Menulis ilmiah adalah jantung keberlanjutan studi mahasiswa. Tanpa hal tersebut, mahasiswa bisa “mati” stres ditikam revisi. Tapi, pada faktanya banyak mahasiswa yang tak memiliki jantungnya. Jangan kaget (atau malah sudah tahu?), banyak mahasiswa yang tak punya kemampuan menulis ilmiah.
Penelitian statistik deskriptif dari Nirwana dan Ruspa tahun 2020 menunjukkan bahwa 70 persen mahasiswa informatika di salah satu kampus negeri nggak mampu menulis ilmiah sesuai standar. Oke, datanya memang hanya tentang mahasiswa Informatika. Tapi, saya juga menemukan keluhan yang sama di jurusan lain. Artinya, masalah ini adalah masalah bersama.
Saat masih kuliah, saya menemui banyak kasus perihal menulis ilmiah menjadi persoalan pelik di kalangan mahasiswa. Buntu ide, revisi tulisan tak berkesudahan, dicaci dosen karena tulisan nggak memenuhi kaidah ilmiah, jadi hal-hal yang dihadapi banyak mahasiswa. Selain itu, saat saya menempuh mata kuliah teknik penulisan ilmiah, hanya segelintir mahasiswa saja yang bisa lulus dengan nilai A-, sisanya B dan bahkan banyak yg C (nilai mati).
Pertanyaannya, mengapa demikian? Bagaimana bisa? Bukankah harusnya, mahasiswa bisa menulis, setidaknya setelah menempuh beberapa semester?
Malas baca
Saya tidak akan bilang semua mahasiswa yang tidak bisa menulis itu malas baca. Saya tidak akan gegabah membuat asumsi seperti itu. Tapi, tidak bisa dimungkiri, ya tetap ada yang tak bisa karena jarang membaca karya ilmiah. Jika yang dibaca hanya sedikit, bagaimana bisa memahami bagaimana kaidah penulisan ilmiah yang benar?
Tidak pernah diajari menulis
Saat masuk SMA, siswa jarang dikenalkan dengan karya ilmiah, apalagi dengan kemampuan menulis ilmiah. Siswa hanya dikenalkan dengan bacaan paket untuk menjawab soal ujian pilihan ganda. Nyaris nggak pernah dikenalkan dengan cara menulis yang intinya menghasilkan teks original dari pikirannya sendiri. Alhasil, saat menjadi mahasiswa kikuk tak berdaya menghadapi kenyataan tugas-tugas menulis ilmiah yang bejibun.
Baca halaman selanjutnya