Menanggapi Tulisan Indosat Cocok Untuk Mahasiswa, Telkomsel Untuk Pekerja: Saya Mahasiswa dan Saya Pelanggan Telkomsel Garis Keras! 

Telkomsel Itu Bukan Tidak Humanis, tapi Hanya Mencoba Realistis telkomsel garis keras

Telkomsel Itu Bukan Tidak Humanis, tapi Hanya Mencoba Realistis

Salam kenal mas Seto Wicaksono, sebelumnya saya akan menjawab jawaban dari artikel Mas Seto yang berjudul ‘Indosat Cocok Untuk Mahasiswa, Telkomsel Untuk Pekerja: Apakah Benar Anggapan Para Pengguna Provider Ini?’ Seperti judul artikel ini yang ngegas saya mau jawab begini, “Tidak Juga!!!!”

Sebenarnya kita memiliki persamaan—sama-sama suka internetan gratis dan murah, sama-sama pernah jadi mahasiswa, dan sama-sama kaum proletar—semoga benar begitu.

Sejak dahulu kala, memang benar adanya bahwa Indosat adalah provider yang menawarkan layanan murah dan meriah. Saking murahnya di kampung saya—Madura—provider ini sampai dijuluki “kartu’en tokang becak” yang artinya kartunya tukang becak.

Yang ini, saya setuju-setuju saja, tapi tidak lantas harus mengatakan bahwa Telkomsel cocoknya hanya untuk pekerja, dan Indosat untuk Mahasiswa, ini terlepas dari penilaian subjektif saya bahwa saya mahasiswa dan saya adalah pelanggan Telkomsel garis keras.

Apalagi kalau sampai hendak memberikan status sosial dan pengelompokan kelas bahwa Telkomsel adalah kartunya orang berduit dan Indosat adalah kartunya kaum tak berduit. Saya sebagai mahasiswa dengan tegas menegaskan bahwa hanya ada satu kata untuk mereka, “Lawan!”—uwuwuwu~

Begini lho, sepengalaman saya menjadi pelanggan Telkomsel sejak 10 tahun silam, Telkomsel itu adalah kartu paling fleksibel. Lagian nggak mahal-mahal amat juga, tapi tidak murah-murah juga. Jadi ada aneka pilihan paketannya, ada yang mahal, ada yang B aja, ada juga kok yang murah, pokoknya sosialis lah—cocok untuk semua kelas.

Telkomsel itu kan kartu yang anti bocor, anti anti lemot dan anti mangap—ini menurut saya ya. Istilahnya sih harga menentukan kualitas. Kenapa saya berani bilang begitu?Jadi begini, jujur saja daerah saya di Madura itu adalah daerah yang sangat terpelosok dari yang terpelosok. Di saat kartu semacam Indosat, XL, dan yang lain mangap-mangap mencari sinyal, kartu Telkomsel itu masih lancar-lancar saja..

Lagian kalo ngomongin murah ndaknya harga layanan, Telkomsel dari Madura bagi saya adalah kartu paling “sosialis” dari kartu-kartu yang lain. Kalau nggak percaya njajalo namanya “AS Madura”. Bayangkan saja, dulu—saat saya masih SMA—itu belum ada atau barangkali saya yang belum tahu, media sosial semacam BBM, WA apalagi Instagram, jadi kegiatan semacam sepik-menyepik dengan kaum bucin hanya bisa dilakukan dengan telepon dan SMS. Kartu AS Madura kalo buat nelepon sampai berjam-jam minta ampun, itu kartu paling merakyat, biayanya 0 rupiah—lumayanlah yhaaa buat para jomblo yang tak bermodal~

Kembali lagi pada akar masalahnya, soal cocok tidaknya sama pilihan provider sebenarnya adalah soal kebutuhan. Misalnya begini, dahulu saat saya baru masuk kampus jadi mahasiswa baru di kota Malang, saya tertarik mencoba kartu Indosat karena tergiur dengan paket internetnya yang tergolong sangat murah saat itu. Hitung-hitung hemat juga untuk kebutuhan anak kos. Alhasil, apa yang terjadi? Nilai Pengantar Ekonomi saya malah dapat C saat UAS—gara-garanya sebangsa bunderan berputar-putar indah di layar hp saya saat mencari rumus kurva permintaan dan penawaran di ruang ujian—wqwqwq~

Artinya begini, bagi mahasiswa yang suka dikejar deadline seperti saya sepertinya Indosat malah nggak cocok dengan kebutuhan mengerjakan tugas dari dosen. Mahasiswa SKS (Sistem Kebut Semalam) seperti saya cocoknya pakai Telkomsel yang anti lemot dan anti bocor—setidaknya menurut saya. Karena “pemilihan kartu provider bisa mempengaruhi motivasi belajar seorang mahasiswa”—tema ini cocok dijadikan topik penelitian skripsi kayaknya.

Nah kembali lagi pokok persoalan, bagi saya apapun alasannya nggak perlulah mencocok-cocokkan Telkomsel untuk siapa dan Indosat untuk siapa. Karena pemilihan provider itu bagi saya adalah soal kecocokan dengan si pemakainya. Apalagi kalau sudah terlanjur jadi pelanggan setia, sulit lho buat move on ke hati yang lain, “bherrattt, Bro—udah terlanjur sayang.”

Jadi percayalah, menyoal kestabilan jaringan bagi saya Telkomsel masih tetap di hati. Sampai saya semester akhir jaringan Telkomsel selalu memyelamatkan saya dari pertanyaan menjebak seorang kawan saat presentasi. Pemilihan provider Telkomsel bukan sekedar gaya-gayaan agar dibilang keren dan berkelas, lebih dari itu, ini adalah soal menyelamatkan nasib dan masa depan seorang mahasiswa yang dikejar deadline tugas kuliah.

Akhirnya, kembali lagi kepada seperti apa kebutuhan masing-masing, soal kuat tidaknya jaringan kembali lagi di tempat kita akan menyesuaikan dengan pilihan provider kita. Pun demikian dengan soal perbandingan harga paketan dan layanannya yang menentukan bukan soal milih Indosat atau Telkomselnya—tetapi itu adalah perihal isi dompetmu, Mblo. Mampunya beli paketan “Internet VAGANZA” atau yang “Hot Offer?”

Benar begitu kan, Bambang~

Exit mobile version