Menanggapi Artikel Memiliki Teman yang Mengaku LGBT: Menjadi LGBT Bukanlah Sesuatu yang Kami Pilih

lgbt

lgbt

Bulan Juni, bagi komunitas LGBT merupakan bulan yang istimewa. Bulan itu, kami peringati sebagai Pride Month. Karena itu di negara-negara yang sudah terbuka digelar Pride Festival, termasuk di New York. Festival ini menjadi kontroversial di Indonesia ketika Dena Rachman mengibarkan bendera Indonesia.

Sebagai seorang LGBT saya merasa sedih ketika banyak orang yang mengecam aksi tersebut. Apa sebagai LGBT lantas kami tidak boleh merasa bangga menjadi orang Indonesia, meski negara sering kali berlaku tidak adil pada kami. Beberapa hari lalu, saya mendownload aplikasi sosial media untuk komunitas gay. Ketika membuka aplikasi tersebut saya mendapat peringatan bahwa saya berada dalam lokasi yang berbahaya. Miris rasanya. Saya terancam di rumah sendiri.

Rasa sedih itu sedikit terobati ketika saya membaca artikel di Mojok. Rasanya betapa bahagia mendengar ada seorang mau berteman dengan seorang LGBT selama 20 tahun. Dan itulah yang kami butuhkan. Sebuah dukungan. Kami nggak minta yang muluk-muluk, ketika ada seorang yang mau berteman tanpa menghakimi, itu sudah sangat berarti bagi kami.

Menjadi LGBT bukanlah sesuatu yang kami pilih, seperti yang dituduhkan orang kepada kami. Saat masih kecil, usia 5 tahun,saya bermain lipstik, tidak ada maksud dalam diri saya untuk menjadi banci. Bahkan saya fobia banci. Sering kali saya diancam akan diberikan pada banci atau orang gila jika saya nakal.

Saya bermain lipstik karena ingin menjadi badut, biar lucu maksudnya. Ketika saya menemui orang tua saya dengan muka cemong-cemong lipstik tiba-tiba saya digampar ayah saya, kemudian dimaki-maki, bahkan diusir.

Sejak saat itu saya selalu berusaha untuk tampil maskulin, dan sangat anti sesuatu yang berbau feminim. Tapi kenyataannya makin hari, saya justru makin feminim. Tapi karena takut digampar lagi, ya amannya saya diam. Saya tumbuh jadi nak yang penakut dan tidak bisa berekspresi. Meski nggak banyak tingkah aja, tetep saja ada yang bilang saya ngomongnya kayak cewe. Kalau ada yang ngomong gitu rasanya kok pengen mati aja.

Pernah suatu hari, kalau tidak salah saya kelas 6 SD, saya disuruh ibu saya membeli sesuatu di toko dekat rumah. Saya lupa waktu itu disuruh beli apa, tapi saya ingat betul di toko itu ada kotak musik berbentuk hati, warnanya merah dan di atasnya ada dua boneka. Kalau kotak itu dimainkan dua boneka itu akan bertemu di tengah lalu berciuman.

Saya berdiri di etalase itu cukup lama, untuk mengagumi benda ajaib itu. Kebetulan ada label harganya, saya lihat tidak terlalu mahal. Uang tabungan saya cukup untuk membeli kotak musik tersebut.

Langsung saya berlari pulang, maksud hati untuk mengambil uang tabungan saya. Saya sadar, kalau saya beli itu saya bakal jadi bahan tertawaan. Makanya sambil lari, saya susun strategi. Saya akan bilang mau beli kotak itu untuk adik saya yang perempuan. Padahal adik saya waktu itu tomboy banget.

Sampai di rumah saya menceritakan apa yang saya lihat di toko dengan antusias. Saya bilang ingin beli boneka ciuman untuk adik. Saya ceritakan betapa mengagumkannya benda itu. Bentuknyanya, warnanya semuanya, semua sayacerita detail. Tapi ibu saya melarang saya membeli kotak musik itu. Alasanya tidak berguna, uangnya sebaiknya dipakai untuk keperluan sekolah.

Saya terus merayu, dan hasilnya modus saya terbaca oleh kakak saya. Kakak saya bilang anak laki-laki lain pengen beli Tamiya, tapi kok saya belinya boneka ciuman. Dia yang cewek aja nggak pengen. Ibu saya juga setuju kalau saya beli Tamiya. Mampus dah, ketahuan. Rasanya malu, saya langsung diam. Dan akhirnya menurut. Saya beli Tamiya.

