Kalau diibaratkan matematika, cara supaya viral di Indonesia itu nggak ada rumusnya—alias nggak bisa ditebak. Merekam suara klakson telolet bus, membeli cupang, atau joget-joget nggak jelas di TikTok adalah bukti kalau kamu nggak perlu buat sesuatu yang super ribet untuk bisa viral. Karena sejujurnya, algoritma dan selera masyarakat kita di media sosial itu abstrak. Walaupun keberuntungan berperan cukup penting dalam hal ini, sisi kreatif juga nggak bisa dianggap remeh. Semua hal yang viral di media sosial kita tak lepas dari unsur kreatif pelakunya. Misalnya, lagu “Ndasku Mumet Ndasmu Piye?” yang sekarang sedang viral.
“Ndasku Mumet Ndasmu Piye?” merupakan lagu yang diunggah oleh akun YouTube Ewen Channel pada 23 April lalu. Lagu ini mulai viral di media sosial kita seperti Instagram, Twitter, WhatsApp, dll. pada sekitar Agustus. Bahkan hingga kini, potongan video musik lagu ini masih sering berseliweran di timeline media sosial. Sepemahaman saya, lagu ini sebenarnya dibuat Ewen Channel untuk menyambut Ramadhan tahun ini yang bisa dibilang berbeda dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, yakni pandemi Covid-19 yang hadir di Indonesia.
Sejak mengetahui potongan lagu tersebut di akun humor media sosial, saya langsung mencari video penuhnya di Youtube dan akhirnya ketemu. Yang menarik, saya seperti menemukan unsur magis pada lagu ini. Hal itu dibuktikan dengan betahnya saya ketika menontonnya dari awal hingga akhir. Padahal, lagunya bisa dibilang monoton alias gitu-gitu aja. Tidak hanya berhenti di situ, sejak mengetahuinya pada Agustus lalu hingga kini lagu tersebut masih menjadi andalan saya ketika menghadapi kehidupan yang mumet.
Sudah tiga bulan menjadikan “Ndasku Mumet Ndasmu Piye?” sebagai anthem menghilangkan mumet saya dalam menjalani hidup, akhirnya saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Mengapa saya bisa mengandalkan lagu sederhana ini sebagai sarana self-healing? Lalu, apa yang membuat lagu ini viral, padahal dari total durasi lima menit lagu ini hanya memiliki lirik “Ndasku mumet ndasmu piye?” yang diulang secara terus menerus?
Ya, pertanyaan terakhir itu memang jawabannya, kesederhanaan. Ewen Channel (saya nggak tahu nama grup musiknya, kayaknya Mas Ewen ini salah satu personilnya) berhasil menciptakan mahakarya dari sebuah kesederhanaan. Bayangkan, grup musik ini hanya beranggotakan dua orang—atau yang biasa kita sebut duo—dengan jobdesk yang praktis. Bapak-bapak yang kelihatannya lebih tua dari personil satunya menjadi vokalis dan orang yang kelihatan lebih muda ini menjadi personil serba bisa alias memegang organ tunggal yang multifungsi.
Musik videonya juga sederhana, yakni berlatar di depan gazebo yang ada di halaman sekolah. Nggak perlu wardrobe yang sensasional, masing-masing orang ini hanya memakai sarung, baju koko, dan peci putih yang biasa dipakai untuk salat Jumat. Tanpa polesan makeup, tetapi saya melihat bapak-bapak ini memang habis mandi atau ditambahkan bedak tabur agar wajahnya terlihat lebih segar.
Video musik ini sebenarnya bisa dibilang live session juga, karena musik yang dihasilkan sepertinya langsung dari rekaman video musik tersebut. Hanya ada polesan yang dilakukan sound engineer pada proses editing—yang saya prediksi itu dilakukan oleh mas-mas yang memegang organ tunggal. Untuk sinematografi, karena dari awal hingga akhir hanya ada satu shot, saya melihat hanya ada satu kameramen yang merekamnya dengan tripod. Atau bahkan tidak ada sama sekali kameramen dalam video musik tersebut alias grup musik ini memang menggunakan konsep berdikari.
Kualitas lagu? Saya jatuh cinta dengan kesederhanaan yang ada dalam lagu ini. Mas-mas pengendali organ tunggal ini benar-benar memainkan musiknya dengan penuh syahdu. Sepengetahuan saya, nada instrumen yang dipakai dalam lagu ini merupakan nada yang dipakai dalam lagu salawat badar (puji-pujian untuk agama islam). Saya tidak tahu apa ia sudah izin atau belum, tapi kayaknya kalau mau izin juga bingung ke siapa alias instrumen lagu salawat tersebut juga saya nggak tahu siapa yang menciptakan.
Bicara kedalaman lirik, saya melihat vokalis sangat mendalami keberadaan setiap lirik. Baru intro saja, ia sudah menimpal pada instrumen dengan doa “Ya Allah, corona, corona….” yang disertai dengan gestur berdoa dan mimik wajah penuh kepasrahan. Tidak hanya berhenti di situ, pada setiap bagian interlude—yang notabenenya bagian personil lain show off, sang vokalis selalu menyisipkan doa, seperti “Ya Allah, semoga cepat hilang korona, ya Allah….”
Vokalis sangat menghayati lagu. Hal itu dibuktikan dengan pelafalannya yang penuh penghayatan. Mungkin, orang banyak bisa menilai kalau tidak ada yang spesial dari suaranya, tetapi ketulusan dalam menyanyikannya yang menjadikannya nilai lebih. Hal itu juga ditambah dengan gestur-gestur memegang kepala seolah mumet dengan keadaan saat ini. Penghayatan itulah yang membuat lagu “Ndasku Mumet Ndasmu Piye?” seperti relate dengan kemumetan khalayak umum akan menjalani hidup di tahun pandemi.
Lagu “Ndasku Mumet Ndasmu Piye?” seolah mengajarkan bahwa kita semua bisa mumet dalam menjalani hidup, apalagi di masa-masa yang sulit seperti ini. Tetapi, lagu ini juga mengajarkan bahwa mumet adalah hal yang manusiawi dan hal yang wajar. Saya menyarankan grup musik ini untuk melakukan tur pasca pandemi agar seluruh umat manusia dapat merasakan kesyahduan lagu ini dan keresahan-keresahan yang hadir ketika pandemi dapat berangsur-angsur pulih.
Sumber gambar: YouTube Ewen Channel
BACA JUGA Pemakaian Nama Gubernur sebagai Pengganti Nama Stadion Papua Bangkit Akan Mendapat Reaksi Berbeda Jika Hal Itu Dilakukan di Jakarta dan tulisan Raihan Yuflih Hasya lainnya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.