Mengenal Perbedaan Bahasa Mandailing dan Angkola: Mirip tapi Ribet. Terminal Mulok #12

Mengenal Perbedaan Bahasa Mandailing dan Angkola: Mirip tapi Ribet. Terminal Mulok #12 terminal mojok.co

Mengenal Perbedaan Bahasa Mandailing dan Angkola: Mirip tapi Ribet. Terminal Mulok #12 terminal mojok.co

Bahasa Mandailing dan Angkola merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Mandailing dan Angkola yang berada di wilayah paling bawah provinsi Sumatra Utara. Daerah ini meliputi Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Padang Lawas Utara.

Awalnya semua daerah tersebut berada dalam satu kabupaten yang sama, yakni Kabupaten Tapanuli Selatan. Akan tetapi, terjadi pemekaran pada tahun 1998, 2001, dan 2007. Kedekatan geografis dan historis membuat daerah-daerah tersebut memiliki bahasa yang nyaris sama. Perbedaannya hanya terletak pada kata yang berbeda satu dua huruf, logat, dan intonasinya.

Penutur asli bahasa Angkola berdomisili di Kota Padangsidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara. Siregar, Daulay, Pane, Harahap, dan Hasibuan merupakan marga yang mayoritas orang-orangnya mendiami wilayah tersebut dan menjadi penutur asli bahasa Angkola.

Sementara itu, bahasa Mandailing digunakan oleh masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Mandailing Natal. Umumnya mereka yang bermarga Nasution, Lubis, Pulungan pasti berasal dari Mandailing Natal dan menjadi penutur asli bahasa Mandailing.

Sekadar informasi, kebanyakan orang dari suku Mandailing merasa keberatan jika dimasukkan ke dalam subetnis Batak. Sama halnya dengan suku Karo yang juga menolak dan merasa memiliki etnis tersendiri. Orang Mandailing menganggap bahwa nenek moyang mereka tidak sama dengan suku Batak. Nenek moyang suku Batak bermukim di gunung, sedangkan nenek moyang suku Mandailing menetap di dekat pantai. Jika ditelisik lebih jauh, agama merupakan salah satu faktor masyarakat suku Mandailing menolak dan keberatan disebut Batak. Batak selalu identik dengan Kristen sedangkan mayoritas masyarakat Mandailing beragama Islam.

Seharusnya persoalan tersebut tidak menjadi pelik karena meskipun tidak bersaudara satu suku dan agama yang sama, setidaknya bersaudara karena kedekatan daerah, bahasa, dan budaya.

Lantas apa saja perbedaan bahasa Angkola dengan bahasa Mandailing? Berikut paparan perbedaannya.

#1 Kata yang berbeda satu-dua huruf

Bahasa Angkola dan Mandailing nyaris sama persis. Hal tersebut terbukti ketika orang Angkola bertandang ke daerah Mandailing atau sebaliknya, mereka masih bisa berkomunikasi sebagaimana biasanya tanpa mengalami kesulitan apa pun. Hanya saja, mereka yang bertandang akan mudah dikenali asal daerahnya dari kata-kata yang diucapkan.

Perbedaannya terletak pada kata yang berbeda satu dua huruf, yaitu bergantinya suatu konsonan pada suatu kata tetapi tidak mengubah maknanya. Contohnya, kata “tangkas” dalam bahasa Mandailing yang bermakna “jelas”, dalam bahasa Angkola berubah menjadi “takkas” yang juga bermakna “jelas”. Konsonan “ng” pada kata “tangkas” dalam bahasa Mandailing, berganti menjadi konsonan “k” pada kata “takkas” dalam bahasa Angkola.

Contoh lainnya “tingkos” (benar) menjadi “tikkos” (benar), “tangkup” (tangkap) menjadi “takkup” (tangkap), “dangka” (ranting) menjadi “dakka” (ranting), “manungkol” (mengganjal) menjadi “manukkol” (mengganjal). Singkatnya, kata dalam bahasa Mandailing yang apabila konsonan sengau “ng” bertemu konsonan hambat “k” di tengah kata, akan berganti menjadi konsonan “k” dalam bahasa Angkola.

