Ada insiden terjadi pada peringatan Hari Disabilitas Internasional 2021 yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia. Menteri Sosial tercinta kita, Bu Risma, memaksa seorang penyandang Tuli untuk berbicara. Penyandang Tuli tersebut dengan suara semaksimal mungkin berusaha bicara walau terdengar tidak jelas.
Tak berselang lama, seorang perwakilan dari Tuli bernama Stefan maju ke atas panggung, meminta waktu untuk mengoreksi sikap Bu Risma. Alih-alih didengar, Stefan yang belum selesai menjelaskan dipotong perkataannya, Bu Risma justru melakukan pembelaan dengan dalih memaksimalkan pemberian Tuhan. Insiden yang disiarkan langsung lewat kanal YouTube Kementerian Sosial RI ini kemudian menjadi viral di media sosial.
Sungguh ra mashok! Logika dari mana memaksa Tuli untuk berbicara adalah memaksimalkan pemberian Tuhan? Seolah Tuli dituntut untuk dapat berkomunikasi secara verbal. Padahal, Tuli telah memiliki budaya mereka sendiri, salah satunya adalah Bahasa Isyarat Indonesia yang mereka gunakan sehari-hari untuk berkomunikasi.
Jika ingin mengajak berkomunikasi secara verbal, Bu Risma hendaknya bertanya kepada penyandang Tuli untuk berkomunikasi lewat verbal, tulisan, atau bahasa isyarat. Bukan semena-mena memaksa atas dalih memaksimalkan ciptaan Tuhan. Bukankah tangan dan mata yang digunakan untuk berbahasa isyarat juga ciptaan Tuhan ya, Mylov?
Akibat insiden yang dilakukan Bu Risma tersebut, banyak sekali aktivis Tuli yang mengedukasi tentang audism. Hal ini membuat istilah audism menjadi beken. Ternyata di balik insiden tetap ada hikmah, ya. Tapi, apa itu pengertian audism? Yuk baca pelan-pelan artikel ini sampai habis, Mylov.
Apa itu audism?
Audism adalah kepercayaan bahwa orang dengan kemampuan mendengar lebih superior dibanding orang Tuli. Hal ini tentu termasuk diskriminasi kepada penyandang Tuli. Sebenarnya istilah audism sudah ada sejak tahun 1975, istilah tersebut dipakai Tom L. Humphries dalam disertasinya. Orang yang melakukan sikap audism disebut dengan audist.
Tentu sikap audism tersebut tidak menguntungkan bagi penyandang Tuli karena orang dengar dianggap lebih superior. Banyak diskriminasi yang akan terjadi jika audism ini masih tumbuh subur di negeri ini. Cita-cita menyetarakan hak penyandang disabilitas dan non disabilitas bisa jadi isapan jempol belaka jika hal seperti ini tak dicegah sejak awal.
Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang memperkuat sikap audism ini. Bisa jadi beberapa hal ini kita lakukan tanpa sadar lho, Mylov. Beberapa contoh keseharian yang membuat kita menjadi orang audist:
#1 Memaksa Tuli berbicara
Sejak tahun 2017, saya mulai berkenalan dengan Tuli dan bermacam-macam cara mereka berkomunikasi. Ada memang Tuli yang dapat berbicara karena ia tidak Tuli dari lahir, tapi ia mengalami penurunan kemampuan mendengar. Jadi terkadang saya berkomunikasi dengan lisan ditambah isyarat. Namun, saya tidak pernah memaksa harus berkomunikasi dengan cara apa.
Tapi, ketika ada unsur pemaksaan di dalamnya, bahkan menganggap berkomunikasi lewat suara lebih mulia dari pada bahasa isyarat, hal tersebut sudah masuk dalam sikap audism.
#2 Menganggap Tuli bodoh
Jika kamu termasuk orang yang menganggap Tuli itu bodoh dan tidak mampu bekerja layaknya orang dengar, kamu termasuk orang audist. Jika merasa Tuli bodoh, seharusnya sebagai orang yang lebih pintar membantu mereka agar berkembang.
Padahal, banyak sekali Tuli yang pintar. Contohnya ada Adhi Kusumo Bharoto, seorang periset di Laboratorium Riset Bahasa Isyarat (LRBI) Universitas Indonesia (UI). Kemudian Laura Lesmana, Surya Sahetapy, Phieter Angdika, dan Tuli lainnya yang berhasil kuliah di luar negeri, serta banyak Tuli lainnya.
#3 Tidak memberikan akses
Masalah akses ini sebenarnya berhubungan dengan poin kedua. Tuli yang memiliki akses komunikasi, informasi, dan pendidikan tentu akan menjadi Tuli yang terpelajar. Keengganan masyarakat untuk memberikan akses karena merasa, “Halah, Tuli nanti kalau ada apa-apa ikut kita (orang dengar) saja.” menjadikan mereka tidak punya kemampuan untuk tahu akan suatu hal.
Bagaimana kita akan membantu Tuli terliterasi jika tidak dengan akses? Tidak bisa. Akses berupa Juru Bahasa Isyarat serta takarir sangat penting bagi Tuli.
Insiden ini mungkin terjadi karena ketidaktahuan Bu Risma akan budaya Tuli, namun, sangat disayangkan ketika orang wahid di Kementerian Sosial justru bersikap sembrono dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Ketika banyak pejabat unjuk gigi belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang Tuli, e lha kok Menteri Sosialnya malah memaksa Tuli untuk berbicara secara verbal?
Sumber Gambar: Unsplash