Saya berasal dari Grobogan, dulu kuliah di Semarang, dan bekerja di Jogja. Memang, saya baru punya pengalaman di beberapa kota itu saja. Tapi beberapa kota itu sangat berbeda. Grobogan tentu masih kurang berkembang dan terkenal, terbukti belum ada investor yang berminat mendirikan Transmart di sini. Eh. Grobogan dan Semarang orang-orangnya sebelas dua belas. Tapi, untuk kepribadian orang Jogja, saya akui agak berbeda.
Orang lain boleh saja muak karena banyak yang terus-menerus meromantisasi Jogja yang konon sebenarnya biasa aja, sama seperti kota lainnya. Keistimewaan yang terkenal dari Jogja bukanlah rindu dan angkringan, melainkan UMR yang konon katanya rendah. Bukan konon lagi sih, ya emang rendah. Lha pengalaman kerja di Jogja je.
Kali ini saya tidak akan membahas tentang rindu, angkringan, ataupun UMR Jogja. Sudah, sudah banyak yang mentakwilkan, nanti saya dicap romantisasi lagi. Oke, kali ini saya mau menjlentrehkan penilaian saya tentang orang Jogja.
Konon katanya, orang yang lembut dan tutur katanya baik hanya berasal dari dua daerah yakni Jogja dan Solo. Sebab dua daerah ini bersifat kesultanan. Jujur saya juga kurang ngeh apa hubungannya.
Saya akui, di Jogja memang benar adanya. Hanya bermodal menganggukkan kepala saja, kita bisa mendapatkan balasan sapaan yang ramah dari masyarakat setempat. Di kota lain, Semarang dan Grobogan, tidak semua orang memberi respons dari gerakan “menganggukan kepala” ini. Ada yang merespons, ada yang justru malah buang muka.
Modelan orang yang kalau niat disapa malah buang muka biasanya punya masalah hidup yang saya rasa sangat pelik. Tapi ajaibnya di Jogja, hampir semua warga lokalnya memberikan respons dengan wajah sumringah. Ajaib.
Dengan modal menganggukkan kepala, kita bisa tahu sedikit banyak atau menebak kepribadian orang tersebut. Oh ibunya ramah. Oh bapaknya suaranya tegas, mantan polisi kayaknya. Oh anaknya sopan dan sebagainya. Ini klise, tapi ayolah, akui saja bahwa Jogja memang layak diromantisasi.
Kebetulan, kos saya yang dulu di depannya ada pos ronda, otomatis banyak bapak-bapak yang sering cangkruk di sana. Sebagai anak kos yang hobi wara-wiri keluar masuk kos, mau tidak mau harus nyawang wajah hangat bapak-bapak ini. Biar terkesan sopan, saya selalu bermodal menganggukan kepala saja.
Pernah ketika membeli makan, berpasasan dengan seorang ibu. Saya dan teman menganggukkan kepala, sontak si ibu pun memulai obrolan, “Njih mbak, monggo-monggo. Bisa bahasa Jawa?” Hmmm, orang Jogja ngga ada gengsi ketika memulai obrolan.
Berbanding terbalik ketika dengan gebetan, mau ngobrol atau ngechat dulu. Gengsinya sampai mau meninggal. Pantesan Jogja berhati nyaman, bukan berhati gebetan.
Pernah juga saya menganggukkan kepala ke bapak-bapak yang sedang ngobrol di pos ronda, jawaban mereka pun hangat, “Iya mbak, monggo. Ngantos-antos.” Ya ampun, modal ngangguk aja didoain, lho. Nggak perlu salim atau semacamnya.
Besok-besok, kalau pamit sambil salim bisa-bisa dikasih uang saku. Sungguh, the power of ngangguk ke orang Jogja.
Saat jogging di JEC kebetulan ada seorang bapak yang saya salip lari. Kemudian bapak-bapak ini malah ngajak ngobrol, curhat ngalor ngidul tentang pekerjaan dan keluarga. Kalau dipikir-pikir, saya kan stranger, kok si bapak cerita masalah pribadi.
Apakah si istri kurang menampung aspirasi si bapak, atau si bapak kurang dekat ke anak-anaknya. Saya pun jadi kasihan, seorang bapak saking harus terlihat tegar dan baik-baik saja, mesti menahan untuk tidak menceritakan masalah pribadi ke keluarga. Hmm?
Jadi, kegiatan menganggukkan kepala ini bisa menjadi modal kita untuk menebak kepribadian seseorang. Misal kalau orangnya nganggung balik, mungkin dia orang Jogja.
Ada banyak keuntungan dari menganggukan kepala sebagai bentuk penghormatan ke orang lain. Nggak cuma ke orang Jogja. Saya berharapnya sih, nggak harus di Jogja, di kota lainpun juga harus punya tindak tanduk begini. Tapi masalahnya, kalau kita ngangguk direspons nggak? Kalau nggak dapat respon kan malu-maluin.
Sumber gambar: Unsplash.com.
BACA JUGA Skripsi Bukan Dijual, Bisa Jadi Masuk Jadwal Retensi Arsip (JRA) dan tulisan Rinawati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.