Mengapa Saya Tidak Merokok?

merokok

merokok

Beberapa hari ini, pro dan kontra rokok kembali ribut di media sosial. Tapi saya tidak ingin membahas itu. Saya tidak tertarik dan saya tidak mau disebut pro atau kontra. Merokok atau tidak bukan ukuran seseorang itu baik atau jahat. Lagipula, itu adalah hak—kebebasan—setiap orang. Lalu apa urusan saya mengurusi pilihan hidup seseorang? Saya tidak ingin mengurusi privasi—atau ranjang—orang lain. Kali ini, saya ingin membahas diri saya sendiri.

Sebenarnya, sudah lama saya heran terhadap diri saya. Sebab, saya tidak perokok. Bagaimana tidak? Keluarga besar saya adalah perokok. Nenek saya seorang perokok hebat sampai dia masuk liang kubur—umur 84 kalau tidak salah. Hampir semua laki-laki baik dari pihak keluarga bapak maupun ibu juga perokok. Beberapa perempuan dari keluarga ibu juga mengikuti jejak nenek. Bahkan, ibu saya sendiri merokok sampai saya SMP.

Dulu saat masih SD, saya dan adik-adik sering memungut puntung rokok di jalan. Sesampai di rumah, kadang-kadang kami menyalakannya lalu menghisap rokok itu, meniru orang dewasa. Di kesempatan lain, kami membuat rokok dari daun jagung yang sudah kering. Bulu-bulu dari ujung tongkol jagung kami pakai pengganti tembakau. Selain itu, pernah pula dari kertas buku-buku bekas.

Saat SMP, pengalaman saya semakin liar (terserah kalau anda menyebutnya nakal, hehe). Saya dan teman-teman sebaya mulai coba-coba lebih jauh—eksperimen. Kami membeli tembakau, daun aren kering dan alat lintingan. Kami merokok sembunyi-sembunyi di ladang.

Puas dengan rokok lintingan, kami mulai coba-coba rokok yang dijual di warung-warung. Karena anak-anak lumrah disuruh orang tua beli rokok, jadi penjaga warung biasanya tidak curiga. Jadi kami tidak pernah takut. Lagi-lagi, kami merokok di ladang. Kami tidak pernah merokok di sekitar kampung atau di sekolah.

Suatu malam minggu, saya pamit ke orang tua tidur di rumah teman—kampung sebelah. Saat itu saya masih kelas dua SMP. Karena sudah malam—sekitar pukul sembilan, teman mengajak saya menghisap rokok yang sudah dia beli sebelumnya. Awalnya saya takut karena di pinggir jalan, dekat kampung. Dia menyakinkan saya bahwa tidak akan ada orang yang mengenal kami. Saya pun tergiur.

Di luar dugaan, ternyata adik saya—perempuan—lewat dengan temannya entah dari mana. Dia melihat saya merokok. Dan sialnya, dia melapor kepada ibu. (Saat itu, ibu belum berhenti merokok). Saya pun ketakutan setengah mati, tidak bisa tidur nyenyak malam itu.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar saya pulang ke rumah. Saya sudah siap dimarahi oleh ibu. Setiba di rumah, ibu memanggil saya. Katanya kira-kira begini: “Ibu tidak melarangmu merokok. Ibu juga merokok. Tapi kamu masih sekolah. Kalau kamu sudah kuliah dan punya penghasilan sendiri, silakan sebebas-bebasnya merokok. Ibu tidak melarang. Kalau kamu masih ingin sekolah, sabarlah! Jangan merokok dulu. Tapi kalau sudah tidak ingin sekolah, ya tidak apa-apa. Lanjutkan!”

Ibu tidak memarahiku sama sekali. Padahal kalau ibu marah, biasanya satu dua tiga perkakas rumah melayang ke badan. Minimal tanganlah. Tapi hari itu tidak. Sejak hari itu, saya berhenti merokok.

Lalu apa kira-kira yang membuat saya tidak ingin lagi merokok padahal kesempatan sudah ada? Saya tidak yakin yang mana penyebabnya. Saya sempat berpikir, karena saya dibesarkan keluarga perokok maka saya—termasuk adik—merasa biasa-biasa saja sehingga tidak lagi tertarik dengan rokok. Tapi apa benar? Teman saya yang dibesarkan keluarga perokok malah tetap jadi perokok kok.

Saya juga sempat berpikir, jangan-jangan itu karena saya sudah pernah mencoba rokok saat SD dan SMP. Tapi itu pun membuat saya ragu. Soalnya, beberapa teman saya yang sudah menghisap rokok saat kecil, sekarang malah lebih parah.

Oh, jangan-jangan karena ibu tidak melarang atau memarahiku saat itu? Mungkin ibu tanpa sadar sudah melakukan cara yang tepat dalam mendidik anak. Sesudah kuliah saya mulai sadar betapa sulitnya cari uang maka saya tidak mengambil kesempatan—kebebasan—yang sudah diberikan. Saya sadar bahwa setiap rokok yang saya bakar adalah uang. Ah, tapi itupun sepertinya tidak cukup kuat. Teman-teman banyak kok sadar seperti saya, tapi tetap saja merokok.

Lalu apa penyebabnya utamanya? Saya tidak bisa menjawabnya. Saya pikir, saya mungkin tidak tertarik lagi dengan rokok karena banyak faktor. Dalam bahasa fisika disebut resultan. Saya tidak merokok karena resultan dari pikiran, pengetahuan, pengalaman, lingkungan, agama, norma, gaya hidup, kebutuhan dan seterusnya.

Dari permasalahan saya ini, sepertinya hidup memang benar tidak digerakkan oleh satu atau dua faktor—variabel—saja. Jadi, ketika seseorang merokok, sakit, mati, patah hati, atau apapun itu, menurut saya pribadi adalah tidak bijak kalau buru-buru membuat kesimpulan yang didasarkan oleh satu faktor. Sebab, hidup dan segala bentuk persoalannya tidak pernah semudah mulut berkata-kata atau jempol mengetikkan komentar.

Exit mobile version