Memberitakan Orang Meninggal, Kenapa Selalu Dikaitkan Sama Firasat?

Memberitakan Orang Meninggal, Kenapa Selalu Dikaitkan Sama Firasat?

Publik dikejutkan dengan informasi meninggalnya istri penyanyi Bunga Citra Lestari (BCL), Ashraf Sinclair. Terakhir informasi yang saya peroleh, Ashraf meninggal setelah mengalami serangan jantung. Tak pelak, berita mengejutkan ini langsung direspons seluruh media di Indonesia. Seketika lalu lintas internet, termasuk di media sosial, lebih khusus Twitter bertebaran berita meninggalnya aktor berusia 40 tahun itu. Bahkan di Google kata kunci “Ashraf Sinclair” sempat tranding. Namun, dari seluruh informasi yang ada, hampir semuanya dikaitkan dengan firasat.

Saya menduga dari awal, media di Indonesia pasti akan mengaitkan meninggalnya seseorang, apalagi seorang public figure dengan sebuah firasat dari orang terdekatnya. Pemberitaan oleh media online dan televisi di Indonesia semuanya seperti itu.

Di timeline Twitter berseliweran informasi demikian. Yang paling sering muncul adalah video saat BCL menyanyikan beberapa bait lagu berjudul Soulmate dari Kahitna di sebuah ajang pencarian bakat. Kebetulan acaranya berlangsung semalam sebelum Ashraf dikabarkan meninggal dunia.

Netizen di Indonesia heboh dan mengaitkan lagu itu untuk Ashraf Sinclair. Paling vokal tentu si raja penjilat pantat Search Engine Optimation (SEO), Tribunnews yang bergerak cepat menggoreng video itu dan dikaitkan dengan meninggalnya Ashraf. Lucunya, meski Tribunnews mengatasnamakan media dengan praktik-praktik jurnalistik, nyatanya hanya mengandalkan netizen.

Tidak hanya itu, berita yang isinya firasat juga makin banyak. Terakhir berita yang coba saya lacak, Tribun mencoba mengaitkan foto yang diunggah ibunya Ashraf Sinclair di akun Instagram-nya pada September 2019 silam. Ajaib sekali, informasi yang baru muncul bisa dihubung-hubungkan dengan postingan tahun lalu. Saya jadi mikir, ini yang ngerjain jurnalis apa netizen, sih.

Sebuah portal online “anakan” Detik, Matamata, juga melakukan hal yang sama. Kali ini entah apa yang ada di benak redaktur mereka, sampai-sampai mengeluarkan informasi lukisan yang digambar putra BCL, Noah sebagai pertanda meninggalnya ayahnya. Saya nggak bisa membayangkan kalau Noah atau BCL membaca berita itu.

Permasalahannya seperti itulah praktik jurnalisme sekarang. Bahkan semuanya berlomba-lomba menyoroti siapapun yang ada kaitannya dengan meninggalnya sang tokoh. Seperti acara televisi yang pernah saya tonton.

Masih seputar kabar meninggalnya suami Unge (sapaan akrab BCL), sebuah acara talkshow Pagi-Pagi di salah satu stasiun televisi di mana acara itu memang biasanya isinya gosip alias ngomongin orang. Mereka juga tak kalah responsif mengenai pemberitaan ini. Pihak kreatifnya tampak sebisa mungkin menghadirkan kerabat terdekat. Seorang artis hadir untuk memberikan keterangannya. Lagi-lagi pertanyaan yang diajukan host-nya adalah soal firasat.

Saya jadi bingung sejak kapan jurnalistik itu membahas sesuatu yang abstrak, tidak jelas juntrungannya seperti firasat? Kenapa mereka sampe nekat memberitakan hal semacam itu? Ternyata saya mendapat jawabannya selepas kakek saya meninggal beberapa bulan lalu.

Pemberitaan mengenai firasat pada saat ada yang meninggal jelas menyentuh emosional setiap orang. Ini juga bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan. Setiap ada orang yang meninggal, orang lain pasti tanya, “Sebelumnya ada firasat apa?” Dan itulah yang orang-orang tanyakan pada keluarga saya setelah kakek saya meninggal.

