirman. Tiba-tiba seseorang mencegat saya, menanyakan arah salah satu mal di daerah bundaran HI.
Orang ini bicara dengan logat Melayu, mengaku berasal dari Brunei Darusalam, dan berbicara sambil menyodorkan kartu nama dengan paksa. Satu teknik yang digunakan untuk membanjiri saya dengan banyak informasi dengan tujuan membuat bingung dan lengah, sehingga critical factor terbuka, dan dengan mudah ia memasukkan beberapa sugesti ke dalam pikiran bawah sadar saya. Untungnya saya waspada, menolak kartu nama tersebut sambil berjalan menghampiri security salah satu gedung perkantoran di sana. Saya terlepas dari upaya gendam. Esok harinya tersiar cerita bahwa seorang staf di perusahaan yang berbeda lantai dengan kami terkena gendam di tempat yang sama dan kehilangan uang beberapa juta.
Kejadian epik lagi adalah ketika saya membawa uang pecahan US$ 100 baru yang masih hangat dibungkus plastik sebanyak satu bagasi mobil. Saya hanya berdua sopir kantor mengambil uang cash keras tersebut dan membawanya ke bank untuk disetorkan. Ketika security memeriksa bagasi kami, saya lihat ia menutup bagasi tersebut dengan tangan gemetar. Hahaha… Bohong, deng. Mengingat miliaran uang cash yang saya bawa, saya bersyukur bisa kembali ke kantor dengan tubuh dan kepala masih menyatu.
Pekerjaan akuntan berbahaya lainnya saya lakoni juga ketika bekerja di sebuah hotel. Saat itu, chef kami begitu murka karena beberapa bahan yang diperlukan kru dapur lupa dipesan oleh staf pembelian. Itu terjadi di suatu sore yang sejuk saat saya sedang ngantuk-ngantuknya.
Chef datang ke ruangan akunting dengan membanting pintu. Laku yang sangat berbahaya bagi jantung saya! Chef, dengan wajah sangar, menghampiri teman purchasing kami, menarik kerah bajunya dan memukul telak wajahnya. Pertarungan tidak terlalu mengerikan jika si chef tidak menyematkan pisau di saku baju, atau saya tidak berada persis di sebelahnya. Pertarungan usai setelah beberapa staf engineering yang rata-rata berbadan besar turut melerai.
Jadi, bagi adik-adik yang tengah mempersiapkan diri mengambil jurusan akuntansi dan ingin berprofesi menjadi akuntan nanti, tolong persiapkan juga fisik kalian. Tubuh harus sehat, otot harus kuat, lari harus kencang, belajar bela diri juga tak ada ruginya. Siapa tahu suatu saat dibutuhkan, minimal bisa digunakan untuk memanjat pagar kos ketika pulang lembur.
BACA JUGA Berprofesi Menjadi Makeup Artist Nggak Semudah Itu!