Selain konsonan “ng” yang berubah menjadi konsonan “k”, konsonan “n” juga berubah menjadi konsonan “t”, dan konsonan “m” berubah menjadi konsonan “p”.

Contoh konsonan “n” berubah menjadi konsonan “t”, seperti “nantulang” (bibi) menjadi “nattulang” (bibi), “pantar” (lantai) menjadi “pattar” (lantai), “gincat” (tinggi) menjadi “gitcat” (tinggi), “santabi” (permisi) menjadi “sattabi” (permisi).

Sementara contoh konsonan “m” berubah menjadi konsonan “p”, seperti “ompung” (kakek) menjadi “oppung” (kakek), “parompa” (selendang) menjadi “paroppa” (selendang), “ompot” (cepat) menjadi “oppot” (cepat).

Singkatnya, kata dalam bahasa Mandailing yang apabila konsonan sengau “n” bertemu konsonan hambat “t” di tengah kata, akan berganti menjadi konsonan “t” dalam bahasa Angkola. Begitu juga dengan konsonan sengau “m” yang bertemu konsonan hambat “p” akan berganti menjadi konsonan “p”.

Bagaimana? Nggak ribet tapi ribet, kan?

#2 Logat dan intonasi

Selain kata yang berbeda satu dua huruf, bahasa Angkola dan Mandailing juga berbeda dari segi logat dan intonasi. Logat bahasa Mandailing biasanya seperti orang bernyanyi dan mengaji serta intonasinya cenderung lebih lembut.

Misalnya kalimat, “Nantulang, asi ngara wi-fi nai i?” (Bibi, kenapa wi-fi nya tidak bisa?). Kalimat tersebut diucapkan pelan seperti orang yang bersenandung dengan lembut. Sementara logat bahasa Angkola masyarakat Kota Padangsidempuan dan Tapanuli Selatan cenderung lebih tegas dengan intonasi seperti orang yang marah. Misalnya kalimat, “Bagas do aek on?” (Apakah air ini dalam?). Kalimat tersebut diucapkan secara tegas.

Begitu juga dengan logat bahasa Angkola masyarakat Padang Lawas dan Padang Lawas Utara yang unik karena mendadak panjang dan mendadak cepat. Selain itu, intonasinya kadang tinggi dan kadang rendah. Misalnya kalimat, “Inda boto-botoi!” (Tidak mau tahu). Kalimat tersebut diucapkan inda-boto-boooo-toi.

Bagaimana? Nggak ribet tapi ribet, kan?

Hal unik dari bahasa Angkola dan Mandailing yakni tidak mengenal bahasa yang sopan. Tidak seperti suku Jawa yang sudah dianggap sopan ketika menggunakan kromo inggil saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau terhormat. Sopan tidaknya bahasa Angkola dan Mandailing tergantung panggilan kekerabatan (partuturan) dan intonasi yang digunakan. Tidak peduli apakah bahasa yang digunakan merupakan bahasa Angkola dan Mandailing yang halus seperti yang digunakan di rumah adat atau bahasa kasar yang sering digunakan di lapo tuak, yang penting ada partuturan dalam kata atau kalimat yang diucapkan dan dengan nada yang tidak menantang.

Partuturan yang benar dan intonasi yang tepat menjadi tolok ukur bahasa yang sopan. Namun, ribetnya partuturan dalam suku Angkola dan Mandailing membikin kepala pusing sehingga sering dianggap tidak sopan karena tidak tahu partuturan. Panggilan paman saja ada empat macam yaitu amang uda, amang tua, amang boru, dan tulang. Agar partuturannya benar, kita harus tahu paman tersebut berasal dari pihak ayah atau pihak ibu. Belum lagi ribetnya partuturan berbeda marga dan semakin kacau lagi ketika ayah dan ibu memiliki marga yang sama. Pusinggg…!!!

*Terminal Mulok adalah segmen khusus yang mengulas tentang bahasa dari berbagai daerah di Indonesia dan dibagikan dalam edisi khusus Bulan Bahasa 2021.

BACA JUGA Secara Gramatika, Orang Minang Dituntut Alergi terhadap Huruf ‘R’. Terminal Mulok #10 dan tulisan Alpi Anwar Pulungan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version