Menabung di sekolah itu terlihat bagus dan mulia, sebelum kalian nyoba ngambil duitnya.
Tiba-tiba, media sosial saya dipenuhi pemberitaan mengenai tabungan sejumlah siswa senilai ratusan juta raib dipinjam oleh gurunya sendiri. Iya, tepatnya sebanyak 17 siswa SD di Pangandaran itu mau nggak mau harus menerima pahitnya ketika hendak menarik uang tabungan, eh tapi pihak sekolah berkata nggak ada. Total, sekitar 112 juta uang tabungan siswa itu kosong, tak tersisa.
Kisah itu, mengingatkan saya pada tragedi pengalaman pribadi yang membuat saya nggak percaya dan nggak pernah menabung lagi di sekolah lagi sejak duduk di bangku SMP, kelas delapan tepatnya. Sebuah tragedi yang barangkali menanamkan ketidakpercayaan saya lagi pada instansi sekolah untuk menyimpan uang saya.
Kasus siswa SD itu adalah satu dari sekian keganjilan dalam sistem menabung di sekolah. Selain itu, terdapat beberapa hal dalam sistem menabung di sekolah itu yang menurut saya sama sekali mencoreng prinsip paling fundamental dari menabung, telah berganti dari haluan kodratnya, telah nggak sesuai dengan jalan yang sesungguhnya.
Daftar Isi
Menabung di sekolah, artinya, uangnya nggak bakal bisa diambil sesuka hati
Ketika duduk di bangku SMP hingga SMA, saya kala itu juga mengenyam sejuknya lantai dan empuknya rotan pondok pesantren. Jadi, selain menjadi siswa, di waktu yang sama, saya juga merupakan seorang santri. Di saat menjalani dua identitas itulah pengalaman pahit saya dimulai.
Di kelas satu SMP tepatnya, saya masih giat untuk menabung di sekolah. Namun, di suatu saat, karena saya masih santri baru yang masih kurang bisa memanajemen uang, saya dihadapkan oleh krisis moneter. Kekosongan dompet karena kiriman orang tua sedikit lambat membuat saya harus mencari cara untuk bertahan hidup.
Meskipun, ketidakmilikan harta ini sudah menjadi sesuatu yang wajar bagi seorang santri. Namun, bagaimanapun saya harus bisa bertahan. Alhamdulillahnya saya saat itu saya masih memiliki tabungan yang harapan saya dapat menolong saya di waktu yang genting semacam ini.
Ketika saya ke kantor sekolah, hendak mengambil apa yang menjadi hak saya, sialnya seorang staf keuangan sekolah menuturkan kepada saya dengan lembut bahwa uang tabungan tidak bisa diambil. Kaget tentu saja menimpa saya kala itu. Kok nggak bisa diambil?
Saya memohon kala itu, karena saya benar-benar membutuhkannya. Pasalnya, di dalam tabungan itu setidaknya ada puluhan ribu yang lumayan bagi saya untuk dapat bertahan hidup berminggu-minggu di pesantren. Namun, apalah daya, relasi kuasa justru bermain di sana, yang mengkerdilkan saya selaku siswa biasa. Walhasil, saya hanya bisa melakukan mekanisme survival dengan mengais makanan ketika ada anak sambangan sampai saya mendapatkan kiriman dari orang tua saya.
Tapi tetap saja, saya sulit menerima logika saya tak bisa memakai uang saya untuk keperluan saya pribadi. Dan jawaban staf keuangan sekolah saya, bikin saya sulit percaya sama kegiatan menabung di sekolah.
Hanya digunakan untuk keperluan pendidikan
Ceramah staff keuangan sekolah saya kala itu cukup panjang menjelaskan terkait fungsi dari nabung di sekolah. Tentu nggak mungkin saya ketikkan semua di sini. Namun, intinya, selain uangnya nggak bisa diambil sesuka hati, uang tabungan di sekolah tersebut hanya dapat digunakan untuk keperluan pendidikan di lingkungan sekolah itu saja. Mulai dari bayar buku, bayar seragam bahkan bayar study tour siswa.
Dalihnya cukup hegemonik bagi saya yang saat itu masih berseragam rapi putih biru layaknya anak rajin pada umumnya. Dengan hadirnya uang tabungan itu, orang tua kami menjadi nggak terlalu terbebani dengan segala tetek bengek biaya pendidikan. Tentu, sangat memberatkan wali murid ketika harus membayar jaglek jutaan rupiah langsung seketika itu juga jika ada tagihan sekolah. Oleh karena itu, hadirlah “tabungan” sekolah.
Menabung di sekolah sudah seperti cicilan biaya sekolah
Namun, setelah dipikir-pikir, lah kok sekolahan saya ini udah seperti leasing kendaraan ya, yang bisa nyicil dalam pembayarannya. Bedanya, di sekolahan saya nggak pakek bunga gitu aja dalam cicilannya.
Meskipun begitu, kenapa namanya menabung? Kenapa nggak sekalian aja cicilan atau angsuran biaya sekolah. Kenapa nggak jujur aja di awal atau membuat sistem angsuran tersendiri gitu. Nggak perlu juga kan harus ngibuli kami selaku anak yang pikirannya masih main doang. Kalo kata sosiolog Robert K. Merton, esensi menabung di sekolah ini telah mengalami penyelewengan dari fungsi manifesnya (sesungguhnya) beralih ke fungsi laten (tersembunyi). Tentu ini sangat mencederai etika dasar menabung yang selama ini diyakini masyarakat.
Bak koperasi simpan pinjam, uang tabungan dapat berganti tangan
Nggak hanya sampai di situ, peralihan fungsi menabung di sekolah juga pada akhirnya sebagaimana kasus siswa SD di Pangandaran itu, menjadi koperasi simpan pinjam. Dana tabungan siswa dapat beralih tangan ke siapa pun, guru, staf, bahkan kepala sekolah, dengan dalih “pinjam”.
Jadi, uangnya nggak bisa diambil sama sekali, ya karena emang nggak ada uangnya. Entah dipinjam gurunya, dipinjam staff sekolah, bahkan kepala sekolahnya. Seolah-olah uang tersebut adalah koperasi simpan pinjam yang siapa pun bisa meminjam, dan enaknya tanpa ada bunga dan debt collector yang menghantui. Makin ke sini, sekolah bak kapital beneran, meskipun sebelumnya memang udah kapital sih.
Ya, memang saya nggak begitu tau mendalam tentang birokrasi kapital belakang panggung sekolah. Yang saya tau adalah saya nggak bisa mengambil hak uang tabungan saya dengan berbagai dalih hegemoni sekolah. Mulai dari untuk keperluan sekolah, aturan sekolah, atau apa pun lainnya.
Sejak saat itu saya tidak lagi mengamanahkan uang saya ke sekolah. Kepercayaan itu sirna seiring akal-akalan monopoli lembaga. Di saat yang genting, krisis moneter seorang santri, lagi-lagi sekolah nggak mengakomodasi, dan sibuk mempolitisasi uang yang sebenarnya bukan milik pribadi. Sudah saatnya, lembaga pendidikan kita mengalami dekonstruksi, untuk mengatasi sistem pendidikan yang lebih manusiawi.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Wakasek Kesiswaan, Jabatan di Sekolah yang Paling Nggak Enak