Menahan Sakit Melahirkan dan Rasa Rindu Setelahnya

Menahan Sakit Melahirkan dan Rasa Rindu Setelahnya mojok.co/terminal

Menahan Sakit Melahirkan dan Rasa Rindu Setelahnya mojok.co/terminal

Putri kecil saya sudah genap satu tahun. Lho, kok rasanya cepat sekali ya, rasanya baru kemarin menahan sakit melahirkan. Sekarang dia sudah bisa berdiri. Rambutnya yang tipis sudah bisa dikuncir dan terlihat seperti buntut curut. Dia juga sudah bisa mengucapkan kata-kata. Kata “maem” dan “mimik” adalah yang paling sering dan paling jelas dia ucapkan. Giginya sudah enam. Dan dia hobi menggigit segala macam. Kadang dia menggigit puting waktu menyusu. Kadang dia menggigit pundak waktu saya mandikan. Menggigit kursi malah sering. Jadilah kursi ruang tamu kami baret-baret.

Setahun lalu, 11 Maret 2020, saya mulai merasa mulas sekitar pukul 04.00 pagi. Setelah menganalisis ritme rasa sakitnya, saya yakin bayi ini minta lahir hari ini juga. Padahal sebenarnya saya masih belum puas menikmati kehamilan yang baru 35 minggu itu. Sekitar pukul 05.00 ketuban saya pecah. Padahal saya masih malas-malasan di tempat tidur. Jelas sekali terdengar suaranya dan kemudian saya basah. Saya langsung duduk dan mulai panik.

“Kita ke puskesmas,” kata suami.

Di puskesmas saya diperiksa. Bagian bawah dicolok bidan. Sakit. Lalu bidan bilang, sudah bukaan 2. Kami takut bayinya kenapa-napa karena ketuban sudah pecah. Tapi, bidan bilang, “Tidak apa-apa. Tunggu 12 jam kalau tidak ada perkembangan, baru kami rujuk ke rumah sakit.”

Apa? 12 jam? Serius akan selama itu?

Suami saya menolak. Akhirnya kami pergi ke rumah sakit tanpa rujukan. Sampai rumah sakit sekitar pukul 07.00. Masuk IGD, bagian bawah dicolok lagi. Sakit. Sudah bukaan 4, katanya. Sakitnya datang dan pergi. Tapi, begitu datang, rasanya sakit sekali. Saking sakitnya sampai rasanya susah mengatur napas. Bidan berpesan untuk tidak mengejan sebelum disuruh. Lalu bidan itu pergi. Saya terus-terusan berdoa dalam hati, “Tolong dipercepat, ya Allah. Tolong dimudahkan.”

Rasa sakit mau melahirkan makin jadi. Puncaknya, pukul 08.00, saya merasa seperti ada dorongan kuat dari perut yang memaksa saya untuk mengejan. Tapi, saya sibuk menahannya. Lalu saya minta suami memanggil bidan. Bidan cepat datang. Setelah mengecek saya, bidan langsung heboh memanggil rombongannya. Waktunya melahirkan.

Pukul 08.17 saya merasa lega sekali. Bayinya lahir. Seketika itu juga semua rasa sakit melahirkan langsung hilang. Tapi, kemudian bidan bilang, “Dijahitnya nunggu dokter datang ya, Mbak.” Kata-kata itu langsung membuat saya waswas dengan rasa sakit selanjutnya.

Pukul 09.30 dokter datang. Menyapa saya dengan manis tapi kemudian membuat saya kesakitan. Dijahit itu rasanya sakit sekali. Menyaingi rasa sakit saat kontraksi meski tetap beda. Kepala saya hampir tidak bisa ditenangkan, selalu tolah toleh kanan kiri, tidak karuan. Dokter menyuruh suami saya untuk mengajak saya ngobrol. Saya yakin dia pun bingung mau ngobrol apa.

Akhirnya dia hanya bilang, “Tuh adek bayinya nangis kenceng banget. Sabar, ya. Tahan, ya.”

Dan sejujurnya itu tidak cukup membantu mengalihkan saya dari rasa sakit yang keterlaluan itu. Saya masih bisa merasakan dengan jelas bagaimana jarum itu ditusukkan dan bagaimana benangnya ditarik-tarik. Sesekali tangan dokter masuk lebih dalam, mengoreksi apa masih ada yang perlu dijahit. Rasanya seperti diobok-obok. Saya terus-terus berkata, “Sudah, Bu! Berapa lama lagi, bu? Sakit, bu.” Tapi, Bu dokter tetap santai seperti sedang memuaskan hobi menjahitnya. Jahit-menjahit itu berlangsung sekitar setengah jam. Itu setengah jam yang paling lama dalam hidup saya. Saya kemudian merasa sangat capek, kehabisan tenaga sampai tidak kuat bicara, tidak kuat buka mata.

Bayi saya, meski beratnya hanya dua kilo, belum punya alis dan bulu mata, kata dokter dia seluruhnya sehat. Tangisannya keras sekali. Dan itu membuat saya tenang.

