Sudah 3,5 tahun belakangan ini saya setia naik bus Arimbi untuk bolak-balik Jakarta – Cilegon dan enggak pernah sekalipun terlintas di kepala saya untuk berpaling ke bus yang lain. Kalau ada yang bertanya kenapa saya tahan betul naik bus yang notabene jalannya lambat pake banget, saya akan menjawab, tentu dengan suara lirih: ini semua karena saya mencoba bertahan.
Bisa dibayangkan bagaimana rasanya terjebak di dalam bus yang berjalan pelan dan saya mesti menunggu antara 2,5 hingga paling lama 4,5 jam untuk sampai ke tujuan. Sementara di satu sisi, saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada dan di sisi lain, sialnya, kehidupan bekerja sangat cepat.
Betul bahwa ada bus lain yang bisa mengantarkan saya agar sampai ke tujuan dengan cepat, misalnya Murni Jaya Kalideres – Labuan. Jujur, saya tidak tahu bagaimana sensasi menumpang bus Sumber Kencono yang legendaris itu sehingga saya tidak berani untuk membandingkannya dengan Murni Jaya. Tapi bolehlah sekali-kali Anda ketik “bus Murni” di kolom pencarian Google.
Berada di dalam bus dalam waktu lama membuat saya bosan dan mungkin ini adalah perasaan yang juga dirasakan oleh penumpang lain. Saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu saya menguap begitu saja, maka saya tak pernah mau tidur di dalam bus kecuali keadaan sangat lelah.
Namun tidak ada hal lain yang dapat saya lakukan di dalam bus karena bagaimana pun, mengajak bicara penumpang lain tentang omong kosong perjalanan bukanlah solusi yang tepat, sebab pada kenyataannya, orang-orang lebih asyik dengan dirinya sendiri, tertidur atau memainkan gawai untuk berselancar di internet sambil sekali dua baca artikel dengan judul kekinian yang acap kali ditemui di linimasa media sosial.
Hal-hal seperti itulah yang kadang membuat saya akhirnya—ketika berada di dalam bus—menggunakan otak yang jarang saya gunakan ini untuk berpikir, berpikir, dan berpikir. Memikirkan apa saja tentang kehidupan agar sekilas terlihat penting padahal tidak sama sekali. Seperti di bawah ini.
Cara-cara Menaklukkan Dunia
Emmanuel Macron jadi Presiden Prancis di umurnya yang ke-39. Para anak muda tidak bisa hidup tanpa gawai di genggaman tangan. Instagram jadi kebutuhan sehari-hari karena manusia perlu mengukuhkan eksistensinya. Apalagi? Tentu masih banyak.
Saya juga ingin menaklukkan dunia tapi enggak tahu harus melalui apa, terlebih saya orangnya gampang ketiduran. Maka hal itu selalu mengganggu pikiran saya seolah-olah adalah jawaban dari suatu pertanyaan yang wajib saya cari.
Keadaanlah yang membuat saya kepikiran hal ini. Jangan-jangan bus yang jalannya lambat merupakan salah satu cara Arimbi untuk menaklukkan dunia. Saya menduga kalau manajemen Arimbi memang sengaja memerintahkan para sopirnya untuk membawa bus dengan santai saja. Pelan tapi pasti, yang penting sampai.
Mula-mula hal itu akan membuat kesal penumpangnya, tapi lama kelamaan penumpang akan terbiasa, lalu merasuk ke alam bawah sadar setiap penumpang bahwa bus yang berjalan lambat merupakan alegori dari hidup yang harus dinikmati dengan sebaik-baiknya. Atau mungkin ini bisa saja ada kaitannya dengan pembahasan berikutnya.
Perlawanan Terhadap Kehidupan yang Serba Cepat
Sebelum masuk ke Tol Tangerang, dalam perjalanannya dari Kalideres bus Arimbi beberapa kali mesti ngetem dulu. Itu semua dilakukan untuk mendapatkan penumpang lebih banyak karena biasanya penumpang yang naik dari Kalideres bisa dihitung dengan jari.
