Saya tidak pernah menyesali merantau ke Jakarta untuk kuliah. Saya belajar banyak dari kota yang macetnya tidak berkesudahan itu. Salah satunya, jangan berani-berani mengadu nasib di Jakarta kalau memang tidak siap.
Setiap daerah tentu menawarkan pengalaman yang berbeda. Namun, Jakarta menawarkan pengalaman yang paling beda, betul-betul akan melumat mental kalian. Tidak hanya macet, banyak ada banyak hal di Jakarta yang menyebalkan. Mulai dari biaya hidup, kondisi KRL, cuaca, tingkat kriminalitas, hingga yang paling banyak dibahas akhir-akhir ini polusi udara.
Di tengah kabar-kabar miring itu, berbondong-bondong manusia datang setiap tahunnya untuk mengadu nasib di Jakarta. Saya sampai terheran-heran, apa daya tarik kota ini ya?
Mengadu nasib di Jakarta demi upah yang lebih baik
Ini salah satu alasan yang paling banyak saya dengar dari orang-orang yang mengadu nasib Jakarta, upah minumum yang lebih tinggi daripada daerah-daerah lain. Memang sih upah minimum di Jakarta tergolong tinggi se-Indonesia. Angkanya mencapai Rp4,9 juta pada 2023 ini.
Akan tetapi yang sering dilupakan banyak pengadu nasib, biaya hidup di kota ini juga tinggi. Adapun penentuan upah minimum sebenarnya juga disesuaikan dengan biaya hidup di masing-masing daerah. Itu mengapa, mereka yang merantau seharusnya tidak silau hanya dengan nominal upah minimum saja.
Memang sih, Jakarta menawarkan kesempatan yang lebih besar, baik dari sisi pengembangan diri maupun jaringan. Namun, apakah para perantau yang memutuskan mengadu nasib di Jakarta ini benar-benar sudah siap berebut kesempatan dengan banyak orang itu? Apakah pengadu nasib ini sudah membekali diri dengan berbagai macam kemampuan seperti bekerja keras, tepat waktu, pandai memelihara relasi dengan orang lain, dan masih banyak lagi. Belum ritme kerja yang serba tergesa-gesa.
Saya ingin menjadikan orang-orang daerah saya, Madura, sebagai contoh perantauan yang paling siap menghadapi belantara di Jakarta. Mereka tidak bisa dikatakan mengadu nasib di Jakarta, mereka sedang menjemput nasib baik. Orang Madura yang membuka warung kelontong di Jakarta memiliki tujuan, cara, dan hitung-hitungan yang jelas. Tidak asal merantau begitu saja.
Warung Madura, sebaik-baiknya perantau
Pendapatan buka warung di Jakarta berkali-kali lipat lebih besar daripada di kampung halaman sendiri. Di kampung sendiri jumlah pembelinya tidak sebanyak di ibu kota. Selain itu, orang di desa tidak segan untuk ngutang. Ada perasaan iba kalau tidak memberikan utangan ke tetangga sendiri.
Sementara di Jakarta, jumlah pembelinya lebih banyak. Selain itu pedagang bisa lebih tega terhadap pembeli, sehingga bisa lebih selektif memberikan utang. Tetap ada saja pembeli atau pelanggan yang utang, tapi jumlahnya tidak sebanyak di kampung halaman.
Mungkin membuka warung kelontong tampak sederhana ya. Namun, siapa sangka dari usaha ini banyak orang kampung saya yang mampu jadi jutawan. Utang-utangnya lunas, bahkan bisa membangun rumah ala sultan di kampung. Tentu tidak semua pedagang yang merantau ke ibu kota seperti itu ya. Biasanya level jutawan itu siraih oleh mereka-mereka yang punya 3-5 warung di Jakarta.
Bukan kah hal itu tidak bisa disebut mengadu nasib ketika nasibmu sudah jelas lebih baik di ibu kota? Contohlah orang Madura ketika ingin mengadu nasib di Jakarta. Pastikan kalian memiliki tujuan, cara, dan hitung-hitungan yang pas untuk hidup di ibu kota. Jangan asal berangkat dan akhirnya berujung jadi pengangguran juga. Bikin padat saja.
Penulis: Elyatul Muawanah
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Merasakan Tua di Jalan: Naik KRL Transit Manggarai Harus Bayar Pakai Mental Health
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.