Ironisnya, jurnalisme modern bekerja demikian, ditambah adu cepat. Para jurnalis akan memilih isu atau informasi yang cenderung populis. Mereka abai terhadap fungsi jurnalisme sesungguhnya, yaitu sebagai ruang publik. Tunggu dulu, pasti ada yang tanya, kan publik juga memang punya emosional?

Dengan sangat terpaksa saya akan menjawab: Iya, benar. Memang setiap individu memiliki emosional. Dalam teori jurnalisme, ada nilai berita (news value) salah satunya berupa kedekatan atau proximity. Nah di nilai berita kedekatan ini terbagi menjadi dua, kedekatan secara geografis dan emosional.

Jurnalis akan mengejar berita kalau dua unsur itu ada. Misalnya, media lokal di suatu daerah, sebut saja Pekalongan pasti akan mengejar informasi yang ada di sekitarnya. Lain hal dengan emosional, ini menyangkut perasaan dan rasa kebersamaan atau jiwa korsa dalam gerakan pramuka.

Contohnya, kasus kekerasan seksual akan dikejar para jurnalis, karena ini memiliki nilai berita kedekatan secara emosional. Praktis informasi yang dihasilkan menjadi komoditi untuk perempuan. Lalu apa masalahnya memberitakan firasat?

Firasat masuk ruang privat masing-masing orang, seperti halnya berhubungan intim. Nggak ada urusan publik di dalamnya, tentu ini dalam konteks keilmuan jurnalistik. Namun karena mengaitkan firasat dengan meninggalnya seseorang sudah terlanjur populis, maka seluruh media akan mengejarnya.

Padahal tingkat ketepatan suatu kejadian dengan firasat tidak dapat diukur. Artinya, setiap kejadian X tidak bisa dikaitkan dengan firasat A, B, atau C. Semua firasat punya kemungkinan yang sama, dan tidak melulu negatif atau buruk. Jurnalisme tidak bisa bekerja pada kebenaran yang belum pasti semacam itu.

Tulisan Andreas Harsono dalam bukunya Agama Saya Jurnalisme yang juga mengutip buku 9 Elemen Jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosentiel, yang sempat saya baca menyebutkan jurnalisme harus memiliki elemen kebenaran. Lebih lanjut kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran fungsional bukan kebenaran secara filosofis. Kebenaran fungsional erat dengan praktik sebab-akibat pasti dan bisa dirasakan dampaknya kepada publik yang lebih luas.

Nilai kebenaran itu diterabas, media kini hanya berlomba-lomba menaikkan traffic websitenya masing-masing. Sehingga bisa jadi muncul informasi dengan judul clickbait. Nah, menghubungkan setiap kematian dengan firasat inilah salah satunya. Nggak cuma pemberitaan suami BCL, kok, banyak. Coba saja searching meninggalnya Lina istri Sule, atau anaknya Mbak Karen, pasti semuanya ada berita soal firasat.

Buntutnya, jika jurnalisme kita sudah demikian, bukan malah membuat suasana tenang, tapi justru bisa menimbulkan trauma tersendiri. Terutama bagi yang diwawancarai dan pembaca atau penonton yang kebetulan bernasib sama.

Emosional sebagai nilai berita yang masuk dalam kedekatan tadi acap kali diindahkan. Saya tahu kalau jurnalis ini bekerja untuk medianya, dan ditarget berita. Namun, menabrakkan makna kedekatan emosional dengan ruang privat dan kebenaran abstrak sungguh mencederai jurnalisme.

Tengoklah betapa netizen menghujat habis-habisan pemberitaan Ashraf dan keluarganya yang cenderung kelewat batas. Seharusnya kalau media mau memberitakan dari segi kedekatan emosional bisa, asalkan ada praktik kejahatan yang harus diungkap di dalamnya. Bukan malah menjadikan masa berkabung orang lain sebagai komoditi untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

BACA JUGA Mengenang Wartawan-Pecinta Alam-Aktivis Kawakan Aristides Katoppo (1938-2019) atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version