Dan yang menjengkelkan adalah ketika bus sampai di Cikokol, bus harus masuk pool terlebih dahulu untuk kemudian berhenti dalam waktu yang tak bisa diprediksi karena tergantung pada bus lain yang masuk pool selanjutnya. Masalah utamanya bukan soal waktu, karena naik Arimbi berarti kita merelakan waktu yang kita punya terbuang percuma. Bukan itu, tapi menunggu. Memangnya siapa, sih, yang suka menunggu?
Kalau dipikir lebih dalam, tindakan ngetem yang dilakukan Arimbi bukan sekadar mencari penumpang, tapi lebih dari itu. Saya pikir, selain sebagai cara memperlambat durasi dari berangkat ke menuju—yang mana sudah menjadi ciri khas, ada satu hal menarik yang patut dicermati, yaitu perlawanan yang dilakukan Arimbi terhadap kehidupan kontemporer yang serba cepat. Hal yang dilakukan secara perlahan adalah seni, barangkali itu filosofinya.
Di era yang apa-apa bisa didapatkan secara instan bahkan ketika Anda uncang-uncang kaki sekalipun, tidak ada lagi waktu untuk berlama-lama. Semua serba cepat. Tergesa-gesa. Dan kalau Anda akhirnya muak dengan keadaan seperti itu, dan ingin bernapas lega barang semenit karena merasa dada sesak sekali, cobalah untuk menumpang Arimbi.
Jangan heran kalau suatu ketika akhirnya Anda memutuskan untuk kabur sebentar dari rutinitas yang menyebalkan, lalu memilih untuk menumpang Arimbi, maka rasakanlah segala sensasi yang akan Anda peroleh. Niscaya jiwa-jiwa korsa dalam diri Anda akan berkobar, semangat perlawanan jadi berapi-api, dan cuma ada satu kalimat yang terngiang di kepala Anda dan ingin sekali Anda ucapkan keras-keras, “Persetan dengan semua ini!”
Menemukan Kedamaian di Dalam Bus
Perpaduan antara bus yang berjalan lambat dengan AC yang meniup perlahan ubun-ubun kepala jadi kombinasi paling dahsyat yang disuguhkan Arimbi buat para penumpang setianya. Memabukkan dan menyebalkan dalam satu waktu. Tak mengapa, karena banyak hal tak terduga yang akhirnya saya temui di dalam bus Arimbi ini.
Masalahnya adalah saya sudah putus asa ketika kebanyakan rakyat Indonesia jadi tidak menyenangkan lagi sejak perseteruan Jokowi dan Prabowo. Seperti ada sekat yang membatasi diri dari setiap orang. Mereka, baik di dunia nyata maupun maya, jadi gampang sekali gelut. Kurang piknik. Saya yang enggak peduli saja pusing, bagaimana yang langsung terlibat. Singkatnya, saya butuh kedamaian.
Maka ketika saya berkesempatan untuk menumpang bus Arimbi lagi suatu waktu, saat bus berjalan dengan amat sangat pelan, hanya sedikit goncangan yang saya rasakan, dan biasanya, di depan kemudi, beberapa sopir dari bus yang saya tumpangi senang sekali memutar lagu Nella Kharisma seolah itu kenikmatan yang hakiki. Tapi saat itu hanya keheningan yang ada.
Saya hanya duduk diam dan untuk beberapa saat saya merasa gugup, saya tarik napas dan mengeluarkannya secara perlahan. Akhirnya saya sadar, di sinilah saya menemukan kedamaian yang telah lama saya cari. Perasaan yang berbeda dari biasanya.
Dan saat itu juga, yang ingin saya lakukan hanya bersandar di kursi dengan kepala yang menatap keluar jendela, melihat pohon-pohon dan mobil-mobil, melupakan sementara problematika yang ada, lalu bernyanyi di dalam hati,
Que Sera, Sera…