Kemistisan Malam Satu Suro Ditakuti Orang Jawa, Tidak Boleh Berpesta hingga Perlu Melakukan Ritual

Mengenal Malam Satu Suro, Malam yang Terkenal Mistis bagi Orang Jawa Mojok.co

Mengenal Malam Satu Suro, Malam yang Terkenal Mistis bagi Orang Jawa (unsplash.com)

Malam satu Suro bukan malam yang biasa, terlebih bagi orang Jawa. Ia memiliki tempat khusus dalam kalender budaya dan spiritual orang Jawa. Momentum ini lebih dari sekadar penanda waktu. Malam ini menyimpan aura magis, penuh kontemplasi, dan dihormati dengan berbagai laku spiritual.

Malam satu Suro menandai pergantian tahun dalam penanggalan Jawa. Apabila dihitung dengan kalender Hijriah, malam satu Suro sebenarnya bertepatan dengan malam 1 Muharram. Lalu, bagaimana malam ini dimaknai oleh orang Jawa?

Malam satu Suro Bukan malam untuk pesta

Perayaan malam satu suro berbeda dengan tahun baru masehi. Tidak ada kembang api atau perayaan besar. Malam satu suro justru dikenal sebagai malam yang sunyi, hening, dan sakral. 

Bagi orang Jawa, malam ini penuh dengan energi gaib. Itu mengapa tidak pantas dirayakan secara besar-besaran. Tidak pantas juga menggelar pesta, pernikahan, atau acara besar lain di momentum ini. Bahkan beberapa keluarga dengan kuat memegang pantangan ini: tidak pindah rumah, tidak memulai usaha baru, dan tidak menikah di bulan Suro.

Kepercayaan ini bukan tanpa alasan. Dalam pandangan kejawen malam Satu Suro adalah waktu di mana tirai antara alam nyata dan alam gaib menjadi sangat tipis. Roh-roh leluhur diyakini lebih dekat dengan dunia manusia. Maka dari itu, kegiatan yang berbau hura-hura dianggap tak selaras dengan suasana batin malam tersebut.

Lebih tepat menghabiskan malam satu Suro dengan tirakat dan introspeksi

Bagi kalangan spiritualis Jawa, malam Satu Suro adalah momentum terbaik untuk melakukan laku tirakat. Mereka akan melakukan ritual spiritual yang melibatkan puasa, tapa (meditasi atau semedi), kungkum (berendam di sungai atau sumber air), hingga ziarah ke makam leluhur. Semua ini dilakukan dalam suasana sunyi. Tujuannya demi membersihkan batin, merenung, dan memohon petunjuk kehidupan kepada Sang Pencipta.

Laku tersebut mencerminkan nilai utama dalam ajaran kejawen. Nilai itu adalah  eling lan waspada. Orang diharapkan untuk selalu ingat kepada Tuhan dan waspada terhadap godaan duniawi. Dalam suasana malam yang hening, seseorang diajak untuk bercermin ke dalam. Mereka perlu melihat kembali perjalanan hidup dan mempersiapkan diri menyongsong tahun baru dengan kesadaran yang lebih tajam.

Keraton dan ritual budaya

Keraton Yogyakarta dan Surakarta, sebagai penjaga budaya Jawa, masih melestarikan berbagai ritual malam Satu Suro. Di Keraton Yogyakarta, misalnya, terdapat tradisi kirab pusaka yang sangat sakral. Pusaka milik keraton akan diarak mengelilingi kawasan keraton oleh abdi dalem yang mengenakan pakaian adat lengkap. Pusaka yang dimaksud ada kereta kencana dan tombak-tombak keramat, 

Prosesi kirab ini bukan sekadar pertunjukan budaya. Bagi yang mempercayainya, pusaka bukan benda mati. Mereka memiliki energi spiritual yang harus “dihidupkan” melalui ritual tersebut. Suasana malam kirab pun biasanya sunyi, tanpa sorak-sorai.  Semua yang hadir memahami bahwa mereka sedang berada dalam momen suci.

Perpaduan Islam dan tradisi lokal

Menariknya, malam Satu Suro juga menjadi contoh bagaimana budaya Jawa dan ajaran Islam berjalan berdampingan. Penanggalan Suro berasal dari kalender Hijriah yang diperkenalkan oleh para wali dan ulama penyebar Islam di Jawa. Namun, dalam praktiknya, makna dan ritual yang dijalankan masih sangat kental dengan filosofi Jawa.

Ini menunjukkan fleksibilitas budaya Jawa yang mampu menyerap unsur-unsur baru tanpa kehilangan jati dirinya. Dalam pandangan sebagian masyarakat Jawa, tidak ada pertentangan antara keyakinan Islam dan penghormatan terhadap tradisi Suro. Keduanya justru saling melengkapi dalam membentuk kehidupan spiritual yang utuh.

Bukan takut, tapi tunduk dan tertunduk

Beberapa orang mungkin menganggap malam satu Suro itu menakutkan, angker, menyeramkan. Padahal, kalau mau mengulik lebih dalam, bukan ketakutan itu yang menjadi poin utamanya. Orang Jawa lebih memaknai pada ajrih atau rasa hormat dan takzim. Makna ini lahir dari kesadaran akan keterbatasan manusia dihadapan kekuatan ilahi dan alam semesta.

Dalam heningnya malam, orang Jawa menemukan ruang untuk tunduk dan tertunduk. Sebuah malam untuk mengendapkan ego, menyelami diri, dan menyambut tahun baru. Mereka tidak merayakannya dengan sorak, tapi dengan doa. Sebuah pelajaran yang mungkin mulai dilupakan oleh dunia yang semakin ramai dan tergesa-gesa.

Dan, bagi mereka yang masih menjunjung tradisi, malam satu Suro bukan tentang mistis semata. Dia adalah malam untuk eling lan waspada. Sebuah malam yang mengajarkan bahwa kehidupan bukan hanya soal langkah ke depan. Namun, juga tentang bagaimana menapak dengan sadar di setiap jejak.

Penulis : S Aji P
Editor : Kenia Intan

BACA JUGA SMP Negeri 7 Bandung: Sekolah Negeri Rasa Pesantren, Terlalu Ikut Campur Urusan Agama Siswanya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version