Meminjamkan Utang Itu Sederhana, Yang Rumit Itu Nagihnya

utang

utang

Belakangan ini, warganet dibuat baper dengan postingan video di Instastory Adelia Lontoh. Dalam video yang hanya berdurasi tak lebih dari satu menit itu, memperlihatkan sosok sang suami, Duta Sheila On 7, yang tengah menyenandungkan lagu Rumit milik Langit Sore ketika tengah menyopir. Alih-alih ikutan baper, saya justru memaknai kata cinta dalam syair lagu tersebut sebagaimana saya memaknai utang. Bukankah di dunia ini tak hanya cinta yang sederhana, toh meminjamkan uang ke teman atau saudara juga sederhana. Tapi yang rumit itu drama saat mau menagih uang kita.

Meminjamkan uang itu mudah. Seorang teman datang ke kita, dengan muka melas, bersamaan dengan cerita menyedihkan yang membuat hati siapa pun menjadi melankolis dibuatnya. Lalu karena kita punya uang, secara otomatis kita akan begitu mudahnya meminjamkan uang itu tanpa pikir panjang. Padahal uang itu satu-satunya harta yang kita miliki hingga tanggal muda datang kembali.

Di awal sih janjinya cuma sebentar pinjamnya. Tapi setelah sehari, seminggu, sebulan, setahun, bahkan beradab-abad lamanya, utang tersebut tak kunjung ada kelanjutan kabarnya. Padahal kita sangat berharap uang itu kembali, karena kita butuh untuk membayar sesuatu atau justru untuk biaya makan sehari-hari. Kalau udah gini, bersiaplah mengemis uangmu sendiri, Nak!

Seperti halnya bandara, di mana pun itu, pintu keberangkatan dan pintu kedatangan itu selalu berbeda. Sama seperti kelakuan orang pinjam uang. Pas pinjam aja, ngomongnya manis-manis, lalu seolah menggangap kita itu teman paling baik sedunia, dan hanya diri kita manusia di muka bumi ini yang bisa membantu masalahnya. Tapi, pas mau ditagih uang itu, taraaa~

Kita yang tadinya teman dekat, kini justru menjelma menjadi wabah penyakit yang patut dihindari. Tiap kali mau ditagih, selalu saja ada banyak alasan dari A sampai Z. Belum gajianlah atau uangnya kepakelah, hingga kita pun harus maklum dan memahami keadaannnya.

Namun, di saat kita hanya makan lauk kerupuk sama sambel karena kehabisan duit di akhir bulan, lah kok buka Instagram, lihat teman yang kita utangi tadi posting lagi makan di kafe atau sedang posting foto piknik.

Kejadian seperti ini sangat lazim sih terjadi. Tanpa menyebutkan nama oknum, saya pun sering mengalami hal serupa. Beberapa teman sering pinjam uang ke saya dengan alasan untuk makan, eh sehari setelahnya kok dia beli alat make up atau pergi ke salon. Kan sebel ya.

Sungguh, menagih utang itu bukan perkara yang mudah. Butuh hati yang kuat serta tenaga yang ekstra. Kadang karena saya ini orangnya tak enakan sama teman atau saudara, jadi mau nagih itu yang takut malah saya. Belum lagi kalau ketemu, rasanya kok saya yang malu dan dianya malah cuek-cuek aja kayak nggak ada yang terjadi. Apa cuma saya yang mengalami hal seperti ini?

Sebagian orang pernah menasihati saya, yang namanya utang ya tetap utang. Berapa pun jumlahnya harus dibayar, kalau gak nanti bakalan beratin si orang yang punya utang di akhirat nanti. Tapi mau gimana ya, perihal utang gini sensitif sih. Utang kadang bisa merusak pertemanan yang sudah terjalin lama, bahkan utang juga bisa membuat saudara pecah silaturahmi. Nah, ini yang saya takutkan itu.

Saya sendiri sebisa mungkin, kalau gak terpaksa banget gak mau yang namanya utang. Selain karena malu, juga karena beban psikis. Sumpah loh, pinjam uang itu rasanya malu banget. Mulut itu rasanya kelu. Makanya kalau ada teman yang pinjam uang ke saya, pas ada, saya gak pernah mikir panjang lalu saya pinjami. Karena saya yakin, untuk bilang pada saya untuk pinjam uang, itu juga butuh mental yang kuat. Saya bahkan nggak sanggup.

Jadi sebisa mungkin saya usahakan untuk tidak utang kalau tidak sangat amat terpaksa sekali. Apalagi utang cuma buat beli hal-hal yang bersifat sekunder atau primer. Tahan dulu sampai punya uang.

Saya ingat betul tentang kisah Santiago dalam buku The Old Man And The Sea karya penulis terkemuka Ernest Hemingway. Dalam buku itu Santiago digambarkan sebagai nelayan tua miskin yang hidup sebatang kara. Tak ada makanan ataupun sesuatu yang menghangatkan tubuhnya di rumah kecil yang tak layak huni itu.

Namun saya masih ingat jelas ketika Santiago berkata, “Tapi sebisa mungkin kuusahakan tidak pinjam uang. Mula-mula hanya pinjam. Nanti ngemis.”

Duh, padahal kehidupan si lelaki tua itu sangat nahas. Dia selama berhari-hari melaut tapi tak mendapatkan ikan. Selama itu pula dia tak memakan apa pun di atas perahunya. Namun dia tetap enggan meminjam uang pada orang lain. Sedih banget pokoknya baca buku ini mah.

Ketegasan Santiago dalam perihal meminjam uang ini sungguh luar biasa. Memang benar adanya, kadang mula-mula kita hanya pinjam ke satu orang, tapi lama-lama pinjam ke orang lain. Begitu seterusnya. Hingga tanpa sadar kita tak lagi malu untuk meminjam uang. Hal ini jadi kebiasaan.

Ada loh sebagian orang, yang ketika sudah memiliki uang, tapi enggan menggunakan uang tersebut untuk mengembalikan utangnya. Padahal kalau kita dipinjami, lalu kalau sudah ada uangnya dikembalikan lagi, gitu kan enak ya. Di kemudian hari kita bisa memberi pinjaman lagi. Tak cuma uang sih, barang juga gitu.

Kadang saya suka sebal, dipinjami barang, tapi setelah selesai tak mau dikembalikan. Pas kita mau makai, kita yang harus ambil ke tempat orang yang meminjam tadi. Hmmm

Makanya untuk menghindari perpecahan antar keluarga ataupun pertemanan, dari awal saya sudah putuskan. Jika memang saya pas punya uang lebih, maka saya akan pinjamkan. Dengan niat tak mengharap uang itu kembali. Tapi jika uang yang saya miliki sedang gak ada dan pas-pasan, ya udah saya katakan, saya tak bisa memberikan pinjaman.

Mau seribu pun, yang namanya utang ya tetap utang. Kalau tak bisa mengembalikan, minimal konfirmasi bahwa kita belum bisa mengembalikannya. Dan kalau sudah ada uangnya, maka segerakan membayar utangnya.

Mari tunaikan kata TOA di masjid setiap dini hari…. sa..ur… saur… saurr …utang~

Exit mobile version