Saya pun semakin berusaha tampil maskulin. Bahkan saya rela tidak jajan agar bisa beli onderdil Tamiya yang harganya mahal. Uang saku saya sekitar 3.000 perhari sedangkan harga dinamo antara 50.000-100.000. Semua itu hanya demi kelihatan normal. Pulang sekolah mampir ke toko Tamiya, di Jalan Mataram untuk balapan. Saya tetap nggak ngerti bagusnya di mana, pikiran saya tetap terbayang-bayang boneka ciuman yang sampai saat ini tidak pernah saya miliki.

Saat puber, ketika teman-teman saya heboh cerita soal cewe, saya lebih banyak diam. Saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Saya lebih suka melihat cowo-cowo ganteng. Lalu waktu mimpi basah, saya mimpinya sama cowok juga. Dan akhirnya saya makin bingung dengan diri saya sendiri.

Tidak ada yang bisa saya ajak cerita, saya benar-benar sendiri. Lingkungan saya, ketika membahas masalah homoseksual cuma komentar negatif yang keluar. Mulai dari jijik, laknat, nggak bermoral, nggak beriman, kafir, penyakit menular dan segala yang hina dina bahkan seorang homo dianggap lebih rendah dari binatang. Saya tidak bisa bicara dengan keluarga saya. Saya pernah digampar gara-gara lipstik. Kalau tahu saya homo, minimal pasti kena suplex.

Mengerikan sekali tumbuh dalam situasi seperti itu. Hidup saya jadi tidak bebas, dan penuh dengan ketakutan. Setelah dewasa, dan mulai mandiri, saya lalu mencari tahu tentang homoseksual, dan mulai bertemu dengan orang-orang seperti saya. Rasanya seperti menemukan rumah, karena saya bisa bebas berekspresi. Jangankan mainan lipstik, bahkan saya bisa pakai make up lengkap, pakai gaun dan high heels tanpa seorangpun menggampar saya, malah banyak yang bilang saya cantik.

Selama eksis di komunitas, saya cenderung jauh dari keluarga. Hal ini menjadi pergulatan baru dalam diri saya. Saya merindukan keluarga saya, meski saya selalu tertekan ketika berada di rumah. Akhirnya saya mencoba “coming out” pada ibu saya. Hasilnya saya dikatakan sampah. Saya tidak ingin menyalahkan ibu saya. Apa yang beliau katakan ada benarnya. Saya menyadari bahwa pergaulan dalam komunitas cenderung bersifat destruktif, termasuk free sex yang beresiko tinggi menularkan HIV. Ketika saya coming out, saya berharap bahwa saya bisa diterima di rumah secara utuh, sehingga saya tidak perlu mencari “rumah” yang lain. Pergaulan kami yang destruktif sebenarnya adalah akibat dari penolakan yang kami terima. Baik itu dari keluarga maupun masyarakat.

Dari kisah ini saya ingin menyampaikan betapa kami sangat rindu untuk didengar. Kami menjadi seperti ini bukan atas pilihan kami. Saya tidak meminta mimpi basah sama cowok. Mimpi itu datang tiba-tiba, ketika mimpi itu datang saya juga menolaknya, bahkan saya jijik dengan diri saya sendiri. Saya selalu berusaha untuk hidup seperti “kodrat” saya sebagai laki-laki tetapi ternyata inilah “kodrat” saya yang sebenarnya.

Terima kasih untuk Seto Wicaksono, apa yang anda lakukan sangat berarti bagi kami, dan menumbuhkan sebuah harapan. Terima kasih pula untuk Mojok, karena mau menyediakan ruang bagi kami untuk membangun hal yang lebih konstruktif.

Saya pernah mengikuti sebuah FGD tentang homoseksualitas. FGD itu diiukuti 10 orang gay. Saat itu, kami ditanya apakah kami pernah berpikir untuk bunuh diri. Dari 10 orang peserta, tidak seorangpun menjawab ‘tidak’.

Jika seandainya ada yang kembali menanyakan pertanyaan itu, maka saya akan menjawab, setiap pagi saya selau berpikir untuk bunuh diri. Lalu mengapa saya tidak melakukannya? Karena saya masih menemukan orang-orang yang mau menerima kami. Saya harap, semakin hari, semakin banyak orang yang mau mendengarkan kami. Dan mengerti menjadi LGBT bukan sesuatu yang kami pilih.

Exit mobile version