Memboikot Film yang Diperankan Si Problematik Itu Nggak Adil

Memboikot Film yang Diperankan Si Problematik Itu Nggak Adil

Memboikot Film yang Diperankan Si Problematik Itu Nggak Adil (Unsplash.com)

Padahal sebuah film kan bukan cuma hasil karya aktor/aktris yang bermasalah, tapi juga hasil karya banyak orang.

Budaya penolakan atau cancel culture merupakan fenomena sosial yang memutus segala bentuk dukungan atau tindakan yang menguntungkan seseorang. Dalam konteks hari ini, budaya penolakan umumnya dilancarkan dalam bentuk tekanan di media sosial sampai pemboikotan yang disuarakan secara daring terhadap produk atau karya suatu individu atau kelompok yang dinilai melenceng dari norma-norma yang disepakati.

Misalnya, film Like & Share yang tayang pada Mei 2023 di Netflix Indonesia. Ketika poster filmnya mengudara di jagat Twitter, banyak warga Twitter yang memberikan reaksi negatif sekalipun belum menontonnya. Alasannya adalah kehadiran sosok Arawinda Kirana—aktris yang terjerat skandal perselingkuhan di penghujung tahun lalu—pada poster film tersebut.

Hal serupa juga terjadi di Hollywood. Pada April 2023, Warner Bros mengumumkan bahwa Amber Heard tetap akan memainkan peran Mera di Aquaman and the Lost Kingdom. Hal itu membuat kecewa sebagian besar penggemar DC dan sineas pada umumnya. Pasalnya, pengumuman itu dibuat setelah adanya petisi daring yang menuntut untuk mencabut Amber Heard dari peran Mera. Saat itu kasus rumah tangga Amber Heard dengan Johnny Depp dan berbagai perilaku menyimpangnya menjadi perbincangan di berbagai media internasional.

Akan tetapi, nggak semua orang mengamini pemboikotan atas karya-karya film yang dibintangi aktor/aktris yang bermasalah tersebut. Ada juga segelintir orang yang tetap menerima film-film tersebut, dan saya adalah di antaranya.

Film adalah produk kerja kolektif, bukan hanya hasil kerja aktor/aktris yang terlibat

Seandainya Like & Share memilih Arawinda Kirana sebagai aktris setelah muncul skandal perselingkuhan atau Aquaman and the Lost Kingdom yang tetap mempercayakan Amber Heard untuk memerankan Mera setelah terlilit masalah rumah tangga, saya akan berada di pihak khalayak yang menolak kedua film tersebut. Namun, kedua film tersebut sudah menyelesaikan proses produksinya sebelum skandal para bintangnya mencuat ke media. Makanya sebesar apa pun protes yang dilayangkan para penggemar untuk memboikot atau mengganti tokoh yang diperankan si problematik, kemungkinan besar nggak akan digubris pihak rumah produksi. Selain karena harus kembali melakukan proses produksi, biaya yang dikeluarkan pun akan membengkak dari yang sudah direncanakan.

Alasan berikutnya, film bukanlah produk dari suatu individu semata, melainkan produk kerja kolektif. Film adalah karya yang dihasilkan dari pemikiran dan kerja keras banyak orang. Maka nggak adil apabila sebuah film diboikot semata-mata karena masalah kehidupan pribadi sang aktor/aktris.

Memang betul para aktor/aktris adalah wajah dari suatu karya film, namun hal itu sama sekali nggak mengartikan bahwa film adalah milik si pemeran depan layar. Bahkan secara fungsional, suatu film justru lebih dapat dikatakan milik sutradara atau produser atau penulis skenario atau penulis naskah, meskipun tetap nggak bisa diterjemahkan secara harfiah.

Film merupakan karya seni dengan proses yang sangat kompleks dan nggak mengenal waktu dalam pengerjaannya. Di kalangan sineas, sudah menjadi rahasia umum bahwa selama proses pembuatan film, mereka yang bekerja di balik layar itu sering kali mesti bekerja dari pagi hingga pagi lagi. Entah itu saat praproduksi, produksi, hingga pascaproduksi. Maka, akan menjadi nggak adil apabila saya menolak kinerja mereka semua yang telah mengupayakan waktu dan tenaganya untuk sebuah karya film dan nggak pernah berharap akan skandal yang melilit si bintang filmnya.

Cancel culture bak pisau bermata dua

Ibarat pisau bermata dua, cancel culture pada satu sisinya dapat berdampak ampuh bagi para figur publik atau kelompok tertentu untuk mempertanggungjawabkan perilakunya yang dinilai menyimpang. Akan tetapi di sisi lainnya memungkinkan matinya karier mereka jika berlangsung dalam waktu yang nggak terbatas. Padahal selalu ada kemungkinan bahwa suatu individu dan kelompok tersebut berbenah dan belajar dari kesalahannya di masa silam.

Oleh karena itulah praktik cancel culture pada sebuah film yang telah selesai diproduksi bukanlah tindakan yang berasaskan keadilan. Sebab hal ini dapat berujung kerugian bagi orang-orang tak bersalah yang menggantungkan hidupnya pada hasil penjualan film tersebut.

Penulis: Nanda Naradhipa
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Memahami #BoikotIndosiar dari Sisi Lain.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version