Menerka Alasan Toko Legendaris seperti Toko Oen Malang Nggak Menerima Pembayaran Digital

Menerka Alasan Toko Legendaris seperti Toko Oen Malang Nggak Menerima Pembayaran Digital

Menerka Alasan Toko Legendaris seperti Toko Oen Malang Nggak Menerima Pembayaran Digital (unsplash.com)

Kalau mau makan-makan di Toko Oen Malang atau Tempo Gelato Jogja harus sedia cash, ya, Gaes. Soalnya mereka nggak terima pembayaran digital dengan kartu atau scan QRIS-mu.

Di mana-mana cashless, cashless di mana-mana. Tren pembayaran non-tunai ini bahkan sudah mulai diikuti oleh pedagang-pedagang kecil. Contohnya, penjual dimsum yang saya temui di seputaran GOR Satria Purwokerto beberapa waktu yang lalu. Alih-alih menerima lembaran uang yang saya berikan, penjualnya malah mengarahkan supaya saya melakukan pembayaran lewat QRIS saja. Wow.

Meskipun tampak seperti tren, metode pembayaran cashless tidak dapat dikategorikan sebagai perubahan sosial karena belum semua masyarakat menggunakannya. Masih banyak toko ataupun tempat usaha lain yang tetap mengandalkan pembayaran tunai untuk transaksi. Beberapa diantaranya bahkan toko legendaris yang sudah berdiri selama puluhan tahun. Sebut saja Toko Oen Malang, Tempo Gelato Jogja, dsb.

Kira-kira, kenapa ya toko-toko legendaris tersebut enggan beralih menggunakan pembayaran digital? Masa kalah dengan penjual dimsum kecil-kecilan yang mangkal tiap minggu pagi?

Cara Toko Oen Malang dan beberapa toko lainnya merawat pelanggan

Baik Toko Oen Malang maupun Tempo Gelato Jogja bukanlah pemain baru dalam dunia bisnis. Toko Oen sendiri bahkan sudah berdiri sejak tahun 1930. Dengan usianya yang hampir seabad tersebut, banyak hal yang tetap dipertahankan oleh Toko Oen. Lihat saja bangunan Toko Oen. Bentuknya masih mempertahankan bentuk aslinya. Kalaupun ada rehabilitasi, itu sebatas pengecatan dan perbaikan bagian gedung yang bocor atau rusak.

Begitupun dengan metode transaksi yang digunakan. Meski banyak pengusaha beralih ke pembayaran cashless, Toko Oen Malang tetap mempertahankan pembayaran secara tunai, dari tangan ke tangan. Hal yang sama juga terjadi pada Tempo Gelato Jogja.

Saya yakin baik Toko Oen maupun Tempo Gelato Jogja bukannya tidak menyadari tren pembayaran cashless ini. Mereka sebenarnya sadar. Hanya saja, mereka memilih untuk tidak ikut larut sebagai bentuk usaha mereka dalam merawat pelanggan. Keduanya sadar betul bahwa pelanggan mereka berasal dari berbagai kalangan. Untuk itulah, mereka tidak memaksakan diri untuk mengikuti arus modernisasi yang berpotensi membuat mereka kehilangan pelanggan.

Di balik modernisasi, ada hal yang njuweti

Selain upaya untuk merawat pelanggan, bisa jadi masalah-masalah yang kerap terjadi saat transaksi cashless juga turut menjadi pertimbangan, mengapa Toko Oen Malang dan Tempo Gelato Jogja tidak menerima pembayaran digital.

Maksud saya begini. Di satu sisi, pembayaran digital memang dinilai lebih efisien dan ekonomis. Melalui pembayaran digital, segala transaksi menjadi lebih cepat dilakukan serta mempermudah pencatatan melalui rekam jejak transaksi. Selain itu, dengan pembayaran digital, pelaku usaha tidak perlu repot menyediakan uang kembalian.

Namun, masalahnya adalah, pada setiap transaksi digital, terdapat batasan jumlah maksimum pada rekening per harinya. Dalam hal ini, Bank Indonesia telah membatasi transaksi QRIS maksimal Rp20 juta saja. Sebelumnya malah hanya Rp5 juta. Padahal bisa jadi transaksi per hari di Toko Oen bisa lebih dari Rp20 juta.

Ada potongan, sekecil apa pun tetaplah cuan

Meski katakanlah transaksi per hari tidak sampai Rp20 juta, seandainya saya pengusaha pun saya bakal pikir dua kali jika mau pakai QRIS. Bagaimana tidak? Sejak 1 Juli 2023, penggunaan QRIS dikenai biaya. Besarannya mulai dari 0,3 persen hingga 0,7 persen pada tiap transaksi yang nominalnya di atas Rp100 ribu Bank Indonesia melarang potongan transaksi itu dibebankan kepada konsumen. Sehingga, biaya tersebut dibebankan kepada produsen atau pedagang.

Potongan 0,3 persen hingga 0,7 persen mungkin terlihat kecil, tapi sebenarnya nggak kecil-kecil amat. Contoh, jika ada 50 orang per hari dengan transaksi masing-masing Rp200 ribu dan kena potongan 0,3%, maka besar potongan yang harus dibayar pengusaha menjadi 50×200.000×3% = Rp30 ribu/hari atau Rp900 ribu/bulan. Duit loh itu.

Jadi, ya sangat bisa dipahami kenapa toko legendaris seperti Toko Oen Malang dan Tempo Gelato Jogja ogah membuka opsi pembayaran digital. Potongane ngeri.

Keribetan lain di balik pembayaran digital yang menghantui pemilih usaha 

Bukan hanya itu saja. Fakta bahwa penerimaan pembayaran dari konsumen melalui QRIS itu tidak real time juga saya yakini sebagai faktor lain yang menyebabkan Toko Oen Malang tidak mau menggunakan pembayaran digital.

Bayangkan. Para pemilik usaha harus menunggu paling cepat esok harinya atau 24 jam setelah transaksi dilakukan. Dalam beberapa kasus, tak jarang pemilik usaha baru menerima pembayarannya lebih dari sehari.

Situasi ini tentu merugikan pemilik usaha karena arus keuangan mereka jadi terganggu. Padahal bisa jadi uang dari pelanggan tersebut akan digunakan untuk modal membeli bahan baku. Istilahnya, buat muter harian. Tentu akan sangat merepotkan jika di hari itu, semua transaksinya menggunakan QRIS. Nanti, belanja harian untuk keperluan jualan esok hari, bayarnya pakai apa? Pakai keringat karyawan? Kan tidak mungkin.

Sebetulnya, kalau mau mengupas boroknya pembayaran digital ini ya, ada banyak banget. Coba saja baca di tulisan ini. Maka, sungguh sangat wajar jika banyak pemilik usaha, termasuk Toko Oen Malang dan Tempo Gelato Jogja, tidak membuka pembayaran digital. Entah jika di kemudian hari sistem pembayaran digital ini dibenahi. Mungkin saja akan semakin banyak pemilik usaha yang tertarik.

Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pembayaran Nontunai Saja Orang Indonesia Masih Gagap, Digitalisasi Masih Begitu Jauh di Angan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version