Dua hari kemudian saya dan bayi saya pulang. Saya senang, tapi hari-hari berikutnya yang saya rasakan justru sebaliknya. Saya tidak nyaman dengan semuanya. Saya harus memakai jarit supaya jalannya timik-timik dan jahitan tidak terancam. Saya harus memakai bengkung, udet tenun yang panjangnya puluhan meter, supaya perut tidak buncit. Sekujur tubuh dan muka saya dibaluri parem dan bedak adem supaya kulit tetap segar. Saya juga harus minum jamu tradisional supaya rahim cepat pulih.

Rumah jadi ramai orang. Mereka mendadak perhatian sama saya. Menyuruh saya begini begitu. Melarang saya begini begitu. Ada kalanya saya merasa yang mereka katakan itu tidak nyambung sehingga membuat saya ingin menyangkal dan tanya, “Memangnya kenapa?” Jahitan saya juga masih sakit bahkan untuk rebahan sekalipun. Sementara harus menyusui bayi dan sulit sekali dapat posisi yang enak untuk menyusui. Duduk sakit, rebahan juga tidak nyaman. Ditambah lagi drama ASI seret. Tangisan bayi yang kehausan pun mulai menguji kesabaran. Soal ASI saya yang seret, orang tua (emak, ibu mertua, dan dukun bayi) berulang kali menyarankan ini itu supaya ASI deras. Tapi, saran mereka justru membuat saya jadi minder. Apalagi kalau mereka bilang dulu ASI mereka deras, menetes terus-terusan sampai membasahi baju. Saya minder sekali.

Saya kemudian jadi rindu sekali masa-masa waktu masih hamil. Saya rindu rebahan dengan nyaman, menonton TV sambil mengelus-elus perut lalu tertidur. Saya rindu rasanya jalan pelan-pelan karena hamil besar bukan karena jahitan yang sakit. Saya rindu sama perut saya yang besar seperti balon bukan perut yang diikat dengan bengkung. Saya rindu melihat perut saya bergelombang dan merasakan bayi saya bergerak-gerak di dalamnya. Saya rindu mengobrol sama perut. Saya rindu melihat pusar saya datar. Saya rindu USG. Saya rindu jalan-jalan pagi. Saya rindu diingatkan untuk minum vitamin. Saya rindu disuruh makan banyak supaya gendut bukan supaya ASI deras.

Saya juga rindu sama suami. Rindu mengobrol bareng. Rindu dicium. Rindu tidur bersama. Rindu suami mengelus-elus perut saya. Setelah melahirkan saya jadi jarang mengobrol sama suami. Ramai orang, soalnya. Suami saya juga tidak mau mencium saya waktu pamit mau kerja karena ada orang lain. Malu, katanya. Saya juga tidak tidur sama suami, tapi tidur sama bayi dan ibu mertua. Malam-malam kami terjaga. Ibu yang mengganti popok Kiya. Lalu saya menyusuinya. Capek. Apalagi saat Kiya tetap menangis karena ASI seret. Rasanya pengin istighfar.

Saya kesepian. Aneh ya? Padahal rumah sedang ramai orang. Rasanya sangat kesepian. Sampai-sampai saya ingin menangis. Waktu rasanya lama sekali. Tidak biasanya. Saya sibuk dengan perasaan saya sendiri sampai-sampai saya tidak punya keinginan untuk mencium bayi saya. Entahlah. Meski begitu kalau dia menangis saya tetap otomatis bergerak untuk menyusui, mengganti popoknya, atau sekedar menggendongnya.

Saya pelan-pelan bisa melerai rindu dan rasa kesepian itu dengan menulis. Saya sulit menceritakannya pada suami karena ada orang lain. Saya sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis waktu menulis. Saat ada waktu, saya akhirnya menceritakannya pada suami. Reaksi suami saya bagaimana? Dia tenang, tidak istighfar atau pun terlihat heran. Dia bisa mengerti apa yang saya rasakan. Dia senyam-senyum, sesekali mengejek saya, lalu mengusap air mata saya, dan menciumi saya. Syukurlah.

Rindu dan kesepian itu saya rasakan selama satu bulan lebih. Setelah itu, saya mulai nyaman menjalani peran saya sebagai seorang ibu. Saya jadi gemas, suka menciumi bayi saya dan suka memfoto atau merekamnya. Senyumnya, ocehannya, matanya yang jernih dan lebih banyak hitamnya itu membuat saya betul-betul merasa bahagia. Dia tumbuh dengan baik. Saya kemudian mulai takut kalau dia cepat besar lalu saya akan rindu dengan dia waktu bayi. Ah, sepertinya saya harus siap untuk merindu lagi. Apa manusia itu memang sering sekali sibuk dengan rindu ya? Atau hanya saya?

Photo by Wayne Evans via Pexels.com

BACA JUGA Tentang Sunat dan Melahirkan: Mana yang Lebih Sakit? dan tulisan Aprilia Dyah Ayu Mustika Rini lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version